Oleh : Harjoko Sangganagara *)
Sebuah pesan pendek datang sebagai undangan untuk menghadiri syukuran pembuatan film tentang kisah hidup Ibu Inggit Garnasih bertempat di Gedung Indonesia Menggugat. Ini adalah sebuah upaya untuk menggalang dukungan bagi istri pertama presiden pertama Republik Indonesia yang lebih dikenal dengan nama Ibu Inggit yang diusulkan masyarakat Jawa Barat menjadi pahlawan nasional. Sebelumnya sebuah seminar nasional menyimpulkan bahwa Ibu Inggit besar jasanya bagi Negara ini mengingat pengabdiannya mendampingi Bung Karno dalam perjuangan merebut kemerdekaan sehingga layak dijadikan sebagai pahlawan nasional.
Jauh-jauh hari sebelumnya Ramadhan K.H. membuat sebuah autobiografi Ibu Inggit berjudul Kuantar ke Gerbang Kisah Cinta Inggit dengan Sukarno, yang ditulis dalam bentuk roman. Poeradisastra dalam sekapur sirih roman tersebut menulis amat provokatif : “separuh daripada semua prestasi Sukarno dapat didepositokan atas rekening Inggit Garnasih dalam ‘Bank Jasa Nasional Indonesia’. Pernyataan Poeradisastra tersebut mungkin ada benarnya karena Ibu Inggit berperan mendampingi Bung Karno sejak masih berstatus mahasiswa di THS (sekarang menjadi ITB), hingga dipenjara di Sukamiskin dan Banceuy yang berlanjut ke pembuangan di Ende dan Bengkulu. Ketika saat Indonesia merdeka tiba dan Bung Karno menjadi presiden pertama, Ibu Inggit tidak lagi berada di samping orang yang dicintai dan dikaguminya. Perempuan perkasa itu memilih berpisah karena tidak bisa menerima kenyataan cintanya harus dibagi dengan Fatmawati, teman sekolah anak angkatnya.
Indonesia harus memberikan penghargaan yang sepantasnya. Sebuah gelar bernama pahlawan nasional bahkan belum mampu membayar dedikasi dan pengorganan yang diberikan Ibu Inggit bagi Bung Karno dan republik ini. Dedikasi dan pengorbanan Ibu Inggit merupakan nilai-nilai kepahlawanan yang semakin terasa bermakna di tengah kekacauan nilai hidup berbangsa dewasa ini di tengah pusaran arus globalisasi.
Proses globalisasi mempengaruhi pada hampir keseluruhan arena kehidupan manusia terutama meliputi arena ekonomi, politik, dan budaya. Pada arena budaya mempengaruhi dimensi lanskap kepercayaan (sacriscape), lanskap etnik (etnoscape), lanskap ekonomi (econoscape), dan lanskap persantaian (leisurescape).Pandangan Marxian menganggap arena ekonomiah yang menentukan, sedangkan pandangan Parsonian menganggap arena budaya yang menentukan, sedangkan arena lainnya mengikuti.
Untuk menilai globalisasi, perlu dipertimbangkan norma-norma kultural yang dihasilkan oleh proses globalisasi kontemporer. Masalah globalisasi bukan melulu eksploitasi atau pekerja dunia ketiga atau kerusakan lingkungan, tetapi juga proses dehumanisasi. Globalisasi pada bidang ekonomi melahirkan negara-negara industri raksasa dan korporasi perdagangan raksasa, di sisi lain memarjinalkan negara-negara miskin. Globalisasi dalam bidang politik mengakibatkan semakin berkurangnnya kekuasaan negara karena perkembangan ekonomi dan budaya global. Globalisasi budaya menyebabkan dunia dewasa ini dalam keadaan kacau (chaos).
Globalisasi menghasilkan paradox (Naisbitt), yaitu efek diferensiasi dan sekaligus homogenisasi. Efek diferensiasi terlihat pada runtuhnya negara Uni Soviet akibatnya munculnya sub budaya etnis (etnosentrisme). Negara yang dulunya terdiri dari pelbagai jenis etnis kini terurai ke dalam negara-negara kecil akibat munculnya nilai-nilai budaya etnis. Masalah semacam itu disadari benar oleh para founding fathers negara kita, sehingga memilih semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan pengakuan terhadap nilai-nilai sub budaya yang dari bangsa Indonesia yang bhinneka (berbeda-beda) namun keseluruhannya diikat oleh satu cita-cita untuk menciptakan budaya nasional yang diterima sebagai puncak budaya etnis. Efek homogenisasi terjadi terutama karena pengaruh komunikasi yang semakin intens. Televisi telah menjadikan dunia terasa sempit dan cita rasa manusia seolah diseragamkan. Tapi pada sisi lain pengaruh komukasi juga menyebabkan negara-bangsa (nation-state) yang homogen berubah ke arah suatu multikulturalisme. Pusat kekuasaan bisa beralih ke pinggiran, sedangkan budaya yang dulunya di pingiran (periphery) bisa berpindah ke pusat.
Paradoks lain yang dimunculkan oleh globalisasi adalah munculnya kesenjangan yang semakin besar antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Di sisi lain kesenjangan itu juga terjadi di dalam negara-negara terebut, yaitu antara masyarakat kaya dan miskin. Kemiskinan menjadi masalah pokok yang harus diatasi oleh dunia.
Globalisasi yang menimbulkan krisis multidimensional telah mampengaruhi perkembangan kepribadian manusia berupa krisis identitas dalam diri individu, kelompok dan masyarakat. Untuk mengatasi persoalan tersebut maka diperlukan upaya-upaya pembinaan kepribadian yang merupakan pemberdayaan diri dalam menghadapi persoalan-persoalan yang muncul akibat globalisasi. Bangsa Indonesia harus mempunyai identitas diri yang kuat dan memiliki antisipasi terhadap perubahan-perubahan yang akan terjadi.
Tokoh Ibu Inggit dengan nilai-nilai kepahlawanannya merupakan karakter yang kuat yang mampu memelihara dan berpegang pada nilai-nilai yang diyakininya benar sehingga pantas dijadikan rujukan nilai bagi bangsa Indonesia khususnya dalam kaitannya dengan nasionalisme.
Nasionalisme (faham kebangsaan) tidak dapat dilepaskan dari nation (bangsa), yaitu sejumlah orang yang memandang diri mereka sebagai komunitas atau kelompok dan memberikan kesetiaan kepada kelompok di atas kepentingan lainnya. Mereka biasanya memiliki bahasa, budaya, agama, politik dan lembaga-lembaga serta sejarah di mana mereka mengidentifikasikan diri, juga percaya bahwa mereka mengalami persamaan nasib. Mereka biasanya mendiami suatu wilayah tertentu. Adapun faktor-faktor yang mendukung terbentuknya suatu bangsa adalah bahasa, ras, geografi dan lembaga-lembaga politik. Orang-orang yang membentuk suatu bangsa biasanya mengembangkan nasionalisme. Jika bangsa tersebut mencapai status negara-bangsa (nation-state), mereka mengembangkan suatu kerangka politik yang melindungi penduduk dan membangun lembaga-lembaga negara. Dalam membangun nasionalisme, penduduk mengesampingkan kepentingan pribadinya untuk disumbangkan bagi kemerdekaan, harga diri, kemakmuran dan kekuatan negara.
Ibu Inggit adalah manusia yang mengesampingkan kepentingan pribadinya untuk kepentingan bersama yang lebih besar. Ia tidak ditakdirkan untuk memasuki Istana Merdeka bersama Bung Karno. Ia membela Bung Karno yang dituduh menulis surat bernada minta ampun pada Jendral Verheyen dan mengatakan “itu mah pamali, itu mah mustahil”. Ia memaafkan Fatmawati yang dianggapnya sebagai anak. Ia setia menjalani hari tuanya dengan berjualan bedak buatan sendiri. Ia memaafkan Bung Karno yang ketika masih sebagai mahasiswa disapanya dengan panggilan Kusno.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar