Oleh Harjoko Sangganagara | Daily Investor, Selasa, 14 Februari 2012 | 6:50
Malapetaka kecelakaan lalu lintas angkutan darat (bus) sering terjadi belakangan ini. Kondisi operasional angkutan bus antarkota yang riskan dan terdegradasinya infrastruktur jalan raya non-tol merupakan hantu transportasi yang terus bergentayangan mencari mangsa. perasional perusahaan angkutan darat banyak diwarnai oleh pengemudi yang berkelakuan ugal-ugalan. Akibatnya, jalan raya menjadi mesin pembunuh sekaligus pencetak kerugian moril dan materiil yang sangat besar.
Untuk menghadapi masalah tersebut diperlukan berbagai langkah-langkah tegas, antara lain uji kelayakan bus secara ketat serta pencegahan awak bus menggunakan alkohol dan narkoba. Uji kelayakan tersebut terutama untuk bus antarkota antarprovinsi (AKAP) dan antarkota dalam provinsi (AKDP). Petugas harus ekstra tegas melihat beberapa indikator uji kir, antara lain kondisi stir terasa kocak atau tidak, asap kendaraan, kondisi ban, rem lain-lain. Kondisi bus AKAP dan AKDP yang kebanyakan sudah tua dan sarat masalah menjadi ancaman yang terus mengintai.
Eksistensi undang-undang tentang Jalan yang memberikan wewenang besar kepada pemerintah daerah untuk membenahi jalan sesuai dengan semangat otonomi daerah ternyata justru menambah panjang ruas jalan non-tol yang rusak. Padahal, setiap tahunnya pemerintah meraup dana yang sangat besar dari pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor.
Non-tol Anak Tiri
Kecelakaan angkutan bus selama ini banyak disebabkan oleh faktor human error dan diperparah lagi dengan terdegradasinya konstruksi jalan non-tol dan minimnya rambu-rambu lalu lintas. Ruas jalan raya non-tol di pinggir jurang banyak yang tidak memiliki rambu dan konstruksi pembatas yang layak.
Pemerintah tidak berdaya, sehingga sering mengabaikan perawatan ruas jalan non-tol. Padahal, pertumbuhan kendaraan di negeri ini mencapai sekitar 10% per tahun. Di sisi lain, tingkat kerusakan jaringan jalan nasional semakin bertambah panjang tanpa bisa diatasi. Pemerintah terlalu asyik membangun ruas jalan tol. Akibatnya, jenis jalan nasional, provinsi, dan jalan kabupaten menjadi anak tiri yang kondisinya semakin memburuk.
Kondisi jalan raya non-tol hanya diperbaiki secara tambal sulam alias asal-asalan sehingga menyimpan potensi bahaya yang luar biasa. Pentingnya pemerintah pusat dan daerah mencari metode terbaik dalam melakukan pemeliharaan jalan raya non-tol sehingga memenuhi standar serta mencapai tingkat mutu pelayanan yang baik dengan biaya yang efisien. Hingga saat ini seruan publik yang meminta pengelola jalan non-tol untuk memenuhi standar pelayanan masih terabaikan. Ada masalah fatal dalam pemeliharaan jalan non-tol. Masalah tersebut terkait dengan buruknya inspeksi karena tidak dilakukan secara kontinu dan kurang teliti. Selain itu juga tidak akuratnya data base pemeliharaan karena jarang diperbarui.
Menurut survei Bapennas, ongkos sosial dan ekonomi dari jalan rusak yang diderita oleh masyarakat pengguna jalan mencapai sekitar Rp 200 triliun per tahun. Sedangkan perhitungan yang dilakukan oleh kementerian teknis menunjukkan bahwa untuk merehabilitasi kerusakan jalan setiap tahunnya dibutuhkan dana sekitar Rp 7 triliun. Jumlah di atas tidak pernah terpenuhi, sehingga terjadi backlog maintenance yang berdampak besar bagi kualitas kondisi jaringan jalan nasional.
Selain itu, tingkat kerusakan jalan akibat kelebihan beban dan sistem perawatan yang tidak memadai menyebabkan rusaknya jalan sebelum umur teknis jalan tersebut tercapai. Hal tersebut juga akan menyedot biaya tambahan untuk mempertahankan fungsi jalan tersebut dan mengurangi alokasi dana untuk ruas jalan yang lain.
Sekadar gambaran, infrastruktur jalan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian nasional. Diperkirakan besarnya Road User Cost (RUC) atau biaya pengguna jalan di seluruh jaringan jalan nasional dan provinsi mencapai Rp 1,5 triliun per hari yang terdiri atas komponen biaya operasi kendaraan dan biaya waktu perjalanan. Secara umum kondisi jaringan jalan nasional beberapa tahun terakhir terus mengalami degradasi. Penyebab utama degradasi adalah kualitas konstruksi jalan yang rendah akibat korupsi anggaran dan penyimpangan proyek.
Beban Kerugian Ekonomi
Pada saat ini pengemudi bus, truk, mobil pribadi hingga sepeda motor telah banyak yang menjelma menjadi komunitas ugal-ugalan yang memerlukan penanganan yang lebih tegas dan konsisten. Menurut data statistik kepolisian, sekitar 84% kecelakaan di jalan raya disebabkan oleh faktor pengemudi. Melihat fakta itu, mestinya kelakuan pengemudi yang bersifat ugal-ugalan segera diperbaiki dengan membudayakan cara mengemudi yang benar. Kerugian ekonomi pertahun akibat kecelakaan lalu lintas mencapai 3% dari pendapatan nasional bruto.
Mengingat banyaknya korban jiwa dan besarnya kerugian ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh kecelakaan lalu lintas, sudah mendesak usaha rekayasa budaya keselamatan jalan (road safety culture). Budaya keselamatan jalan raya sebenarnya sudah cukup lama ada, yakni sejak William Phelps Eno merintis rekayasa keselamatan jalan secara sistematik pada 1920-an di Amerika Serikat. Ia memperkenalkan apa yang disebut dengan Road Safety Management System (Sistem Manajemen Keselamatan Jalan). Sejumlah perguruan tinggi di negeri ini juga sudah memberikan perhatian dengan membuka jurusan manajemen transportasi.
Tapi, secanggih apa pun pengetahuan tentang manajemen transportasi, “budaya keselamatan” tetap harus berakar pada kehidupan masyarakat bangsa ini juga. Negeri ini yang katanya sarat dengan nilai budaya santun, toleran, dan hati-hati dalam bertindak, semestinya memiliki derajat yang tinggi dalam hal budaya keselamatan lalu lintas. Namun, hal itu belum terwujud, salah satunya, diakibatkan buruknya implementasi Undang-Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan.
Penulis adalah dosen STIA Bagasasi Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar