SINAR HARAPAN Rabu 13. of April 2011 13:30
OLEH: HARJOKO SANGGANAGARA
Pemerintah sedang berusaha mengambil hati rakyat dengan berbagai rencana pembangunan infrastruktur yang bisa langsung dinikmati rakyat kecil.
Rencana itu antara lain dengan pernyataan pemerintah yang akan menyediakan rumah yang harganya sangat murah.
Apakah rencana pemerintah tersebut realistis atau hanya pepesan kosong? Mengingat fakta di lapangan menunjukkan betapa sulitnya rakyat memperoleh rumah yang harganya murah. Apalagi, pada saat ini telah terjadi komplikasi regulasi dengan pelaksanaan pembangunan perumahan untuk rakyat. Regulasi dan kebijakan pemerintah yang ada sekarang ini nuansanya justru memihak pembangunan rumah mewah dan pro pengembangan kawasan elite. Sementara itu, pembangunan perumahan rakyat kecil masih jauh dari harapan.
Kondisinya semakin menyedihkan karena substansi UU Perumahan dan Permukiman yang baru disahkan kurang memihak kepentingan rakyat kecil. UU Perumahan dan Permukiman yang merupakan revisi dari UU Nomor 4 Tahun 1992 itu dirasakan tidak membumi alias kurang berpihak pada rakyat untuk mendapatkan rumah murah.
Substansi RUU di atas juga kurang sistemik, karena belum mengatur secara tegas sistem kelembagaan pelaksana pembangunan perumahan. Akibatnya, posisi lembaga pembangun perumahan seperti Perumnas masih lemah. Selain itu, substansi RUU juga belum bisa dijadikan fondasi untuk mengatasi defisit pengadaan rumah rakyat.
Dengan adanya komplikasi seperti itu, lalu dengan sistem seperti apa pemerintah bisa mewujudkan rumah murah dengan jumlah yang signifikan.
Skema yang dilontarkan oleh Menteri Perumahan Rakyat terkait hal di atas adalah dengan cara menurunkan suku bunga KPR dengan cara menyuntikkan dana APBN kepada perbankan. Skema tersebut sebenarnya bukan hal baru dan faktanya selama ini kurang efektif di lapangan. Kondisi di lapangan sangat ruwet dan di sana-sini terjadi biaya ekonomi tinggi bagi pelaksana pembangunan rumah murah.
Perumnas
Berbicara tentang rumah murah, di dalam benak rakyat tidak bisa lepas dari eksistensi Perumnas. Ironisnya, kondisi lembaga Perumnas sendiri seperti hidup segan mati tak mau. Aset dan proyek-proyek PT Perumnas terlihat stagnan dan terbengkalai. Kawasan-kawasan perumahan rakyat yang telah dibangun PT Perumnas kondisi infrastrukturnya banyak yang rusak.
Kerusakan infrastruktur itu semakin parah dan tidak ada pihak yang berusaha memperbaikinya, seperti contohnya kompleks perumahan Bumi Rancaekek Kencana. Kompleks tersebut merupakan salah satu contoh yang menyedihkan terkait terdegradasinya peran lembaga Perumnas.
Tak bisa dimungkiri lagi, pada saat ini telah terjadi degradasi kawasan yang telah dibangun oleh Perumnas. Selain itu, juga masih banyak aset dan produk Perumnas yang masih menganggur dan terbengkalai lepas dari kontrol manajemen pusat. Pengelola Perumnas belum mampu menciptakan kawasan pertumbuhan kota yang nyaman dan sarat nilai tambah ekonomi. Masih banyak aset Perumnas yang masih menganggur dan cukup banyak yang disalahgunakan pihak lain.
Terkait masalah tersebut, sebaiknya pemerintah melakukan audit investigasi guna mengetahui secara pasti berapa sebenarnya jumlah aset Perumnas yang masih menganggur serta jumlah aset yang mengalami penyimpangan. Setelah itu baru menggerakkan usaha yang arahnya ke efisiensi lahan.
Sayangnya, langkah manajemen Perumnas untuk meningkatkan kinerja korporasi di segala lini dengan menetapkan visi baru sebagai pelaku utama dalam penyediaan perumahan rakyat masih gontai dan terlihat mengalami disorientasi.
Mestinya pemerintah serius mengarahkan PT Perumnas menjadi semacam National Urban Development Corporation (NUDC) yang tangguh. Namun, kondisinya sekarang sangat ironis, karena sudah lebih dari 12 tahun PT Perumnas tidak mendapatkan alokasi kebijakan yang bersumber dari APBN seperti dalam bentuk skema PSO (Public Service Obligation ) maupun dalam bentuk insentif atau stimulus lainnya.
Kalau sudah demikian ceritanya, lantas dengan skema dan instrumen apa pemerintah sekarang ini bisa mewujudkan rumah yang murah untuk rakyat kecil? Retorika rumah murah yang telah dilakukan oleh pemerintah bisa menjadi bumerang sosial.
Langkah pembangunan perumahan rakyat pada saat ini juga terkendala aspek otonomi daerah yang berbentuk perda. Hal ini terasa memberatkan rakyat dan pihak yang terkait pembangunan perumahan. Pemerintah daerah banyak yang belum sadar bahwa masalah perumahan rakyat merupakan unsur penting dalam pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) agar peringkat bisa naik. Mestinya kompleksitas persoalan perumahan rakyat diatasi dengan memberikan peran yang lebih besar kepada PT Perumnas dengan membentuk postur manajemen baru yang lebih bersih dan kredibel. Hal tersebut juga untuk mengatasi masalah gentrifikasi kota dengan pendekatan yang terpadu antar eselon yang terkait dengan masalah infrastruktur serta pihak pemerintah daerah. Apalagi ada disparitas yang lebar dalam hal pemenuhan kebutuhan rumah untuk kalangan atas dengan rakyat kecil.
Pada saat ini pembangunan kompleks perumahan mewah sangat pesat hingga melahirkan fenomena gentrifikasi. Pembangunan perumahan mewah itu memang searah dengan filosofi kota modern yang memadukan kebutuhan hidup warganya selama 24 jam. Implikasinya, terwujudlah pusat-pusat perbelanjaan modern yang terintegrasi dengan rumah mewah. Lalu terjadilah penumpukan orang kaya di pusat kota. Terjadilah fenomena gentrifikasi (gentrification), yakni fenomena ketika warga miskin atau mereka yang lemah “terlempar” ke luar kota tanpa ada kepastian untuk mendapatkan sarana perumahan yang layak.
Ada baiknya kita simak teori pakar perencanaan kota Neil Smith yang mengingatkan kita bahwa gentrifikasi bisa dianalogikan sebagai dua mata sisi pedang. Di satu sisi bersifat optimalisasi ruang kota. Tetapi, di sisi lain bisa memicu ketimpangan sosial yang bisa menjadi bom waktu. Oleh sebab itu, proses gentrifikasi harus segera ditangani dengan program pembangunan rumah rakyat yang benar-benar murah. Bukan sekadar retorika atau isapan jempol belaka.
Penulis adalah dosen STIA Bagasasi Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar