Oleh Harjoko Sangganagara |Daily Investor. Sabtu, 3 Maret 2012 | 19:22
Maraknya tindak kekerasan di masyarakat merupakan indikasi adanya frustrasi sosial. Hal itu terjadi karena beberapa faktor yang saling memengaruhi, antara lain kemiskinan struktural, bertambahnya jumlah pengangguran akibat sempitnya lapangan kerja, dan ketimpangan sistem pendidikan.
Salah satu langkah untuk mengurangi frustrasi sosial adalah dengan penyelenggaraan pendidikan nonformal bagi generasi muda berpendidikan rendah. Penyelenggaraan pendidikan nonformal itu harus terkait dengan lapangan kerja dengan prinsip link and match dengan potensi sumber daya lokal.
Mestinya kebijakan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans) yang meluncurkan Gerakan Penanggulangan Pengangguran (GPP) jangan sebatas program eksesif dan politis yang hanya membagi-bagikan uang ala sinterklas. Program GPP yang selama ini dilakukan pemerintah terlihat kurang sistemik sehingga dampaknya kurang meluas.
Tak bisa dimungkiri, gerakan antipengangguran yang dilakukan oleh Kemnakertrans baru sebatas acara seremonial bagi-bagi uang berupa dana dekonsentrasi bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian serta dana tugas perbantuan. Mestinya dana dekonsentrasi bidang ketenagakerjaan itu penggunaannya dilandasi oleh kondisi aktual di masyarakat.
Dimulai Krisis Pendidikan
Gerakan antipengangguran mestinya dilandasi oleh kondisi objektif dan kualifikasi para pengangguran sekarang ini. Fakta menunjukkan bahwa jumlah pengangguran di negeri ini yang paling kritis dan kompleks persoalannya adalah para lulusan SLTA, SLTP hingga tidak tamat SD. Mereka itu belum mendapatkan skema dan program ketenagakerjaan yang layak. Nasib mereka terabaikan oleh negara dan dibiarkan begitu saja mengais rejeki sedapat-dapatnya.
Mestinya gerakan antipengangguran diawali dengan reinventing pendidikan nonformal yang bermuatan produktivitas dan kreativitas sesuai dengan kemajuan zaman. Reinventing dalam arti menemukan kembali arti penting pendidikan nonformal sesuai dengan semangat dan kemajuan zaman akan bisa memberikan bekal praktis bagi para penganggur.
Sayangnya, pendidikan nonformal yang diselenggarakan pada saat ini terlihat asal-asalan dengan muatan atau content yang sudah usang. Organisasi pendidikan nonformal di tingkat kecamatan yang disebut pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) dan di tingkat kabupaten/kota yang disebut sanggar kegiatan belajar (SKB) tidak mampu beradaptasi dengan kemajuan zaman. Sialnya lagi, organisasi di atas terbelenggu oleh penyakit birokrasi yang kronis. Melihat kondisi di atas pentingnya sinergi antara Kemnakertrans dengan Kemdikbud untuk reinventing pendidikan nonformal di negeri ini.
Semua pihak harus sadar bahwa akar dari masalah pengangguran itu karena adanya krisis pendidikan. Ada baiknya kita menengok sejarah dunia, di mana pada 1967 di Williamburg, Virginia AS diselenggarakan konferensi internasional tentang “Krisis Kependidikan Dunia”. Inisiatif itu datang dari mantan guru sekolah dasar yang nantinya berhasil menjadi Presiden Amerika Serikat, yakni Lyndon B Johnson. Pelaksanaan konferensi diorganisasi oleh James A Perkin, Rektor Universitas Cornell.
Berdasarkan kertas kerja dari konferensi yang diikuti oleh 150 pemimpin negara maju maupun berkembang itu diambil beberapa langkah dan kesepakatan global. Pertama, pentingnya merangkai satu kesatuan fakta mendasar dari krisis kependidikan, lalu dibuatkan strategi untuk menghadapinya.
Kedua, mencari metoda yang sistematik dan tidak terkeping-keping. Perubahan lingkungan yang fantastik terjadi akibat sejumlah revolusi dunia dalam bidang iptek, politik, ekonomi, demografi, dan tatanan sosial. Sistem pendidikan juga tumbuh dan berubah dengan cepat, namun tidak mampu beradaptasi dengan perubahan di sekitarnya.
Konsekuensinya timbul kesenjangan antara sistem pendidikan dan lingkungannya, yang merupakan esensi dari krisis kependidikan dunia. Rekomendasi penting dari konferensi di atas adalah mengenai peranan penting pendidikan pada lingkungan ketiga yang dikenal dengan lingkungan masyarakat atau biasa disebut pendidikan nonformal.
Pendidikan melalui lingkungan masyarakat atau pendidikan nonformal memiliki berbagai nama, seperti adult education (pendidikan orang dewasa), continuing education (pendidikan lanjutan), on-the-job training (latihan kerja), accelerated training (latihan dipercepat), farmer or worker training (latihan pekerja bagi petani), dan extension service (pelayanan pendidikan tambahan).
Mendekati Negara Maju
Pendidikan nonformal dapat menjadi pelengkap dari pendidikan formal, terlebih jika dikaitkan dengan keterbatasan-keterbatasan yang diakibatkan karena adanya krisis. Efektivitas dan pelaksanaan pendidikan nonformal dapat dilihat perbedaannya pada kasus negara maju/industri dan negara berkembang.
Pada negara maju, seperti di Eropa dan Amerika Utara, pendidikan nonformal dipandang sebagai pendidikan lanjutan bagi kehidupan seseorang. Pendidikan seumur hidup (life long education) sangat berarti dalam memajukan dan mengubah masyarakat karena tiga alasan: (1) untuk memperoleh pekerjaan; (2) menjaga ketersediaan tenaga kerja terlatih dengan teknologi dan pengetahuan baru yang diperlukan untuk melanjutkan produktivitas; (3) memperbaiki kualitas dan kenyamanan hidup individu melalui pengayaan kebudayaan dengan memanfaatkan waktu luang (leisure time).
Pada negara yang sedang berkembang, pendidikan nonformal dijalankan asal-asalan (minimalis), dan perannya baru sebatas mendidik kaum petani, pekerja, usahawan kecil dan lainnya yang tidak sempat bersekolah. Peran lainnya adalah untuk meningkatkan kemampuan dari orang-orang yang memiliki kualifikasi pendidikan rendah agar mereka bekerja lebih efektif. Pada era globalisasi sekarang ini sistem pendidikan nonformal di negeri ini harus ditransformasikan sehingga pelaksanaannya bisa mendekati negara-negara maju
Tidak ada komentar:
Posting Komentar