Oleh Harjoko Sangganagara |Daily Investor. Sabtu, 31 Maret 2012 | 21:56
Permintaan Wantimpres agar pelaksanaan ujian nasional (UN) dihentikan memiliki dasar yang kuat. Apalagi sudah ada putusan Mahkamah Agung agar pemerintah menghentikan dulu pelaksanaan UN jika syarat-syarat pemerataan kualitas dan layanan pendidikan di semua sekolah belum terpenuhi.
Tak bisa dimungkiri bahwa selama ini pelaksanaan UN telah melenceng dari tujuan yang sebenarnya. Itulah sebabnya berbagai pihak termasuk Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menuntut segera penghapusan UN. Hingga kini penyelenggaraan UN belum bisa dilakukan secara efektif.
Bahkan penyelenggaraan UN terkesan mubazir karena hasilnya belum bisa menjadi faktor penentu masuk perguruan tinggi negeri. Penyelenggaraan UN belum memuaskan masyarakat, baik dari aspek pembiayaan maupun sebagai metode evaluasi pendidikan yang digunakan sebagai standardisasi kelulusan tingkat sekolah.
Semua ini terjadi mulai dari jenjang sekolah dasar, menengah, hingga atas. Sudah begitu anggaran ujian nasional terus meningkat dan semakin menyedot pembiayaan masyarakat.
Kesenjangan Mutu Pendidikan
Anggaran UN tahun 2012 senilai Rp 580 miliar dinilai beberapa kalangan jumlahnya terlalu tinggi dan bernuansa pemborosan. Angka tersebut tidak realistis karena hanya untuk menentukan kelulusan siswa. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) seharusnya bisa melakukan efi-siensi anggaran UN. Selain menyedot anggaran Negara yang cukup besar, UN juga menyedot anggaran masyarakat dan anggaran sekolah terkait dengan kegiatan siswa sebelum pelaksanaan UN.
Ada beban tambahan yang cukup signifikan bagi orangtua murid dan sekolah untuk menyongsong UN. Meskipun pemerintah menyatakan bahwa UN di semua tingkatan gratis, tetap saja orangtua murid dan sekolah mengeluarkan biaya yang cukup besar dalam bentuk seperti pembayaran uang bimbingan belajar dan try out untuk menghadapi UN. Pelaksanaan UN juga mendorong tumbuhnya bisnis bimbingan belajar (bimbel) yang eksklusif dan mahal. Padahal, esensi bimbel dan try out sebenarnya bisa dilakukan secara murah dan efektif lewat internet.
Ketidakberesan dalam tahapan penyelenggaraan UN masih saja terjadi. Seperti kasus dimana sejumlah siswa yang prestasinya dalam setiap semester bagus, tetapi justru tidak lulus dalam UN. Bahkan, masih ada SMA dan SMK yang seluruh siswanya tidak lulus UN. Keganjilan tersebut bisa jadi disebabkan oleh ketidakberesan sistem informasi elektronik yang digunakan untuk mengoreksi lembar jawaban komputer (LJK).
Selama ini UN juga banyak diwarnai dengan kebocoran soal dan modus kecurangan lain yang justru dilakukan oleh para guru karena takut jika anak didiknya banyak yang tidak lulus, sehingga bisa menjatuhkan reputasi sekolah dan reputasi pemerintah daerah. Ketidakberesan di atas menyebabkan panitia pusat seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri menolak menggunakan nilai ujian nasional sebagai acuan untuk penerimaan mahasiswa baru.
Apalagi validitas hasil UN hingga kini masih diragukan mengingat Kemendikbud merilis wilayahwilayah mana yang tingkat kejujurannya rendah. Selain itu, sering dijumpai siswa lulus ujian nasional dengan nilai tinggi di suatu daerah, tetapi ternyata prestasinya tidak berbanding lurus ketika mendaftar di perguruan tinggi negeri.
Penyelenggaraan UN juga memiliki dampak ekonomi yang cukup besar. Selain biaya yang besar dan sistem logistik yang ruwet. UN juga berdampak menjamurnya bisnis bimbel hingga ke pelosok-pelosok daerah. Bisnis bimbel mendatangkan keuntungan yang cukup besar dan bisa menyerap sarjana pengangguran sebagai tenaga kerja bisnis bimbingan belajar.
Ironisnya, masyarakat justru menganggap bahwa bisnis bimbel memiliki metode dan fasilitas pengajaran yang lebih baik dibanding sekolah. Sayangnya, bisnis bimbel yang kredibel memasang tarif yang sangat tinggi, sehingga sulit terjangkau siswa kebanyakan. Kemajuan teknologi informasi sebetulnya bisa dimanfaatkan untuk menyelenggarakan bimbel yang bersifat online yang bisa diakses lewat internet.
Bimbingan Belajar Online
Eksistensi bisnis bimbel menjadi dilematis. Di satu sisi eksistensi bisnis bimbel mendorong terjadinya liberalisme pendidikan, di sisi yang lain eksistensi bimbel bisa mendorong para guru untuk memperbaiki mutu dan metode pengajaran. Apalagi, sekarang ini banyak guru yang sibuk dengan urusan pribadinya terkait dengan program sertifikasi guru.
Tak bisa dimungkiri bahwa metodologi pengajaran bimbel memberikan daya tarik tersendiri dengan penemuan-penemuan khusus berupa rumus-rumus jitu yang dapat menyelesaikan soal secara kilat dan akurat. Selain itu faktor penunjang berupa teknologi informasi dan komunikasi seperti peraga multimedia pendidikan dan e-Learning. Hal ini karena market driven strategy dari bisnis bimbel berorientasi pada kepuasan siswa melalui pelayanan yang unggul. Faktor itu mestinya diterapkan oleh manajemen sekolah.
Sehingga penyelenggaraan pendidikan bisa semakin efektif dan bermutu. Pentingnya penyelenggaraan bimbel yang bersifat online yang bisa diakses seluruh siswa dengan biaya yang murah. Sistem bimbel online bersifat modular dan object based (berbasis objek) sehingga prosesnya dapat interoperable dan dapat menawarkan bermacam-macam platform teknologi.
Selain itu, materi bimbel sebaiknya bisa secara rutin diposkan dalam jejaring sosial seperti Facebook. Terintegrasinya bimbel dengan social media dan pendekatan inovatif untuk pembelajaran online maka penyelenggaraannya menjadi efektif, digemari siswa, dan sangat murah. Sudah saatnya pemerintah menjadikan bimbel online sebagai infrastruktur yang strategis untuk mengatasi kesenjangan mutu pendidikan nasional.
Melihat animo masyarakat yang begitu tinggi terhadap lembaga bimbel sekarang ini, mestinya Kemendiknas serius membangun infrastruktur bimbel online. Ironisnya, lembaga di bawah Kemendiknas yang berkompeten dengan hal di atas, yakni Jardiknas yang operasionalnya di bawah Pustekkom pada saat ini justru dalam kondisi stagnan alias mati suri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar