Oleh Harjoko Sangganagara | Daily Investor. Rabu, 18 Januari 2012 | 10:34
Banjir yang melumpuhkan jalan tol ruas Jakarta-Merak merupakan potret buram dari betapa buruknya kualitas pembangunan infrastruktur. Pembenahan infrastruktur pascabanjir yang sering dilakukan secara tambal sulam pun hanya akan menjadi bulan-bulanan banjir lagi di kemudian hari
Betapa ironisnya, banjir yang merendam jalan tol tersebut mencapai ketinggian hingga satu meter. Bahkan, di kilometer 57–59, ketinggian air mencapai 1,5 meter. Akibatnya, infrastruktur transportasi yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera terputus.
Fenomena alam berupa air laut pasang dan terjangan banjir akibat meluapnya daerah aliran sungai (DAS) merupakan ancaman serius terhadap infrastruktur transportasi. Ini harus ditangani secara komprehensif. Pemerintah sepertinya tidak berdaya menghadapi fenomena alam di kawasan pantai utara (pantura) itu. Apalagi ekosistem di pantai utara Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat itu sudah rusak.
Hampir setiap musim hujan, kondisi daerah sepanjang pantura Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat seperti tergencet oleh dua fenomena kekuatan alam. Fenomena yang pertama adalah banjir pantai atau ombak pasang lautan yang semakin menggerus garis pantai lalu melibas ke arah selatan hingga merendam jalan tol.
Sedangkan fenomena kedua merupakan banjir kiriman dari hulu DAS yang semakin mengganas. Akibatnya, berbagai infrastruktur di daerah pantura berulang kali mengalami kerusakan yang parah.
Degradasi Infrastruktur
Berbeda dengan penanganan pasca-banjir di DKI Jakarta yang infrastrukturnya begitu cepat dibenahi, maka banjir di pantura, yang masuk wilayah Banten dan Jawa Barat selama ini hanya diatasi secara tambal sulam. Itulah yang mengakibatkan semakin terjadinya degradasi infrastruktur, lingkungan, dan sosial. Ironisnya lagi, hingga saat ini pemerintah juga belum menerapkan risk management secara benar guna meminimalkan kerugian akibat banjir.
Menerapkan manajemen risiko untuk infrastruktur, permukiman, dan pertanian, baik untuk proyek skala besar, sedang, maupun kecil adalah penting, agar, ketika puncak musim hujan datang, daerah pantura memiliki ketahanan yang lebih baik. Dalam menghadapi ancaman banjir Pemprov Banten, misalnya, belum terlihat serius dan belum memiliki contingency plan. Sebagai hilir DAS Cisadane dan lain-lain, daerah Pantura telah menerima beban limpahan banjir akibat rusaknya ekosistem di hulu.
Untuk itulah pentingya pembenahan dan rehabilitasi ekosistem DAS Cisadane dan lainlain secara total dan konsisten. Idealnya, DAS Cisadane membutuhkan beberapa bendungan untuk mengendalikan bencana banjir. Daerah langganan banjir di pantura membutuhkan infrastruktur yang memiliki tingkat keandalan untuk menghadapi banjir. Untuk itu dibutuhkan perancanaan, criteria teknis, dan analisis terhadap banjir.
Dampak komulatif dan frekuensi terjadinya banjir yang diukur secara akurat dalam jangka waktu tertentu sangat berguna untuk menentukan spesifikasi pembangunan infrastruktur. Kerusakan infrastruktur yang sangat parah kini menimpa jalan, bangunan, tanggul, dan pintu air di daerah pantura. Untuk itu, perlu diterapkan konstruksi jalan beton yang dilapisi aspal dengan bahun jalan yang dilengkapi dengan sistem drainase yang volumenya lebih besar untuk mendapatkan ketahanan infrastruktur terhadap terjangan banjir di kemudian hari.
Idealnya, pembangunan infrastruktur di daerah rawan banjir harus memiliki ketahanan konstruksi dan fungsi dalam jangka waktu panjang. Sudah menjadi opini umum bahwa proyek-proyek pasca-banjir yang telah lalu bernuansa tambal sulam dan asal jadi. Ke depan, pemerintah seharusnya menetapkan filter dan standar persetujuan proyek pembangunan infrastruktur penanggulangan banjir yang sangat ketat.
Salah satu contoh pembuatan infrastruktur yang kurang memperhatikan kaedah adalah pintu air. Masih banyak pintu air yang hingga saat ini masih memakai cara-cara yang primitif. Begitu juga dengan system pintu air yang sudah memakai system mekanik ternyata banyak yang sudah rusak akibat kurang andalnya desain dan perawatan yang kurang memadai.
Kehancuran Mangrove
Banjir juga disebabkan oleh hancurnya ekosistem di daerah pantai atau hilir. Kerusakan dan kehilangan areal hutan mangrove atau hutan bakau-payau telah terjadi di sepanjang garis pantai utara provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat. Usaha reboisasi kawasan pantai yang gundul selama ini belum menunjukkan kemajuan. Akibatnya gerusan abrasi dan terjangan gelombang pasang semakin besar.
Karena kurang adanya langkah yang efektif dan terpadu untuk menjalankan program rehabilitasi, maka jutaan bibit mangrove dan pohon pantai lainnya tidak tertanam semestinya. Akibatnya, keganasan abrasi terus mengancam jalur jalan pantura sebagai sarana transportasi yang vital. Kerusakan hutan mangrove di pesisir pantai utara dari hari kehari semakin parah. Langkah reboisasi masih banyak yang gagal karena berbagai faktor termasuk korupsi.
Itulah yang mengakibatkan jutaan benih mangrove dan tanaman pantai lainnya gagal disemai. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan tidak berdaya menangani kehancuran hutan bakau. Keberadaan hutan mangrove juga dapat menjadi benteng hidup bagi gempuran ombak pasang, termasuk mampu meminimalkan efek bencana tsunami. Berdasarkan hasil penelitian ilmuwan dari Tohoku University Jepang, pohon mangrove dapat meredam energi gelombang tsunami secara signifikan.
Selain mencegah terjadinya abrasi dan erosi akibat gempuran ombak dan aliran sungai, hutan mangrove juga berfungsi sebagai filter biomekanis yang paling ampuh untuk mengurangi efek pencemaran lingkungan. Untuk itulah pemerintah daerah tiga provinsi itu harus serius membuat proteksi pada wilayah pantai utara, di antaranya dengan membuat jalur hijau sekurang-kurangnya 200 meter dari garis pantai berupa hutan mangrove dan tanaman pantai lainnya yang dapat berfungsi sebagai penahan gelombang.
Untuk reboisasi hutan mangrove yang rusak, pemerintah harus segera mengeluarkan aturan teknis menyangkut fungsi lindung, fungsi pelestarian, dan fungsi produksi. Jika tidak, kutukan mangrove berupa bencana akan selalu datang.
Penulis adalah dosen STIA Bagasasi Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar