Harian Jurnal Nasional | Sabtu, 3 Dec 2011
Harjoko Sangganagara
Doktor Pendidikan UPI Bandung, Pengajar di STIA Bagasasi
MASALAH kebudayaan mulai mendapat perhatian serius dengan dibentuknya pos Wakil Menteri untuk menangani kebudayaan Indonesia agar bisa menjadi pilar penting dalam pembangunan bangsa. Bahwa kebudayaan dalam arti luas memerlukan perumusan kebijakan yang diikuti dengan program strategis yang membidangi kebudayaan.
Eksistensi portofolio kebudayaan dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayan (Kemendikbud) harus artikulatif terhadap perkembangan zaman. Eksistensinya jangan semata-mata untuk mengatasi hal-hal yang eksesif seperti: pencurian benda cagar budaya hingga pembajakan seni tradisi oleh pihak asing. Kebudayaan nasional mestinya bisa menjadi leverage atau daya ungkit kemajuan bangsa.
Masalah kebudayaan menjadi hal yang strategis bagi perjalanan bangsa ke depan. Terutama usaha menumbuhkan budaya inovasi sebagai kunci persaingan bangsa ke depan. Selain itu, kebudayaan juga bisa membentuk dan memajukan korporasi dan ketatanegaraan. Secara teoritis, kebudayaan adalah kumpulan nilai, kepercayaan, perilaku, kebiasaan, dan sikap yang membedakan suatu masyarakat dari yang lainnya.
Kebudayaan mencerminkan perilaku yang dipelajari (learned behaviour) yang ditularkan dari satu anggota masyarakat ke yang lainnya. Kebudayaan suatu masyarakat sangat menentukan ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana aktivitas bisnis atau perusahaan dijalankan dalam masyarakat. Pada era globalisasi kini, masalah karakteristik kebudayaan masih perlu diperhatikan karena mempunyai relevansi dengan bisnis internasional. Sebab itu, strategi kebudayaan yang fokus terhadap budaya inovasi dirasa penting.
Bicara tentang inovator, kita pihatin lantaran negeri ini ternyata memiliki indeks inovasi yang rendah. Laporan International Innovation Index pada 2009 menempatkan negeri ini berada di posisi ke-71 dari 108 negara yang diukur. Indeks di atas merupakan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sebab, posisi itu pun ternyata berada di bawah negara tetangga, yakni Malaysia dan Thailand.
Rendahnya indeks inovasi bangsa Indonesia diperparah lagi karena birokrasi dan para ilmuwan atau teknolog secara tidak langsung telah menjadi makelar teknologi dan agen vendor asing. Korupsi yang menjamur di negeri ini antara lain juga disebabkan karena ilmuwan adalah tukang yang sering merekomendasikan impor teknologi yang memboroskan keuangan negara.
Impor teknologi, selain memboroskan, juga semakin membuat bangsa ini tersandera oleh vendor asing. Contoh yang aktual adalah megaproyek e-KTP, yang menghabiskan anggaran besar itu, ternyata perangkatnya didominasi oleh komponen impor. Industri dalam negeri dan lembaga ristek hanya dipinjam benderanya. Padahal, teknologi e-KTP mestinya bisa diinovasi dan diproduksi secara mandiri oleh lembaga ristek dan industri dalam negeri.
Menumbuhkan budaya inovasi jangan hanya bersifat seremonial. Kegiatan inovatif sebaiknya dilakukan oleh masyarakat luas dalam bentuk yang bervariasi. Pada prinsipnya, sumber inovasi, baik itu produk atau proses, merupakan proses belajar (learning). Dalam konteks ekonomi makro, learning itu sebagai salah satu komoditas ekonomi yang penting, sementara prosesnya dapat terjadi melalui berbagai mekanisme, baik secara perorangan, kelompok, maupun kelembagaan.
Agar rakyat mampu melakukan kegiatan inovatif maka harus ada upaya meningkatkan kemampuan ilmu dan teknologinya, yaitu dengan memperkuat kapasitas learning-nya. Jadi, aliran informasi dan knowledge dari sumber-sumber ilmu dan teknologi ke masyarakat perlu terus menerus difasilitasi lewat wahana pendidikan formal maupun nonformal.
Budaya inovasi di negeri ini akan membaik jika daya kreativitas masyarakat ditumbuhkan dengan berbagai infrastruktur dan insentif. Pada dasarnya, kreativitas dapat berkembang di semua lini sejauh negeri ini menghargai dan mendorong warga bangsa untuk berkreasi. Dalam persaingan global yang sengat ketat dewasa ini diperlukan berbagai right brain training untuk menggenjot daya kreativitas warga bangsa.
Menurut Steve Jobs, kreativitas berarti kemampuan untuk mengaitkan berbagai macam hal atau bidang sehingga menjadi produk yang memiliki nilai tambah ekonomi. Salah satu alasan mengapa Jobs menjadi orang kreatif ialah karena ia menghabiskan waktunya untuk mengamati perilaku kehidupan dan mencari pengalaman-pengalaman baru. Contoh, ia gemar mengamati rancangan alat dapur atau proses layanan tamu di hotel. Hasilnya, fakta, Job telah mengaplikasikan ide-ide dari berbagai lintas bidang yang telah dilihatnya menjadi produk yang sangat inovatif.
Budaya inovasi dengan titik berat proses kreatif dan inovatif sebaiknya menjadi muatan kurikulum di sekolah-sekolah. Kita ingat, saat yang lalu ada mata pelajaran prakarya atau kerajinan tangan yang mewajibkan siswa berkreasi: membuat produk barang sehari-hari. Mestinya mata pelajaran tersebut digalakkan lagi dengan konten yang lebih relevan dengan tantangan zaman.
Dengan napak tilas proses kreatif Steve Jobs, kita akan menyadari pentingnya penyelarasan pola pikir kreatif warga bangsa dalam berbagai disiplin ilmu. Ternyata, modus kreativitas bisa lahir dari berbagai disiplin ilmu lalu bersenyawa menjadi produk yang luar biasa. Itulah sebabnya, konsultan desain terkemuka di dunia semakin menyinergikan SDM-nya yang latar belakangnya sangat berbeda. Mulai dari seniman, insinyur, ahli material, programer teknologi informasi hingga psikolog. Semuanya bersinergi melakukan proses kreatif untuk melahirkan produk inovatif yang unggul.
Di masa datang, kekuatan ekonomi dunia ditentukan oleh value manusia, yakni talenta, imajinasi, dan kreativitas. Untuk menumbuhkan budaya inovasi diperlukan rekayasa sosial lintas keilmuwan dengan memberikan peran yang berarti kepada para budayawan untuk mengelola kebudayaan sehingga tidak terkesan alot atau pun kuno.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar