Senin, 28 Desember 2009
Rabu, 23 Desember 2009
Program relokasi nelayan harus dilakukan dengan prinsip cost effectiveness
Memperkuat Program Relokasi Nelayan dan Sistem Informasi Pulau Kecil
Oleh HARJOKO SANGGANAGARA *)
Pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil di negeri ini masih jauh dari harapan. Departemen Kelautan dan Perikanan belum mampu mengimplementasikan Undang-Undang No.27/2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara efektif dan cerdas. Konteks pengelolaan diatas menyangkut perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antar pemerintah dan pemerin daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Indonesia memiliki 92 pulau kecil yang strategis secara posisi maupun potensi ekonomi. Namun, sifat strategis tersebut belum didayagunakan secara optimal. Dinas Kelautan dan Perikanan di daerah mestinya bertindak kreatif dalam mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan bantuan teknologi. Seperti membuat sistem informasi dengan teknologi terkini. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga harus mencakup program relokasi bagi nelayan.
Hingga saat ini akses terhadap informasi, terutama menyangkut posisi dan potensi pulau-pulau kecil tersebut kurang meamadai. Akibatnya pembangunan dan pengusahaan sulit dilakukan. Pendekatan geospasial yaitu dengan data dan informasi yang bereferensi bumi merupakan langkah yang efektif dalam pengelolaan. Mestinya, seluruh Dinas Kelautan dan Pesisir harus mampu membuat Sistem Informasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan menggunakan aplikasi yang murah/gratis. Seperti penggunaan Google Maps API (Application Programming Interface). Sistem ini menggunakan data dari domain publik yang gratis, legal, dan bersifat open source. Serta dapat didiseminasikan dengan mudah. Kreatifitas aparatur DKP di daerah perlu diwujudkan untuk menciptakan sistem informasi yang mudah diakses.
Google Maps API yang digunakan dalam pembuatan Sistem Informasi berisi informasi tentang citra seluruh bumi yang salah satu informasinya ditampilkan dalam bentuk citra foto satelit. Dari citra tersebut kemudian dapat ditambahkan informasi-infomrasi lain dengan menambahkan fitur-fitur yang diinginkan. Google menyediakan layanan API untuk menampilkan peta pada halaman website. Aplikasi ini bernama Google Maps API (GMaps API). Peta yang ditampilkan diambil dari layanan Google Maps. Ada tiga jenis tampilan yang bisa dipilih dari Google Maps, yaitu: Map, Sattelite, dan Hybrid. Map menampilkan peta dalam bentuk peta garis, Sattelite menampilkan peta dalam bentuk citra/foto satelit dan Hybrid merupakan gabungan dari Map dan Sattelite. Dengan Google Maps API bisa dirancang sistem informasi berbasis internet untuk menampilkan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Setiap obyek bisa diberi label dan tiap label berisi keterangan tentang nama pulau, koordinat titik terluar, jumlah penduduk, wilayah administrasi dan potensi ekonomi. Dilengkapi juga dengan hyperlink untuk menuju halaman website yang berisi informasi lebih lengkap.
Ada perbedaan tipologi nelayan di negeri ini, baik menyangkut latar belakang budaya, sosial, pendidikan, dan tingkat kohesitas dalam komunitas mikro (antar nelayan dalam satu grup) atau dalam komunitas makro (nelayan dengan anggota masyarakat pesisir lainnya). Tipologi nelayan tersebut dapat digunakan sebagai ukuran bagi penentuan program relokasi nelayan di sebelas wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Dinamika budaya dan sosial ekonomi masyarakat nelayan baik yang akan direlokasi maupun yang akan menjadi tujuan relokasi harus diketahui dengan baik untuk menghindari kemungkinan distorsi dari tujuan relokasi seperti potensi terjadinya konflik. Relokasi nelayan dapat dilakukan dengan prinsip cost effectiveness. Sebagai contoh, kelebihan nelayan di WPP 5 (Laut Jawa ) mungkin akan lebih tepat apabila dialihkan ke WPP 2 (Laut China Selatan) yang notabene masih relatif dekat dan secara sosial tidak terlalu berbeda. Selain itu, pentingnya kebijakan transformasi nelayan. Kebijakan ini pada intinya bertujuan untuk memindahkan (transform) mata pencaharian nelayan baik secara vertikal misalnya dari nelayan menjadi pembudidaya ikan, pedagang perikanan atau pengolah ikan, jadi masih tetap dalam koridor sistem perikanan, atau dilakukan secara horisontal yaitu mengalihkan profesi nelayan menjadi kegiatan lain di luar sistem perikanan. Kebijakan tersebut merupakan adopsi dari salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan yang ditekankan oleh FAO melalui Code of Conduct for Responsible Fisheries. Yaitu bentuk Regional Fisheries Management Organization (RFMO). Yang pada prinsipnya kebijakan tersebut menitikberatkan pada kerjasama regional (level negara) dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan lintas batas.
Tingginya tingkat degradasi lingkungan dan kemiskinan di wilayah pesisir merupakan isu utama pembangunan wilayah pesisir. Kondisi tersebut disebabkan karena belum jelasnya sistem perencanaan wilayah pesisir dan tidak sinkronnya pembangunan antar sektor. Tantangan dan rintangan bidang pengawasan dan pengendalian (wasdal) sumber daya kelautan dan perikanan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus dijawab dengan strategi yang bisa mentransformasikan program dan kegiatan wasdal. Sehingga amanat pokok kegiatan wasdal yang mewujudkan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan bisa terlaksana dengan baik. Apalagi, pada saat ini eksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan intensitasnya sangat tinggi di seluruh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Antara lain seperti minyak bumi dan gas, perikanan, ekowisata bahari, industri kelautan, bangunan kelautan, angkutan laut, serta jasa kelautan lainnya, termasuk eksploitasi harta karun/ barang berharga asal muatan kapal tenggelam (BMKT). Eksploitasi yang berlebih berdampak pada rusaknya lingkungan. Pentingnya penguatan sistem VMS (Vesel Monitoring System) mengingat kapabilitas armada di DKP Provinsi rata-rata baru berukuran dibawah 30 GT. Juga perlunya standar kapal patroli untuk pengawasan keamanan laut. Sistem VMS juga harus mampu mencakup masalah Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Selama ini sistem informasi HP-3 masih pincang, sehingga menimbulkan masalah tentang hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.
*) Pemerhati Budaya Masyarakat Pesisir, Peserta Program S-3 Sekolah Pascasarjana UPI Bandung
**) Dimuat Harian KONTAN, 24 Desember 2009
Sabtu, 05 Desember 2009
The importance of education outside the school in accordance with the spirit of the times
Movement Anti-Unemployment and the Role of Non-Formal Education
By : HARJOKO SANGGANAGARA
(Cultural, Participant S-3 Program Graduate School of UPI Bandung)
Step Ministry of Manpower and Transmigration (Depnakertrans) which launched the movement of unemployment reduction (GPP) should not be limited to programs that only excessive distributing the money a la Santa. GPP program that made the early breakthrough Muhaimin Iskandar minister look less systemically so that the impact is less widespread. Can not be denied, the movement that proclaimed anti-unemployment Muhaimin minister for the new limited-ceremonial for money in the form of deconcentration funds and ketransmigrasian manpower and funds perbantuan task.
Unemployment anti conditions should be based on objective and qualifications of the unemployed today. Data Central Statistical Agency (BPS) shows that the number of unemployed in Indonesia in February 2009 reached 9,259,000 people. Of that amount, qualified graduate unemployment reached 626,600 people, 486,400 of those diplomas, high school vocational 1,337,600 people, 2,133,600 of the general high school, junior 2,054,700 people, 2,143,700 people elementary school, and did not complete primary school 450,000. Qualifications of the most critical and complex issue is the junior secondary school graduates to not complete primary school. They had not received a scheme and a decent employment programs. Their fate and abandoned by the state simply allowed to earn a livelihood if possible. Unemployment should have anti reinventing education begins with the formal charge nor productivity and creativity in accordance with the progress of time. Reinventing the meaning of rediscovering the importance of non-formal education in accordance with the spirit and the progress of time, he will be able to give practical provisions for the unemployed. Unfortunately, non-formal education on hold at the moment looking at random with a charge or outdated content. Non-formal educational organizations in the district called PKBM (community learning center) and at the district / city called SKB (studio learning activities) are not able to adapt to the progress of time. Unfortunately again, the above organizations bound by a chronic disease of bureaucracy. Seeing the above conditions the importance of synergy between Depnakertrans with reinventing the National Education Ministry to conduct non-formal education in this country.
All parties must realize that the root of the problem of unemployment was due to the education crisis. Be worthwhile to look at the history of the world, where in 1967 in Williamsburg, Virginia United States organized an international conference on "The World Educational Crisis". The initiative came from a former primary school teacher who later became President of the United States, the Lyndon B. Johnson. The conference organized by the James A. Perkin, Rector of Cornell University. Based on the working paper of the conference attended by 150 leaders in developed and developing countries, taken several steps and a global agreement. First, the importance of a united couple basic facts of the educational crisis, and make it explicit and to make strategies to deal with it. Second, a systematic search method and does not terkeping-pieces. A fantastic environmental changes caused by a number of world revolution in the field of science, politics, economics, demography and social order. Education system is also growing and changing rapidly, but not able to adapt to changes around it. Consequences arising gap between the education system and its environment, it is the essence of the world educational crisis. Although local conditions lead to different variations of the crisis from one country to another, however, seems the common thread in all nations.
Important recommendations of the conference is the above pendididkan important role in all three environments, known as community or so-called non-formal education. Environmental education through the public or non-formal education has various names, such as adult education (adult education), continuing education (further education), on-the-job training (job training), accelerated (training accelerated), farmer or worker training (training of workers for farmers), and extension service (additional educational services). Humans as social beings become part of various groups in society, either naturally or deliberately. Human itself is part of the family, city, state and religious groups. There is also a group that deliberately entered as sports associations, trade unions, cooperatives, political organizations, arts associations and others. Through these groups of non-formal education can be done. Non-formal education can be a complement of formal education, especially when associated with the limitations resulting from the crisis.
Effectiveness and implementation of non-formal education can be seen the difference in the case of developed countries / industrial and developing countries. In developed countries like Europe and North America non-formal education is seen as further education for one's life. Lifelong education (life long education) is very significant in advancing and changing society for three reasons: (1) to obtain employment; (2) maintain the availability of trained manpower with technology and new knowledge needed to continue productivity; (3) improve the quality of and comfort of individual life through cultural enrichment by utilizing free time (leisure time). In developing countries, non-formal education started at random (minimalist), new limited its role to educate the farmers, workers, small businessmen and others who could not attend school. Another role is to enhance the ability of the people who have low educational qualifications so that they work more effectively. In the current era of globalization non-formal education system in this country must be transformed so that its implementation could approach the developed countries.
Selasa, 01 Desember 2009
Sejarah Jawa Barat
Provinsi Jawa Barat ditetapkan pada tahun 1950 berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat beribukota di Kota Bandung dan pusat pemerintahannya berada di Gedung Sate, memiliki wilayah seluas 3.709.528,44 hektar yang secara administratif terdiri dari 17 kabupaten, 9 kota, 527 kecamatan, 468 kelurahan dan 5312 desa.
Kabupaten dan kota di Jawa Barat dalah sebagai berikut : (1)Kabupaten Bandung; (2) Kabupaten Bandung Barat; (3) Kabupaten Cianjur; (4) Kabupaten Sukabumi; (5) Kabupaten Bogor; (6) Kabupaten Bekasi; (7) Kabupaten Karawang; (8) Kabupaten Purwakarta; (9) Kabupaten Indramayu; (10) Kabupaten Cirebon; (11) Kabupaten Sumedang; (12) Kabupaten Subang; (13) Kabupaten Majalengka: (14) Kabupaten Kuningan; (15) Kabupaten Ciamis; (16) Kabupaten Garut; (17) Kabupaten Tasikmalaya; (18) Kota Bandung; (19) Kota Cimahi; (20) Kota Sukabumi; (21) Kota Bogor; (22) Kota Depok; (23) Kota Bekasi; (24) Kota Cirebon; (25) Kota Tasikmalaya; (26) Kota Banjar.
Sejarah
Di lihat dari sudut pandang sejarah, Provinsi Jawa Barat sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Berdasarkan “Provincie Ordonantie”, di Jawa dan Madura dibentuk provinsi-provinsi antara lain Provinsi Jawa Barat pada tanggal 26 Januari 1926 (Stb. 1925-378), yang merupakan provinsi pertama. Provinsi Jawa Barat membawahi lima Karesidenan, yaitu Banten, Batavia, Buitenzorg (Bogor), Priangan, dan Cirebon. Gubernur Jawa Barat yang pertama bernama W.P. Hilten. Pada zaman pendudukan Jepang, Jawa Barat dipimpin dengan sistem militerisme oleh seorang Gunseikan yang memimpin Gunseibu (setingkat provinsi). Kepala Gunseibu Jawa Barat adalah Kolonel Matsui, dengan wakilnya sebanyak dua orang yaitu Raden Suradiningrat dan Atik Suwardi.
Setelah Indonesia merdeka, Belanda masih mencoba untuk menguasai Indonesia. Dr H.J. van Mook mencoba memecah Indonesia menjadi Negara federal (serikat) dengan mendirikan Negara Pasundan (1948) yang memilih R.A.A. Wiranatakusumah sebagai Wali Negara. Namun sebelum itu pada tanggal 4 Mei 1947, Ketua Partai Rakyat Pasundan yang juga sebagai Bupati Garut, R.A.A. Moesa Soeriakartalegawa memproklamasikan berdirinya “Negara Pasundan” dan mengangkat dirinya sebagai Kepala Negara. Di sisi lain, akibat pro kontra Perjanjian Renville pada Januari 1948, maka dalam Masyumi terjadi perpecahan. Sekar Marijan Kartosuwiryo yang tidak menyetujui perjanjian tersebut memproklamasikan Negara Islam Indonesia pada tanggal 7 Agustus 1949.
Dalam perkembangannya lebih lanjut, karesidenan Batavia kemudian menjadi Daerah Khusus Jakarta yang setingkat dengan provinsi. Karesidenan Banten yang mencakup Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kota Cilegon, Kabupaten Serang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang memisahkan diri dari Jawa Barat dan membentuk Provinsi Banten beribukota di Serang. Jabatan residen pun dihapus diganti dengan Kepala Bakorwil (Badan Kordinasi Wilayah), yaitu Bakorwil Bogor, Bakorwil Purwakarta, Bakorwil Priangan yang berkedudukan di Garut dan Bakorwil Cirebon.
Visi dan misi
Provinsi Jawa Barat memiliki visi : “ Dengan iman dan taqwa sebagai Provinsi termaju dan mitra terdepan Ibukota Negara tahun 2010” dengan misi sebagai berikut : (1) Menciptakan situasi kondusif melalui terselenggaranya reformasi politik yang sehat; (2) Mendorong berkembangnya masyarakat madani yang dilandasi nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya daerah (Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh, pikeun ngawujudkeun masyarakat anu cageur, bageur, bener, pinter tur singer); (3) Meningkatkan pelayanan prima kepada masyarakat melalui terselenggaranya pemerintahan yang bersih terbuka; (4) Memanfaatkan potensi sumber daya alam yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan ; (5) Menjadikan Jawa Barat sebagai kawasan yang menarik untuk penanaman modal; (6) Memberdayakan potensi lembaga keuangan untuk mendorong usaha ekonomi masyarakat; (7) Memberdayakan masyarakat melalui pemanfaatan IPTEK yang bersumber dari Perguruan Tinggi serta Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Pola Dasar Pembangunan Provinsi Jawa Barat, 2003).
Pemerintahan Daerah
Gubernur Jawa Barat masa bakti tahun 2003-2008 adalah Danny Setiawan dan Wakilnya Nu’man Abdul Hakim yang dipilih oleh DPRD Provinsi Jawa Barat. Pada pemilihan gubernur yang dilaksanakan secara langsung oleh rakyat, terpilih pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur masa bakti 2008-2023 Ahmad Heryawan dan Yusuf Macan Effendi yang merupakan koalisi yang diusung PKS dan PAN mengalahkan pasangan Agum Gumelar - Nu’man Abdul Hakim yang diusung PDI Perjuangan, PPP, PBB dan PDS; dan Danny Setiawan-Iwan Sulanjana yang diusung Partai Golkar dan Partai Demokrat. .Sebelum Danny Setiawan, Gubernur Jawa Barat sejak Indonesia merdeka adalah sebagai berikut: Mas Soetardjo Kartohadikusumo (1945), Mr Datuk Djamin (1946): Mas Sewaka (1946-1952); Ir Ukar Bratakusumah (1948-1949); R Muhammad Sanusi Hardjadinata (1952-1956); R. Ipik Gandamana (1956-1960); H. Mashudi (1960-1970); Solihin Gautama Purwanegara (1970-1975); H Aang Kunaefi (11975-1985); H R Moh. Yogie Suardi Memet (1985-1993) dan R. Nuriana (1993-2003) (Tim Pansus DPRD, 1995 : 51-185).
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Barat berdasarkan hasil Pemilihan Umum tahun 2004 berjumlah 100 (seratus) orang dengan komposisi keangggotaan berdasarkan kepartaian adalah sebagai berikut (Profil DPRD Provinsi Jawa Barat 2004-2009) : Partai Golongan Karya 28 orang, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 19 orang, Partai Keadilan Sejahtera 14 orang, Partai Persatuan Pembangunan 13 orang, Partai Demokrat 9 orang, Partai Kebangkitan Bangsa 7 orang, Partai Amanat Nasional 7 orang, Partai Bulan Bintang 1 orang, Partai Kesatuan dan Persatuan Bangsa 1 orang, dan Partai Damai Sejahtera 1 orang.
Keseratus anggota DPRD tersebut berhimpun ke dalam 7 (tujuh) fraksi, yaitu Fraksi Parti Golkar 28 orang, Fraksi PDI Perjuangan 21 orang (termasuk di dalamnya anggota dari PDS dan PKPB), Fraksi PKS 14 orang, Fraksi PPP 13 orang, Fraksi PD 10 orang (termasuk anggota PBB I orang), Fraksi PAN dan Fraksi PKB masing-masing 7 orang.
Melalui pemilihan dalam Rapat Paripurna, DPRD Provinsi Jawa Barat dipimpin secara kolektif oleh 4 orang pimpinan : H.A.M. Ruslan (FPG) sebagai Ketua, H. Rudi Harsatanaya (FPDI Perjuangan) sebagai Wakil Ketua, H. Achmad Ru’yat (FPKS) sebagai Wakil Ketua dan H.Amin Suparmin (FPPP) sebagai Wakil Ketua.
Pada Pemilu legislatif 2009, PD memperoleh kursi terbanyak di DPRD Provinsi Jawa Barat diikuti PG dan PDI Perjuangan, PKS, PPP, PKB,PAN, Partai Gerindra dan Partai Hanura. Partai Gerindra dan Partai Hanura adalah partai baru yang memperoleh suara secara mencolok secara nasional maupun regional. PD unggul secara nasional di bawah bayang-bayang popularitas SBY yang kemudian maju menjadi capres berpasangan dengan Boediono berhadapan dengan Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto. Dalam Pemilihan Presiden 8 Juli 2009, Megawati Prabowo memperoleh suara sekitar 27%, SBY-Boediono 60% dan JK-Wiranto 13% berdasarkan data dari Quick Count dan Exit Poll yang dilakukan pelbagai lembaga survei dan stasiun teve.
Para anggota DPRD memiliki tiga fungsi pokok yaitu membuat peraturan daerah (legislation), membuat anggaran pendapatan dan belanja daerah (budgeting) dan mengawasi jalannya pemerintah daerah (controlling).
Good Governance
Penyelenggaraan pemerintahan diarahkan pada terwujudnya good governance yang diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik yang didasarkan pada prinsip-prinsip good governance yaitu : partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparansi, peduli pada stakeholder, berorientasi pada konsensus, kesetaraan, efektifitas dan efisiensi, akuntabilitas dan visi strategis.
Agenda good governance versi Partnership for Government Reform adalah anti korupsi, reformasi birokrasi, corporate governance, reformasi hukum dan peradilan, otonomi daerah dan desentralisasi, reformasi pemilihan umum, pemberdayaan parlemen dan penguatan masyarakat madani (Masyarakat Transparansi Indonesia, 2002:10)
Senin, 23 November 2009
Inovasi kunci perekonomian di masa depan
Pragmatisasi Inovasi Daerah
Oleh HARJOKO SANGGANAGARA
Laporan International Innovation Index 2009 menempatkan negeri ini berada di posisi ke-71 dari 108 negara yang diukur. Posisi itupun untuk kawasan Asia Tenggara masih dibawah Malaysia yang berada diposisi 21 dan Thailand diposisi 44. Indeks diatas merupakan kondisi yang sangat ironis. Karena potensi sumber daya alam, ragam kebudayaan dan jumlah penduduk negeri ini sebenarnya memungkinkan negeri ini bisa menjadi lahan subur untuk tumbuhnya proses inovasi. Juga bisa merupakan potensi yang sangat besar untuk berbagai produk inovatif. Sayangnya, kebijakan inovasi daerah yang mestinya menjadi ujung tombak sistem inovasi nasional belum dijalankan secara sungguh-sungguh. Kebijakan inovasi daerah acapkali tidak menginjak bumi alias hanya diawang-awang.
Selama ini kebijakan inovasi daerah masih terlalu teoritis dan kurang pragmatis. Pentingnya arti pragmatisasi sistem inovasi daerah agar semua energi kreatifitas tidak menggumpal di meja birokrasi tetapi bisa mencair menjadi nilai tambah bagi masyarakat luas. Istilah pragmatisasi berasal dari bahasa Yunani yakni ”pragma” yang berarti perbuatan atau tindakan yang bermanfaat. Suatu kebijakan atau langkah bisa dianggap pragmatis apabila membawa hasil konkrit dan dapat diaplikasikan secara luas. Pragmatisasi itu akan terwujud jika kebijakan inovasi daerah itu benar-benar berakar dari nilai-nilai dan budaya lokal. Pragmatisasi inovasi daerah hendaknya terfokus kepada produk inovatif lokal yang berupa kriya unggulan. Bermacam kriya unggulan mestinya jangan hanya menjadi barang pajangan untuk pameran. Tetapi harus mampu menjadi produk yang mampu menerobos pasar global secara kontinu. Untuk menerobos pasar dibutuhkan strategi diferensiasi produk kriya unggulan. Kriya unggulan tidak perlu berorientasi cost leader. Dalam arti mesti diproduksi secara masal dengan bantuan permesinan. Sebaiknya kriya unggulan tetap dikerjakan oleh daya kreatifitas dan tangan-tangan trampil anak bangsa. Hal itu sejalan dengan pendapat pakar manajemen industri Michael Porter, yang menyatakan bila suatu produk tidak bisa menjadi cost leader, maka jadilah differentiator. Dengan demikian, untuk mengelola produk inovatif seperti kriya, maka strategi diferensiasi bisa menjadi daya saing yang sulit untuk ditiru oleh produk dari negara lain. Contoh strategi diferensiasi yang sukses di pasar global adalah produk ukir-ukiran Jepara. Di pasar Amerika Serikat produk ukiran Jepara mampu bertahan dari gempuran produk masal dari RRC yang berorientasi cost leader. Meskipun harga jual lebih tinggi, namun pasar Amerika Serikat tetap memilih produk mebel ukiran dari Jepara karena faktor mutu dan keunikan. Mutu bisa dilihat dari kualitas presisi, pelapisan kayu, kekuatan sambungan serta motif dan alur ukiran yang sangat berbeda sehingga memiliki keunggulan bila dibandingkan dengan mebel dari RRC.
Strategi diferensiasi terhadap kriya unggulan harus segera dirumuskan. Kriya unggulan atau excellent craft pada prinsipnya merupakan suatu produk yang dihasilkan dari perpaduan antara ketrampilan dan daya kreatifitas manusia, keunikan dalam pemanfaatan/pengolahan material, dan serapan budaya lokal. Strategi diferensiasi yang paling penting dan mendasar adalah aktivitas pelatihan masyarakat untuk membuat kriya unggulan. Pada saat ini semakin langkanya SDM yang bisa menggeluti produksi kriya secara baik. Sudah waktunya pemerintah daerah menyelenggarakan pelatihan dengan infrastruktur dan sistem pengajaran yang modern. Jika pelatihan itu dilakukan secara asal-asalan akan sulit mewujudkan produk kerajinan masyarakat yang layak disebut sebagai kriya. Apalagi kriya unggulan yang mampu mewakli identitas maupun aset bangsa. Metode pelatihan yang ideal adalah lewat lembaga pendidikan formal. Sayangnya pada saat ini sangat jarang, bahkan belum ada sekolah kejuruan yang fokus terhadap pengajaran kriya unggulan. Dahulu, ada sekolah kejuruan tentang bangunan atau perabot dari kayu. Sekolah itu telah menghasilkan tukang kayu yang sangat trampil dan mahir. Namun, sekolah kejuruan semacam itu kini sudah tidak ada lagi. Jika pemerintah daerah kesulitan membentuk atau memformalkan pengajaran tentang kriya, bisa saja melalui pendidikan informal tetapi dengan infrastruktur yang modern. Sayangnya, pemerintah daerah belum mampu menyediakan ruang kreatifitas yang memadai untuk warganya. Mestinya pemerintah daerah tidak boleh mati langkah dalam membangun infrastruktur yang bisa menumbuhkan kreatifitas warga dan mengajarkan proses desain yang benar.
Kebijakan Inovasi Daerah hendaknya tidak terjebak dengan hasil riset lembaga formal atau perguruan tinggi yang terlalu teoritis dan kurang membumi. Pragmatisasi inovasi daerah akan berlangsung dengan baik jika ada landasan yang kokoh terhadap stimulus gagasan disain dari masyarakat. Jika stimulus itu bisa dijalankan secara baik maka sederet gagasan disain masyarakat akan berubah menjadi produk yang lebih rinci. Oleh karena itu, sangatlah penting masukan dari pakar desain produk. Agar gagasan disain masyarakat itu layak untuk dikembangkan. Dari kacamata ilmu desain produk, banyak gagasan yang secara sekilas terlihat mencengangkan, namun setelah dicoba untuk direalisasikan, ternyata sangat sulit atau bahkan tidak mungkin direalisasikan menjadi produk yang baik.
Pragmatisasi inovasi daerah dan strategi diferensiasi hendaknya menjadi perhatian utama dari DRD (Dewan Riset Daerah). DRD sebagai lembaga fungsional lokal itu, kiprah dan tanggung jawabnya seperti disebutkan dalam UU No. 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Stigma DRD yang merupakan lembaga yang selalu mengkerutkan kening orang, harus dirubah menjadi lembaga yang mampu mendorong kreatifitas warga serta mengembangkan kriya hingga menghasilkan nilai tambah yang konkrit. Salah satu yang patut dicontoh adalah program DRD Pemkot Surakarta yang telah sukses mewujudkan strategi diferensiasi dan berhasil meningkatkan pangsa pasar kriya unggulan daerah itu. Melalui pembangunan infrastruktur Solo Technopark. Pembangunan infrastruktur itu merupakan sinergi antara Sistem Iptek Daerah (SIPTEKDA), Sistem Industri dan Perdagangan Daerah (SIPD) serta komponen masyarakat kreatif. Hasilnya, Sistem Inovasi Daerah mampu berfungsinya sebagai local incorporated yang tangguh dan berhasil menggenjot pendapatan daerah serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan nilai tambah yang luar biasa.
*) Artikel dimuat Harian KOMPAS, 24 November 2009
Minggu, 08 November 2009
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya
Relevansi Sikap Ksatria Pahlawan Bagi Pejabat Negara dan Korporasi
Oleh : Harjoko Sangganagara
SALAH satu nilai kepahlawanan bangsa tempo dulu yang kini masih relevan untuk terus ditumbuhkan adalah sikap ksatria yang dijunjung tinggi para pahlawan bangsa. Apalagi, sikap dan jiwa ksatria dari para pejabat negara dan korporasi sekarang ini semakin tipis. Hal itu merupakan manifestasi sakitnya sisi kepribadian bangsa sekarang, sehingga bangsa ini masih gagal dalam mengikuti persaingan dunia. Tipisnya jiwa ksatria pejabat negara dan pelaku ekonomi sekarang ini juga menyebabkan supremasi hukum hanya terucap dimulut, sedangkan dilapangan hukum sudah menjadi barang dagangan dan permainan para calo. Tak mengherankan jika berbagai kasus atau skandal yang melibatkan pejabat negeri ini seperti benang kusut. Kasus yang paling aktual adalah kriminalisasi KPK dan skandal Bank Century merupakan indikator bahwa elit penguasa di negeri ini banyak yang mengidap tuna ksatria. Rakyat dengan kasat mata sering menyaksikan para pejabat negara dalam berbagai strata yang suka menggadaikan jiwa ksatria. Hal tersebut mengakibatkan berbagai kasus pelanggaran HAM dan korupsi menjadi macet bahkan sulit terjamah oleh proses hukum. Sikap ksatria juga sangat penting bagi pelaku binis untuk memajukan korporasi. Sikap ksatria sangat penting untuk mencapai puncak kepuasan pelanggan. Sikap ksatria dalam mengembangkan korporasi sudah menjadi filosofi bagi perusahaan multinasional seperti Levovo dan The Ritz-Carlton Hotel Company. Buah dari filosofi itu membuat perusahaan multinasional mampu berkembang dalam situasi krisis dan mampu mengakuisisi perusahaan-perusahaan besar.
Betapa kontradiktif kondisi psikologis bangsa Indonesia sekarang ini bila dibandingkan dengan era revolusi kemerdekaan tempo dulu. Banyak peristiwa yang menggambarkan sikap ksatria bayangkara negara yang paripurna. Salah satunya tergambar dalam perjuangan seorang pahlawan muda yang bernama Wolter Robert Monginsidi. Dengan sikap ksatria dan gagah beraninya si "gentleman" dari Malalayang tersebut menghadapi pengadilan kolonial Belanda. Untuk kehormatan saptamarga dan kejayaan bangsanya. Monginsidi akhirnya memilih mati secara ksatria didepan regu tembak Belanda dilapangan kawasan Tello Makassar. Dengan beraninya ia menghadapi hukuman mati hanya disertai dengan sebuah goresan kalimatnya "Setia hingga akhir dalam keyakinan". Dan sebuah pekik “Merdeka ! ”. Deposit jiwa dan sikap ksatria juga ditunjukkan oleh Panglima Besar Soedirman. Dengan penyakit paru-paru yang sangat parah, masih berani dan berjiwa ksatria untuk memimpin perang gerilya melawan Belanda. Pak Dirman yang badannya tinggal tulang dan kulit tanpa pengawasan dokter ahli berjalan keluar masuk gunung dan hutan hingga beratus-ratus kilometer jaraknya hanya dengan ditandu.
Sejarah Indonesia sebenarnya telah menyajikan betapa banyaknya pelaku sejarah yang telah memberikan contoh jiwa ksatria dan gagah berani. Banyak peristiwa sejarah yang sarat dengan nuansa terhadap pengadilan para pahlawan bangsa, baik itu pengadilan resmi, pengadilan militer, hingga pengadilan jadi-jadian. Semua itu memberikan teladan bagi generasi penerus untuk menjunjung tinggi kehormatan dan tradisi perjuangan dengan jiwa ksatria. Dalam tataran psikologi sosial bangsa, tumbuh suburnya jiwa dan sikap ksatria akan membuahkan magnanimity ( kebesaran jiwa ) para penyelengara negara. Magnanimity bisa menjadi energi kolektif yang hebat untuk menuju cita-cita bangsa. Sebaliknya, bangsa Indonesia sekarang ini diwarnai oleh banyaknya penyelenggara negara yang tuna ksatria sehingga menimbulkan keruwetan sistem bernegara.
Pada era globalisasi sekarang ini, gelar atau predikat pahlawan tidak lagi dimonopoli oleh mereka yang berjuang angkat senjata. Predikat pahlawan bisa saja diberikan pada sosok yang memberi dampak positif pada masyarakat luas, seperti halnya bagi para pelaku ekonomi. Kata pahlawan dalam kamus besar Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari dua kata Pahla dan Wan. Pahla mengandung makna buah, sedang Wan untuk sebutan orangnya (bersangkutan). Pengertian secara luas pahlawan (baca: pahlawan nasional) adalah orang yang menghasilkan sebuah karya untuk kepentingan bangsa dan negara atau seorang pejuang gagah berani yang mengorbankan jiwa dan raga untuk kepentingan bangsa. Pada saat ini bangsa Indonesia sangat membutuhkan pahlawan ekonomi yang mampu membuat terobosan untuk menciptakan nilai tambah dan kesejahteraan rakyat luas. Pahlawan ekononi bukan sosok yang membuat kebijakan ekonomi ala sinterklas dengan cara membagi-bagikan uang tunai dan menjalankan kebijakan eufimisme pembangunan yang berbasis hutang. Sehingga melahirkan pertumbuhan ekonomi yang tidak bermutu.
Bangsa Indonesia juga membutuhkan korporasi yang pengelolaannya didasari filosofi sikap ksatria dan jujur. Korporasi semacam itu telah ditunjukkan oleh Lenovo dari China. Sebenarnya semangat bekerja dengan ksatria dan jujur bukanlah hal yang baru di China, sejak Revolusi Kebudayaan hal ini terus ditekankan oleh para pemimpinnya dan diikuti oleh rakyatnya. Pejabat China tidak malu untuk mengatakan kalau mereka tertinggal, tapi mereka tidak tinggal diam, mereka terus belajar dan bekerja keras mengejar ketertinggalannya tanpa terlalu banyak mengumbar sesumbar dan slogan-slogan pembangunan yang bombastis. Hal itu juga diterapkan oleh pengelola Lenovo sehingga prusahaan itu mampu mengakuisisi perusahaan raksasa dari USA, yakni IBM. Para pekerja Lenovo selalu mengedepankan sikap ksatria dalam menyelesaikan konflik. Professionalisme diwujudkan dalam semangat terbuka untuk belajar dan kerja keras yang dilandasi oleh jiwa ksatria.
Sisi lain dari relevansi sikap ksatria bagi korporasi adalah terwujudnya pelayanan yang paripurna untuk pelanggan. Hal itu ditunjukkan oleh pengelola The Ritz-Carlton Hotel Company yang sukses mengelola 100 hotel mewah di seluruh dunia berikut kepemilikan residences (apartemen), kelab, dan properti lainnya. Ada sesuatu yang tidak pernah lekang ketika kita mengamati manajemen Ritz Carlton, yakni sikap ksatria segenap manajemen menghadapi keluhan dan kritikan para pelanggan. Sikap ksatria dan jujur itulah yang pada akhirnya membuahkan standar emas dalam pelayanan hotel. Dengan pengalaman bersikap ksatria tersebut, Ritz Carlton kemudian berhasil menetapkan persyaratan tata kelola hotel. Antara lain, menciptakan lingkungan nyaman, inovasi dalam rancang bangun berikut menetapkan batas standar pelayanan yang tidak boleh dikurangi, sekecil apapun dengan alasan apapun. (*)
*) Artikel diatas dimuat harian KONTAN 10 November 2009
Kamis, 01 Oktober 2009
Memaknai 2 Oktober sebagai hari BATIK
Mengembangkan Batik Tak Sebatas Warisan Budaya Dunia
Oleh : Harjoko Sangganagara
United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization atau UNESCO pada 2 Oktober 2009 mendeklarasikan Batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia. Momentum tersebut mestinya dimaknai oleh segenap negeri ini untuk meningkatkan harkat hidup para perajin dan buruh pembatik. Selain menjadi warisan budaya yang termashur batik juga harus bisa menjadi leverage ekonomi kerakyatan. Apalagi banyak daerah yang mulai mengembangkan industri Batik dengan motif khas daerahnya. Dari aspek budaya, hukum, ilmu pengetahuan dan teknologi batik adalah asli Indonesia. Hal itu bisa dibuktikan dari definisi Batik yang dikeluarkan oleh The Textile Museum di Washington DC Amerika yang mendefiniskan batik sebagai “ Indonesian term for the wax-resist dyeing process, or a fabric decorated with this process. Such fabrics reached fantastic heights of virtuosity on the island of Java in Indonesia in the late 19th and early 20th centuries after the introduction of machine-made cotton fabrics permitted more finely controlled designs.”
Istilah Batik berasal dari akar kata bahasa Jawa yakni ambatik yang berarti menulis atau menggambar bentuk yang serba rumit (kecil-kecil) pada kain dengan mempergunakan lilin (malam) dan alat yang bernama canting. Yang dimaksud dengan teknik membuat batik adalah proses pekerjaan dari tahap persiapan kain sampai menjadi kain batik. Pekerjaan persiapan meliputi segala pekerjaan pada kain mori hingga siap dibuat batik seperti nggirah/ngetel (mencuci), nganji (menganji), ngemplong (seterika), kalendering. Sedangkan proses membuat batik meliputi pekerjaan pembuatan batik yang sebenarnya terdiri dari pembuatan motif, pelekatan lilin batik pada kain sesuai motif, pewarnaan batik (celup, colet, lukis /painting, printing), yang terakhir adalah penghilangan lilin dari kain. Teknologi pembuatan batik di Indonesia pada prinsipnya berdasarkan Resist Dyes Technique atau Teknik celup rintang. Untuk membuat motif batik umumnya dilakukan dengan cara tulis tangan dengan canting tulis (batik tulis atau batik painting), menggunakan cap dari tembaga disebut (batik cap), dengan jalan dibuat motif pada mesin printing (batik printing), dengan cara dibordir disebut batik bordir, serta dibuat dengan kombinasi. Dimasa mendatang perlunya eksplorasi motif-motif unik untuk meningkatkan daya saing global. Motif unik itu bisa mengambil bentuk-bentuk bangunan bersejarah, flora, fauna dan keindahan alam di Indonesia.
Bangsa Indonesia mestinya memaknai Batik tak sebatas warisan budaya dunia. Apalah arti warisan budaya dunia jika tidak bisa menjadi leverage ( daya ungkit ) ekonomi kerakyatan. Kita tidak bisa menutup mata bahwa hingga saat ini para pembatik atau buruh industri Batik nasibnya masih terpuruk. Masih banyak diantara mereka yang upahnya masih dibawah UMR. Upah atau imbalan buruh industri Batik masih dibawah buruh TPT. Apalagi industri atau pengrajin batik tradisional mulai digilas oleh batik printing. Pemerintah dan pengusaha batik seringkali kurang menghargai para pembatiknya. Status pembatik belum dikategorikan sebagai profesi formal ataupun seniman. Mereka adalah pekerja informal yang mudah dicampakkan karena tidak tersentuh peraturan ketenagakerjaan. Timpangnya besaran upah karena sistem kerja dan sistem pengupahan yang berdasarkan borongan. Selama ini jaringan bisnis perajin batik merupakan jaringan tradisional yang sangat rentan. Jaringan itu mulai pengadaan bahan baku hingga pemasaran. Sampai saat ini masih jarang lembaga sejenis koperasi yang dapat membantu perajin batik mengatasi masalah penyediaan bahan baku dan bahan pendukung serta mekanisme pemasaran. Salah satu kebijakan pemerintah yang menjadi dewa penolong adalah mewajibkan PNS dan BUMN untuk memakai baju batik pada hari Jumat dan Sabtu. Pemerintah pusat dan daerah mestinya memberikan bantuan konkrit kepada industri batik tradisional. Bantuan itu antara lain memberikan pelatihan yang berkaitan desain produk. Memberikan perlindungan hak paten pada motif batik khas daerah. Membantu penerapan standardisasi mutu produk melalui pelatihan Standar Nasional Indonesia (SNI). Pemerintah juga harus ikut berperan memperluas pemasaran yaitu melalui terobosan pasar dan pameran pada event penting seperti misalnya SIBEx (Solo International Batik Exhibition).
Industri batik tradisional merupakan usaha home industry yang mengandung nilai ketahanan budaya yang strategis dilihat dari sudut integrasi antar etnis. Masalah serius yang menghadang industri batik tradisional antara lain adalah yang menyangkut desain produk yang monoton alias kurang kreatif. Demikian juga dalam penggunaan bahan baku dan pewarna belum banyak variasi. Kurangnya kreativitas yang stagnasi produk disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor usia pengusaha yang relatif sudah tua, faktor minimnya pengetahuan tentang disain, dan takut rugi bila membuat produk kreasi baru. Pemerintah harus mampu mendorong dan menyegarkan motif dan selera estetik para pengrajin batik tradisional. Juga Memperkenalkan tenik pengerjaan yang lebih efisien dan efektif serta penggunaan alat bantu produksi yang mampu meminimalisir cacat produksi. Salah satu alat yang perlu dintrodusir kepada para perajin batik tradisional adalah feeder. Alat tersebut berfungsi sebagai bak pewarna yang menggunakan tiga rol atau lebih. Dengan menggunakan feeder maka kain tidak perlu dilipat bila dimasukkan dalam bak pewarna yang bisa menyebabkan pecahnya malam/lilin. Penggunaan tiga buah rol dalam feeder dimaksudkan agar warna lebih merata serta air yang terserap kain saat masuk bak dapat terperas lebih tuntas. Dengan menerapkan feeder tersebut selain untuk menghindari pecahnya rnalam juga untuk menghemat cairan obat pewarna. Hal penting lainnya adalah meningkatkan diversifikasi produk batik dalam berbagai fungsi sehingga tidak monoton sambil mempertimbangkan kebutuhan pasar. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah bekerja sama dengan pengrajin bordir, pengrajin tas dompet kulit, pengrajin kayu, dan lain-lain. Untuk memanfaatkan sisa kain sebagai bahan pendukung pembuatan souvenir yang memiliki ciri khas daerah maupun membatik dengan medium non kain.
*) Budayawan, Peserta Program S-3 Sekolah Pascasarjana UPI Bandung
**) Artikel ini dimuat harian KONTAN, 2 Oktober 2009
Selasa, 29 September 2009
Budaya keselamatan jalan di negeri ini semakin parah
Kecelakaan Bus dan Infrastruktur Jalan
Oleh : Harjoko Sangganagara *)
Petaka kecelakaan bus sering terjadi di daerah Jawa Barat. Terakhir terjadi di tanjakan Emen kecamatan Ciater Kabaupaten Subang yang menimpa bus Parahyangan dan menewaskan sembilan orang. Kondisi angkutan bus antar kota yang rentan dan kerusakan infrastruktur jalan merupakan hantu transportasi yang terus bergentayangan mencari mangsa. Semua itu merupakan indikasi masih buruknya sistem keamanan di jalan raya. Operasional perusahaan angkutan darat banyak diwarnai oleh pengemudi yang berkarakter aggresissive driving alias ugal-ugalan. Akibatnya, jalan raya menjadi mesin pembunuh sekaligus pencetak kerugian moril dan materiil yang sangat besar. Untuk menghadapi masalah tersebut diperlukan berbagai langkah antara lain uji kelayakan bus secara ketat. Uji kelayakan tersebut terutama untuk bus antarkota antarprovinsi (AKAP) dan antarkota dalam provinsi (AKDP). Petugas harus ekstra tegas melihat beberapa indikator uji kir, antara lain kondisi setir terasa kocak atau tidak, asap kendaraan, kondisi ban, rem lain-lain. Kondisi bus AKAP dan AKDP yang kebanyakan sudah tua dan sarat masalah menjadi hantu yang terus mengintai.
Tak bisa dimungkiri lagi, kecelakaan angkutan bus selama ini banyak disebabkan oleh faktor human error dan diperparah lagi dengan terdegradasinya konstruksi jalan dan minimnya rambu-rambu lalu lintas. Ruas jalan raya dipinggir jurang banyak yang tidak memiliki rambu dan konstruksi pembatas yang layak. Pemerintah pusat dan daerah tidak berdaya, sehingga sering mengabaikan perawatan ruas jalan raya. Padahal pertumbuhan kendaraan di negeri ini mencapai sekitar 10 persen pertahun. Disisi yang lain tingkat kerusakan jaringan jalan nasional semakin bertambah panjang tanpa bisa diatasi oleh pemerintah. Hingga 2009 sebesar 30 persen jaringan jalan nasional dalam kondisi rusak berat. Ironisnya, pemerintah justru lebih banyak berkonsentrasi membangun ruas jalan tol. Akibatnya, jenis jalan nasional, provinsi, dan jalan kabupaten menjadi anak tiri yang kondisinya semakin memburuk. Konsentrasi pemerintah yang lebih banyak mencari investor jalan tol mengakibatkan jenis jalan nasional, provinsi, dan jalan kabupaten kondisinya semakin terdegradasi. Kerusakan jalan selain mendatangkan petaka juga menyebabkan terganggunya distribusi barang dan waktu tempuh yang lebih lama sehingga biaya transportasi semakin membengkak. Kondisi jalan raya non tol yang menjelang lebaran telah diperbaiki secara tambal sulam atau ala kadarnya itu masih menyimpan potensi bahaya.
Menurut survei Bapennas, ongkos sosial dan ekonomi dari jalan rusak yang diderita oleh masyarakat pengguna jalan mencapai sekitar Rp 200 triliun per tahun. Sedangkan perhitungan yang dilakukan oleh Departemen Kimpraswil menunjukkan bahwa untuk merehabilitasi kerusakan jalan setiap tahunnya dibutuhkan dana sekitar Rp 7 triliun. Jumlah diatas tidak pernah terpenuhi, sehingga terjadi backlog maintenance yang berdampak besar bagi kualitas kondisi jaringan jalan nasional. Selain itu tingkat kerusakan jalan akibat kelebihan beban dan sistem perawatan yang tidak memadai menyebabkan rusaknya jalan sebelum umur teknis jalan tersebut tercapai. Hal tersebut juga akan menyedot biaya tambahan untuk mempertahankan fungsi jalan tersebut dan mengurangi alokasi dana untuk ruas jalan yang lain. Sekedar gambaran, bahwa infrastruktur jalan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian nasional. Diperkirakan besarnya Road User Cost (RUC) atau biaya pengguna jalan di seluruh jaringan jalan nasional dan provinsi mencapai Rp 1,5 triliun per-hari yang terdiri atas komponen biaya operasi kendaraan dan biaya waktu perjalanan. Secara umum kondisi jaringan jalan nasional beberapa tahun terakhir terus mengalami degradasi. Penyebab utama degradasi adalah kualitas konstruksi jalan yang rendah akibat korupsi anggaran dan penyimpangan proyek. Selain itu karena faktor pembebanan berlebih dan seringnya terjadi bencana alam.
Dalam tataran psikososial, ruas jalan raya telah menjadi arena pengendaraan agresif. Pengemudi bus, truk hingga sepeda motor telah banyak yang menjelma menjadi komunitas ugal-ugalan yang memerlukan penanganan yang lebih serius. Menurut data statistik kepolisian, sekitar 84 persen kecelakaan di jalan raya disebabkan oleh faktor pengemudi. Melihat fakta itu, mestinya karakter pengemudi yang bersifat aggressive driving segera diperbaiki dengan membudayakan cara mengemudi yang benar berdasarkan penguasaan teknis dan sikap mental. Kerugian ekonomi per-tahun akibat kecelakaan jalan mencapai 3 persen dari PNB ( pendapatan nasional bruto ). Mengingat banyaknya korban jiwa dan besarnya kerugian ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh kecelakaan jalan raya, sudah mendesak usaha rekayasa budaya keselamatan jalan (road safety culture). Rekayasa kebudayaan itu diharapkan dapat mempengaruhi seseorang bersikap dan bertindak. Dalam kaitannya dengan sistem keselamatan jalan raya, seseorang yang telah terkondisi dengan budaya disiplin akan bersikap patuh terhadap aturan dan etika di perjalanan. Budaya keselamatan jalan raya sebenarnya sudah cukup lama ada, yakni sejak William Phelps Eno merintis rekayasa keselamatan jalan secara sistematik. Yang disebut dengan Road Safety Management System ( Sistem Manajemen Keselamatan Jalan ). Rintisan itulah yang mengantarkan dia mendapat gelar ”Father of Traffic Safety” atau Bapak Keselamatan Lalu-lintas. Bangsa Indonesia yang katanya sarat dengan nilai budaya santun, toleran, dan hati-hati dalam bertindak, mestinya memiliki derajat yang tinggi dalam hal budaya keselamatan jalan raya. Nyatanya hal itu belum terwujud.
Negeri ini memiliki pekerjaan rumah yang sangat berat namun tidak pernah tuntas mengatasi kerusakan infrastruktur jalan untuk berbagai kategori. Hampir semua kategori, dari jalan nasional, provinsi, kabupaten, hingga jalan desa kondisinya semakin terdegradasi. Ironisnya, 2009 telah dinyatakan sebagai warsa infrastruktur. Celakanya lagi, Undang-undang No. 38/2004 tentang Jalan yang memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk membenahi jalan sesuai dengan semangat otonomi daerah ternyata justru menambah panjang ruas jalan yang rusak. Padahal, setiap tahunnya pemerintah meraup dana yang sangat besar dari pajak kendaraan bermotor (PKB ) dan bea balik nama kendaraan bermotor ( BBNKB ).
*) Artikel telah dimuat harian Pikiran Rakyat, 30 September 2009
Senin, 07 September 2009
Revitalisasi industri tebu di Jawa Barat dengan mendirikan pabrik gula mini
Industri Berbasis Tebu di Jabar
Oleh HARJOKO SANGGANAGARA
Fluktuasi harga gula yang tidak wajar merupakan paradoks di negeri yang sebenarnya memiliki potensi besar untuk berswasembada gula. Jawa Barat merupakan provinsi yang mengkonsumsi produk gula terbesar, sekitar 240 ribu ton per-tahun. Dilain pihak taksasi produksinya masih kecil, sekitar 130 ribu ton per tahun. Gambaran diatas mencuatkan pentingnya revitalisasi industri berbasis tebu di Jabar.
Eksistensi lima pabrik gula besar yang berada di daerah Cirebon dan Subang belum bisa memenuhi kebutuhan akan gula di Jabar. Tingginya harga gula dunia pada saat ini serta belum optimalnya produktivitas perkebunan dan pabrik gula di Jabar harus menjadi cambuk bagi pemerintah daerah untuk secepatnya melakukan revitalisasi industri berbasis tebu. Usaha untuk memperluas area perkebunan tebu di Jabar bisa jadi kurang berarti jika tidak disertai dengan strategi industri berbasis tebu dan perbaikan berbagai produk turunannya. Selain strategi industri juga dibutuhkan regulasi yang mewajibkan industri gula rafinasi wajib memakai tebu lokal dengan prosentase yang tinggi. Hal itu bisa menjadi stimulus berkembangnya perkebunan tebu. Selama ini konsentrasi terbesar perkebunan tebu di Jabar hanya berada disekitar Kabupaten Cirebon, Subang dan Majalengka.
Pentingnya strategi industrialisasi berbasis tebu di Jabar dengan menekankan berbagai inovasi teknologi dan produksi. Sehingga bisa menekan harga pokok produksi gula. Inovasi di bidang on-farm antara lain produk sampingan berupa pembuatan berbagai jenis pupuk tanaman dari limbah pabrik gula. Sedangkan pada bidang off-farm mestinya diarahkan penggunaan sejumlah energi alternatif. Mengingat penggunaan energi BBM di pabrik gula milik BUMN maupun pabrik gula kecil selama ini masih tergolong tinggi alias boros. Sebagai gambaran pabrik gula BUMN yakni PT RNI kebutuhannya akan energi BBM mencapai puluhan juta liter untuk menghidupkan mesin boilernya. Diatas kertas revitalisasi pabrik gula merupakan bagian integral peningkatan daya saing industri gula nasional untuk menghadapi liberalisasi perdagangan dunia. Pada era sekarang ini pabrik gula bisa dikatakan berdaya saing tinggi jika memiliki indikator dimana biaya produksi gula lokal sebanding dengan biaya produsen terefisien di dunia ditambah biaya untuk mendatangkannya. Ukuran itu identik harga pokok produksi (unit cost) maksimum 240 dollar Amerika per ton. Unit cost sebesar itu hanya dapat dicapai apabila pabrik gula berhasil menerapkan efisiensi dan produksi per hektar menjadi sekurang-kurangnya 10 ton. Revitalisasi tidak hanya menyangkut peningkatan kapasitas sejalan dengan meningkatnya volume tebu petani, melainkan juga penggantian mesin dan peralatan yang selama ini baru sebatas optimaliasasi kapasitas dan mempertahankan potensi produksi. Revitalisasi pabrik gula selama lima tahun ini belum terintegrasi dan masih jauh dari proses transformasi pabrik gula menjadi industri berbasis tebu alias sugarcane based industry. Apalagi rencana revitalisasi dengan skema pemerintah pusat memberikan subsidi bunga kepada perusahaan juga masih belum lancar.
Dalam RAPBN 2010 telah dialokasikan dana yang cukup besar untuk revitalisasi pabrik gula. Namun, program revitalisasi diatas bisa kandas lantaran belum ada langkah strategis yang dibuat oleh pemerintah daerah. Apalagi selama ini program revitalisasi pabrik gula berjalan setengah hati. Hal itu ditandai oleh rendahnya penyerapan dana perbankan untuk program tersebut. Padahal pemerintah pusat tekadnya sudah menggebu-gebu untuk menggenjot produksi gula nasional supaya bisa bertambah satu juta ton. Agar produksi pada 2009 bisa mencapai 3,5 juta ton. Rencana diatas bisa kandas akibat belum teratasinya masalah efisiensi pabrik gula. Pemerintah pusat masih risau karena pada saat ini Indonesia termasuk pengkonsumsi gula yang sangat besar (mencapai 3,8 juta ton per tahun) dan sekaligus menjadi sepuluh negara pengimpor gula terbesar di dunia.
Strategi industrialisasi berbasis tebu juga harus mengakomodasikan usaha petani tebu untuk mendirikan pabrik gula ukuran mini. Keberhasilan pabrik gula mini yang telah dibangun dan dioperasikan di beberapa tempat sebaiknya menjadi pilot project. Pada prinsipnya pabrik gula mini adalah pabrik gula yang berkapasitas kurang dari 250 TTH dengan sistem closed pan. Produk gula kristal putih dari pabrik gula mini minimal terdiri dari chamber gilingan, pemurnian nira, penguapan, kristalisasi, pemisahan kristal dan chamber pengeringan gula. Permasalahan utama yang dihadapi dalam pengoperasian pabrik gula mini adalah inovasi untuk efisiensi pengolahan dan kebutuhan energi alternatif. Strategi industrialisasi berbasis tebu juga menyangkut kemampuan industri dalam negeri membuat mesin dan peralatan pabrik gula, seperti gilingan, pemurnian, penguapan, pemasakan, puteran, peralatan kelistrikan, konveyor, boiler, turbin, serta peralatan kontrol. Hingga saat ini bahan baku dan komponen lokal masih menjadi masalah sehingga program restrukturisasi mesin di beberapa BUMN seperti beberapa PTPN, PT RNI dan PT Madu Baru sebagian masih menggunakan komponen impor yang harganya cukup tinggi. Idealnya strategi industrialisasi berbasis tebu juga mencakup restrukturisasi organisasi. Langkah itu misalnya dengan cara merger untuk pabrik gula yang berkapasitas dibawah 3 ribu ton tebu per hari.
Persoalaan kebutuhan energi listrik dan bahan bakar untuk pabrik gula masih cukup krusial. Banyak pabrik gula yang tertekan oleh konsumsi energi dan biaya listrik. Sebagian pabrik gula masih gagal menurunkan biaya listrik dengan optimalisasi sistem produksi. Sebenarnya pabrik gula merupakan industri yang mampu memenuhi kebutuhan energi pengolahan dari ampas atau limbah produksi. Perlunya menerapkan inovasi teknologi yang paling efektif untuk mencukupi energi pabrik gula melalui sistem pembangkitan ganda atau yang lebih popular disebut dengan sistem cogenerator. Pada prinsipnya mesin itu merupakan rangkaian ketel pembakaran ampas dengan mesin atau turbin uap. Energi potensial uap dari ketel dimanfaatkan untuk penggerak peralatan atau pembangkit listrik dan dihasilkan energi uap bekas yang digunakan untuk proses pemanasan, penguapan, dan kristalisasi. Krisis energi telah mendorong pabrik gula di negara lain untuk beralih dengan sistem cogenerator tekanan tinggi. Bahkan sistem tersebut mampu berperan dalam menambah pasokan daya listrik nasional. Penerapan sistem elektrifikasi itu untuk penggerak gilingan dan seluruh peralatan dalam pabrik digunakan elektromotor sehingga tenaga listrik yang digunakan dapat lebih optimal. Sistem tersebut berbeda dengan kondisi di tanah air pada saat ini. Pada sistem cogenerator, konversi energi ampas di pabrik gula adalah besarnya uap yang dihasilkan per ton tebu giling pada ketel dan besarnya tenaga dibangkitkan tiap ton tebu giling pada turbin.
*) Peserta Program S-3 Sekolah Pascasarjana UPI Bandung
**) Artikel telah dimuat di koran KOMPAS, Jabar, 8 September 2009
Rabu, 26 Agustus 2009
Ber-imagination. Gali ! Bekerja! Gali! Bekerja! Kita adalah satu tanah air yang paling cantik di dunia”. ( Bung Karno )
Soal Diserobotnya Aset Budaya Bangsa dan Budaya Perusahaan Kita
( Harian KONTAN, Kamis 27 Agustus 2009, hal 23)
Oleh HARJOKO SANGGANAGARA
Untuk kesekian kalinya pihak di Malaysia menyerobot aset budaya bangsa Indonesia. Yang terakhir diserobot adalah tari Pendet yang dijadikan alat promosi kepariwisataan di negeri jiran itu. Nilai dan estetika tari Pendet yang luar biasa itu pernah dibawakan oleh ribuan penari saat pembukaan Asian Games di Jakarta di era pemerintahan Bung Karno. Ironisnya, tarian itu sekarang kian tak terurus. Buktinya, seni tradisi itu belum memiliki sertifikat HAKI. Dalam situasi krisis sekarang ini industri kreatif atau industi budaya mestinya dijadikan katup penyelamat ekonomi, sumber motifasi dan hiburan segar bagi masyarakat. Ironisnya, komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap seni tari tradisi sangat tipis dan tidak arif.
Seni tari tradisi tetap saja disia-siakan. Belum ada langkah yang sungguh-sungguh untuk mengembangkan dan memproses aspek HAKI-nya. Ironisnya, justru ada kepala daerah yang tega-teganya mengekang seni tari tradisi Jaipongan. Dia menuntut agar busana penari Jaipongan supaya tertutup rapat sehingga tidak terlihat pundak dan lehernya. Selain itu, unsur 3G (goyang,geol,gitek ) yang menjadi pesona sekaligus merupakan roh atau greget tarian Jaipongan supaya diperhalus. Jika tuntutan kepala daerah itu dipenuhi, bisa-bisa estetika dan greget tarian Jaipongan akan hilang. Perlu dicatat, sebagai suatu bentuk performance art, tari Jaipongan menjadikan santapan estetis tersendiri bagi siapa saja yang menyaksikan. Nilai estetis itu terdapat pada keharmonisan dan keselarasan antara gerak dan ritme. Khususnya antara gerak dan irama kendang. Sinergitas antara gerak dan ritme ini menjadikan tari Jaipongan tampil lebih menggetarkan sukma. Nilai estetis tari Jaipongan akan muncul apabila penarinya juga menjiwai dan mampu mengekspresikan dengan baik sehinga muncul ungkapan tari yang memesona. Standarisasi busana dan rias pada tari Jaipongan mempunyai peran yang mendukung ekspesi tari dan faktor penting untuk suksesnya pertunjukan. Oleh sebab itu kepala daerah tidak perlu bertindak represif dengan merubah kostum jaipongan menjadi serba tertutup rapat.
Kondisi paradoks diatas semakin menunjukkan bahwa negeri ini sedang dilanda krisis kebudayaan nasional. Padahal, kebudayaan pada era sekarang ini merupakan leverage kemajuan bangsa. Kebudayaan tidak hanya menyangkut estetika, tetapi juga sangat menentukan etos kerja suatu bangsa. Sekarang ini banyak pejabat dan elite politik yang tidak memahami estetika. Sehingga tidak mampu mengembangkan kebudayaan. Penting untuk direnungkan premis tentang estetika yang dirumuskan oleh Clive Bell. Bahwa keindahan atau estetika itu hanya dapat ditemukan oleh orang yang dalam dirinya sendiri telah memiliki pengalaman sehingga dapat mengenali wujud bermakna dalam satu benda atau karya seni tertentu dengan getaran atau rangsangan keindahan. Istilah estetika dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten yang kemudian berkembang menjadi ilmu tentang keindahan dan kemegahan.
Pemerintahan mendatang mesti mampu menjadikan kebudayaan sebagai leverage kemajuan. Berbagai strategi untuk mengatasi keterbelakangan bangsa tidak akan efektif jika mengabaikan faktor kebudayaan. Kebudayaan harus menjadi kata kunci dalam program pembangunan. Istilah kebudayaan berasal dari bahasa Latin “cultura” atau “colere” yang berarti mengolah. Kebudayaan tidak sekedar seni tradisi. Lebih dari itu, kebudayaan bisa membentuk dan memajukan korporasi dan ketatanegaraan. Masalah kemiskinan, ekonomi kerakyatan, kecelakaan transportasi, kinerja birokrasi dan pemberantasan korupsi sulit diatasi tanpa melalui rekayasa kebudayaan. Rekayasa itu bisa membentuk masyarakat untuk bekerja keras dan cerdik ( work hard and smart ). Serta membentuk sikap positif masyarakat yang selalu berusaha untuk maju atau sikap “N ach” ( Need of achievement ). Secara teoritis kebudayaan adalah kumpulan nilai, kepercayaan, perilaku, kebiasaan, dan sikap yang membedakan suatu masyarakat dari yang lainnya. Kebudayaan mencerminkan perilaku yang dipelajari (learned behaviour) yang ditularkan dari satu anggota masyarakat kepada yang lainnya. Beberapa unsur kebudayaan ditularkan antar generasi. Kebudayaan suatu masyarakat sangat menentukan ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana aktivitas bisnis atau perusahaan dijalankan dalam masyarakat tersebut. Pada saat era globalisasi sekarang ini, masalah karakteristik kebudayaan perlu diperhatikan karena mempunyai relevansi dengan bisnis internasional. Sehingga Kebudayaan nasional bisa menjadi leverage atau daya ungkit kemajuan bangsa. Berbagai kecelakaan transportasi atau kecelakaan kerja yang sering terjadi di negeri ini terkait erat dengan faktor kebudayaan. Terutama sikap disiplin dan teliti dalam bertindak atau beroperasi. Itulah sebabnya laporan ILO ( International Labour Organization ) menyatakan bahwa standar keselamatan kerja di Indonesia termasuk dalam peringkat terburuk jika dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara. Titik kritis keselamatan kerja selain disebabkan oleh semakin tuanya infrastruktur dan peralatan juga disebabkan oleh buruknya budaya keselamatan kerja yang diterapkan di negeri ini.
Terkait dengan leverage diatas, pentingnya strategi kebudayaan dari pemimpin pemerintahan yang memiliki pemahaman tentang budaya kosmopolitan. Menurut Schein budaya ada dalam tiga tingkat, yakni artifact, espoused values (nilai-nilai yang didukung dan underlying assumptions ( asumsi yang mendasari ). Tiga elemen budaya itulah yang harus direkayasa untuk mewujudkan kemajuan bangsa. Artifact menyentuh semua bidang dan segi kehidupan, termasuk produk,jasa, dan tingkah laku sebuah kelompok. Dalam kompetisi global yang sangat keras sekarang ini, pemerintahan harus mampu mewarnai corporate culture ( budaya perusahaan ). Apalagi hingga saat ini banyak BUMN dan BUMD yang salah urus dan selalu merugi sepanjang jaman karena tidak bisa membangun budaya perusahaan. Begitupula etos kerja pegawai negeri sipil juga terpuruk karena pemahaman terhadap budaya organisasi masih lemah. Partai politik juga belum mampu membangun budaya organisasi dengan benar sehingga rawan konflik dan krisis intelektual. Padahal, fakta telah mengatakan kepada kita bahwa perusahaan multinasional saja seperti AT&T, General Electric, IBM, DuPont yang tingkat kemajuannya melesat sangat jauh juga telah membangun budaya korporasinya secara konsisten. Untuk mewujudkan corporate culture di Indonesia diperlukan rekayasa sosial lintas disiplin ilmu serta memberikan peran yang berarti kepada para budayawan. Tipe budayawan yang dibutuhkan pada saat ini adalah sosok yang memiliki dialektika kebudayaan lokal dan kosmopolitan.
Kini kebudayaan nasional bisa dianalogikan sebagai bendera lusuh yang berkibar dihalaman rumah kita. Salah urus kebudayaan di negeri ini menyebabkan rendahnya positivity masyarakat. Akibatnya kemajuan negeri ini akan sulit tercapai. Strategi pembangunan apapun bentuknya yang dijalankan oleh pemerintah bisa gagal jika salah urus kebudayaan nasional masih terjadi.
Rabu, 05 Agustus 2009
Kreatifitas adalah harta karun yang bisa muncul kapan saja
Mbah Surip dan Fenomena Tipping Point
Oleh : Harjoko Sangganagara *)
Lagu Tak Gendong yang dilantunkan oleh almarhum Mbah Surip seperti virus ganas yang cepat menular di negeri ini. Semua kalangan, baik kaum tua, remaja hingga balita semuanya gampang tertular virus Mbah Surip yang bisa mendatangkan gelak tawa. Lagu Tak Gendong adalah the magical yang bikin para musisi geleng kepala lantaran lagu itu telah menjungkirbalikkan pasar. Buktinya, lewat NSP (nada sambung pribadi) lagu tersebut mampu meraup Rp 9 miliar dalam waktu singkat. Dan si mbah yang bergaya Bob Marley itu pun berhak mendapatkan royalti hingga Rp 4,5 miliar. Kematian mendadak mbah Surip cukup menyentak khalayak dan untuk sementara menenggelamkan berita yang lain. Bahkan, komunitas pengguna Facebook juga dibanjiri tentang berita kematiannya. Fenomena mbah Surip juga telah menginspirasi para pelaku bisnis bahwa dengan sesuatu atau ide yang sederhana tenyata bisa mengguncang pasar.
Mbah Surip merupakan fenomena tipping point dalam skala Indonesia. Dalam buku best seller karangan Malcolm Gladwell yang berjudul The Tipping Point fenomena itu tergambar secara gamblang. Pada prinsipnya fenemona tipping point adalah saat ajaib ketika sebuah ide, perilaku, pesan, atau produk bisa menyebar seperti virus ganas yang mampu menduplikasi dirinya secara deret ukur. Untuk mengenali Tipping Point secara mendalam, pertama-tama harus memahami hakekat epidemi terlebih dahulu. Epidemi itu sendiri adalah sebuah fungsi yang memiliki beberapa unsur yakni : orang yang bertindak sebagai agen penginfeksi, agen penginfeksi itu sendiri, dan lingkungan tempat beroperasinya agen penginfeksi. Ketiga unsur perubahan tersebut dikenal dengan istilah The law of the few ( Hukum tentang Yang Sedikit ), The stickiness ( Faktor Kelekatan ), dan The Power of context ( Kekuatan Konteks ). Tiga unsur itu akan menular, membesar, dan radikal. Virus itu menyebabkan epidemi, begitu pula karya atau produk yang disasar dengan tepat dapat menyebabkan terjadinya tren atau popularitas yang luar biasa. Buku diatas telah menguraikan beberapa fenomena tipping point dalam berbagai bentuk. Fenomena itu telah mengubah cara berpikir orang di seluruh dunia tentang bagaimana idealnya memasarkan suatu produk atau menyebarkan sebuah ide.
Mungkin saja mbah Surip belum membaca buku itu, tetapi karya lagu dan sepak terjangnya kebetulan cocok dengan premis-premis yang digambarkan oleh Gladwell dalam bukunya. Fenomena tipping point-nya mbah Surip tergambar sejak Mei 2009 dimana produk lagu Tak Gendong seperti menerobos industri musik nasional. Selain laris manis dalam bisnis ring back tone, Mbah Surip hampir setiap hari muncul di layar televisi. Ia masih pula dipepet oleh jadwal promo dan show yang ketat. Sehingga popularitasnya dalam sekejap membumbung tinggi. Mbah Surip yang tampil dengan atribut kebesarannya, yakni rambut gimbal serta topi, baju, dan celana berwarna bendera Jamaika itu telah melahirkan fenomena word of mouth atau ketok tular. Dalam diri dan karyanya mengandung sesuatu yang bernama faktor kelekatan dan kekuatan konteks. Faktor kelekatan adalah sejumlah cara tertentu untuk membuat sebuah kesan mudah menular dan terus diingat. Faktor kelekatan menyiratkan perubahan atau aksi langsung dan berulang-ulang, karena untuk memicu epidemik.
Gaya rastafarian dari mbah Surip memang mengacu pada gaya pemusik reggae Bob Marley tetapi tetap berjiwa lokal. Publisitas gaya hidup mbah Surip yang nyentrik semakin menambah kekuatan konteks. Dalam bukunya Gladwell juga memperkenalkan kepada kita pada tipe-tipe kepribadian orang yang secara alami mampu bertindak sebagai penyebar ide dan tren baru. Yakni orang-orang yang menciptakan fenomena word of mouth alias ketok tular. Gladwell dengan cermat juga mengkaji tren-tren dalam dunia untuk menemukan petunjuk-petunjuk tentang cara membuat sebuah ide menjadi sangat menular. Tak bisa dimungkiri lagi, buku Tipping Point juga merupakan kisah petualangan intelektual yang ditulis dengan semangat yang mudah menular dalam menggali kekuatan dari berbagai ide baru. Yang perlu digarisbawahi, buku diatas juga menjadi peta penunjuk jalan menuju perubahan. Dengan sebuah pesan penuh harapan bahwa para kreator, asalkan memasang tuasnya di tempat yang benar, tidak mustahil mampu menggeser bumi dari kedudukannya alias bisa “mengubah dunia”. Dan mbah Surip adalah satu diantara kreator itu, yang pada dirinya menempel faktor the stickiness, yakni faktor kelekatan. Artinya pesan dan gagasannya berhasil menembus pikiran, kesadaran, dan tersimpan di memori kepala, hingga merasuk ke hati rakyat luas. Selamat jalan mbah Surip, I love you full, anda telah mewariskan ilmu untuk menjungkirbalikan keadaan hanya dengan jurus tertawa, ha,ha,ha,ha…
*) Budayawan, Peserta Program S-3 Sekolah Pascasarjana UPI Bandung
**) Dimuat di koran KONTAN, 6 Agustus 2009
Senin, 03 Agustus 2009
Senin, 27 Juli 2009
REFORMASI DAN KADERISASI
Reformasi yang telah berlangsung sejak tahun 1998 hingga saat ini merupakan sebuah keniscayaan dalam suatu proses demokratisasi di Indonesia. Proses itu melibatkan pelbagai unsur yang melembaga dalam masyarakat, antara lain kampus, lembaga swadaya masyarakat, lembaga keagamaan dan sudah barang tentu partai politik. Suatu partai politik memiliki tujuan utama "to place their avowed leaders into the offices of government" (Encyclopedia Americana, 2001: 337). Dalam upaya mencapai tujuan untuk menempatkan para pimpinannya ke dalam lembaga pemerintahan, partai politik melakukan kegiatan yang dapat diklasifikasikan ke dalam fungsi-fungsi primer, sekunder dan indirect (tidak langsung).
Fungsi primer partai politik dapat dibagi dalam dua bagian yaitu "the nominations of candidates for public office" dan "the mobilization of voters to elect these nominees ". Fungsi sekunder nya adalah " influencing the content and conduct of public policy ...pursuing a set of ideological principles... prepair platforms that prescribe program of public policy" (ibid. 2001) yang tujuannya untuk menarik dukungan dari para konstituen. Ketika suatu partai politik menguasai pemerintahan, para pimpinannya biasanya menjadi pengambil keputusan dalam membuat kebijakan publik. Mereka diharapkan mengalokasikan sumber-sumber publik bagi konstituen sesuai dengan kebijakan yang mereka inginkan. Sedangkan fungsi tidak langsungnya terlihat pada upaya memperkuat nilai-nilai politik masyarakat ke dalam rasionalitas tindakan dan program mereka. Partai politik juga berupaya meningkatkan partisipasi politik masyarakat dengan memberi kesadaran pada masyarakat akan peranan politiknya. Di dalamnya termasuk bagaimana pemerintahan dijalankan, bagaimana kebijakan publik mempengaruhi hidup mereka serta cara untuk ikut mengarahkan para pejabat publik.
Untuk menjalankan fungsi-fungsi yang dalam sistem politik lazimnya disebut dengan artikulasi, agregasi dan komunikasi kepentingan tersebut, maka pendidikan politik di kalangan internal dirasakan sebagai suatu kebutuhan yang mendesak. Terlebih jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa selama berpuluh-puluh tahun di era floating mass (massa mengambang), partai politik tidak memiliki kesempatan untuk itu, terutama pada partai-partai yang tidak sempat memerintah seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
PDI yang didirikan pada tanggal 10 Januari 1973 merupakan fusi dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Murba, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik. Fusi tersebut tidak terlepas dari rancang bangun politik Orde Baru yang menyederhanakan sistem kepartaian dari 10 partai menjadi 3 kelompok. Kelompok spiritual diwujudkan dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), kelompok nasional diwujudkan dalam PDI dan kelompok tengah (kekaryaan) diwakili oleh Golkar. Dalam perkembangannya PDI menegaskan bahwa fusi telah paripurna dan eksistensi masing-masing telah diakhiri pada Kongres ke-2 di Jakarta tanggal 17 Januari 1981. Didorong oleh tuntuntan perkembangan situasi dan kondisi politik nasional serta hasil keputusan Kongres ke-5 di Denpasar Bali, maka pada tanggal 1 Februari 1999 PDI berubah nama menjadi PDI Perjuangan dengan asas Pancasila dan bercirikan Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial. Perubahan ini juga menandai berubahnya era kepemimpinan Suryadi yang merupakan representasi Orde Baru ke era kepemimpinan Megawati Soekarnoputri yang menjadi simbol dari Era Reformasi. Megawati bersama-sama Amin Rais, Abdurrahman Wahid dan Sri Sultan Hamengkubuwono X didaulat oleh gerakan mahasiswa menjadi pemimpin reformasi. Hal tersebut menuntut Habibie yang menjadi Presiden terakhir Orde Baru setelah Soeharto lengser keprabon, secara elegan turut mengawal kelahiran era baru dengan para pemimpinnya yang baru.
Setelah memenangi Pemilihan Umum 7 Juni 1999 yang demokratis , PDI Perjuangan menempatkan para kadernya pada lembaga eksekutif dan legislatif. Terasa sekali kesenjangan antara kapabilitas para kader dengan kapasitas tugas yang harus dijalankan yang secara umum banyak memunculkan kritik dari pelbagai kalangan. Bahkan kritik terkeras mengatakan PDI Perjuangan telah gagal mengelola kemenangan. Winters (2004:115) menyebutnya "the mistakes of the PDIP and Mega" dan mengatakan bahwa "the biggest failure is that the PDIP ”failed completely to politically `mobilize' the people… But this criticism cannot be made only for PDIP. It must be made against `all’ the parties".
Kegagalan seperti yang dimaksudkan Winters disebabkan oleh kondisi nyata sumber daya manusia yang ada dalam tubuh Partai, berkaitan dengan kepribadian mereka. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak kader Partai yang menduduki jabatan-jabatan publik berperilaku yang tidak sesuai dengan yang diharapkan masyarakat, misalnya berjudi, bermabuk-mabukan, berfoya-foya, berselingkuh hingga berperilaku koruptif. Perilaku seperti itu menurut Kartono (1983:10) termasuk dalam kategori perilaku yang menyimpang (deviasi atau diferensiasi). Hal-hal seperti itu menjauhkan mereka dari tanggungjawabnya terhadap Partai dan masyarakat dan mempengaruhi kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam percaturan antara bangsa Indonesia menempati peringkat pendidikan di bawah Vietnam (Matrikulasi PPS UPI 2001), dengan produktivitas yang rendah karena rendahnya daya saing (Pikiran Rakyat, Desember 2003). Laporan UNDP tahun 2004 (United Nations Depelovment Program) menempatkan posisi HDI (Human Develovment Index) manusia Indonesia pada urutan ke-111 dari 177 negara. Di Jawa Barat khususnya, yang dikenal sebagai centre of knowledge (kiblat ilmu pengetahuan karena dihuni 300 perguruan tinggi swasta maupun negeri yang prestisius), ternyata tidak manunjukan kualitas SDM yang tinggi. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai parameter untuk menentukan kualitas SDM ternyata memprihatinkan. Menurut catatan, IPM Jawa Barat baru mencapai angka 68. Padahal standar internasional UNDP dan UNESCO menyaratkan angka minimal 80 (“PR” 8/1/2003). Komponen dalam IPM adalah indeks pendidikan (angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah), indeks kesehatan (angka harapan hidup) dan indeks daya beli (konsumsi per kapita) (Perda No. 3 Tahun 2003 tentang Program Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat). Angka melek huruf sebesar 91,87% sedangkan rata-rata lama sekolah adalah 6,68 tahun, dengan Indramayu terendah sebesar 3,9 tahun dan Kota Bandung tertinggi sebesar 9,6 tahun (Rencana Pembangunan Makro Pendidikan, 2002).
Berdasarkan data BPS Provinsi Jawa Barat, Angka Harapan Hidup (AHP) penduduk Jawa Barat meningkat dari 62,92 tahun pada 1998 menjadi 64,40 tahun pada tahun 2000 (Setiawan, 2002:7). Namun demikian peringkat kesehatan penduduk Jawa Barat masih berada diurutan 16 dari 30 provinsi di Indonesia (Galamedia, 12/1/2004). Penyebab rendahnya derajat kesehatan warga Jawa Barat antara lain karena 10 juta dari 35 juta jiwa Jawa Barat masih hidup di bawah garis kemiskinan dan belum mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak. Hal ini menyebabkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia berada di bawah negara ASEAN lainnya. Dirjen Pelayanan Medik, dr. Sri Astuti S. Suparmanto, MSc. mengatakan bahwa rendahnya derajat kesehatan tersebut disebabkan pula oleh rendahnya tingkat pengetahuan dan pendidikan masyarakat. (Galamedia, 12/1/2003). Indikator IPM lainnya adalah daya beli masyarakat (purchasing power) yang merupakan kemampuan untuk membeli dan mengkonsumsi barang-barang kebutuhan baik primer, sekunder, maupun tersier dari pendapatan atau gaji yang mereka peroleh. Daya beli masyarakat Jawa Barat ditandai dengan indeks sebesar 38,5 pada tahun 1999, dan 55,1 pada tahun 2001 (Setiawan, 2002:34).
Menyadari akan hal tersebut Megawati ( Buku Panduan Badiklatpus PDI Perjuangan, 2002) menyatakan bahwa tidak ada bangsa yang besar tanpa disiplin. Bercermin pada pengalaman bangsa-bangsa lain, dan berkeyakinan bahwa pernyataan ini adalah aksioma yang tidak terbantahkan. Tidak akan pernah ada Partai yang besar tanpa disiplin. Disiplin memang telah secara keliru diasosiasikan dengan militer. Karenanya, ketika coba ditegakkan ada saja yang mengira sebagai proses militerisasi padahal disiplin bukan soal militer apalagi militerisasi. Juga bukan monopoli militer karena disiplin pada intinya merupakan kepatuhan pada sistem dan aturan bermain, disiplin diperlukan oleh semua institusi, disiplin bahkan menjadi prinsip bagi bekerjanya sebuah sistem sosial yang baik.
Untuk memperbaiki kinerja orang-orang partai dalam lembaga-lembaga pemerintahan maupun pada struktur internal partai; didirikanlah Badan Pendidikan dan Latihan (Badiklat) yang merupakan realisasi dari keputusan Kongres I PDI Perjuangan di Semarang. Lembaga ini merupakan sayap partai dan bertanggungjawab pada Dewan Pimpinan Partai (DPP) yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri. Pada tingkat propinsi dibentuk Badan Pendidikan dan Latihan Daerah Daerah (Badiklatda) dan di tingkat kota dan kabupaten dibentuk Badan Pendidikan dan Latihan Cabang (Badiklatcab). Pembentukan Badiklat adalah untuk menyiapkan anggota partai menjadi kader melalui suatu proses pendidikan dan latihan.
Di samping membentuk Badiklat, Partai pun membentuk sayap Partai yang bernama Baitul Muslimin Indonesia (BMI), yang dimasudkan untuk mewadahi kelompok keagamaan Islam yang juga merupakan sumber kader bagi Partai. Lahirnya BMI mendapat apresiasi publik ditandai dengan kehadiran pimpinan tertinggi Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah, K.H. Hasyim Muzadi dan Prof. Dr. Dien Syamsudin.
Kader berasal dari kata "le cadre" (bingkai) adalah orang-orang yang ditempatkan pada struktural partai dan juga orang orang yang ditempatkan pada struktural pemerintahan maupun lembaga-lembaga negara lainnya seperti parlemen (cadre are persons appointed to paid positions in either the government or party apparatus) . Kader merupakan tenaga inti penggerak partai. Partai dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori: partai proto (protoparties) , partai kader, partai massa, partai diktatorial dan partai kombinasi kader-massa ( catchall parties) (Encyclopedia Americana, 2001:337, 491). Kader partai diperlukan pada semua partai terutama partai kader, partai massa, dan partai kombinasi kader-massa. Adanya kader juga merupakan prasyarat bagi sebuah partai modern. Muradi mengutip Satori (PR, 28 Februari 2005) menyatakan bahwa 4 syarat partai modern adalah terbuka, memiliki ideologi demokratis, regenerasi yang teratur dan sistem pengkaderan yang baik .
Tantangan yang nampak di depan mata bagi kader partai adalah masuknya Indonesia ke dalam era kesejagadan (globalisasi). Era kesejagadan itu umumnya dipersepsi secara negatif baik karena pandangan ideologis (karena dianggap sebagai westernisasi) maupun pragmatis (karena dampaknya).
Noer (2003:249) berpandangan bahwa globalisasi yang berkembang sekarang memperlihatkan mengecilnya dunia bagaikan menjadi satu sehingga batas-batas negara dan budaya serta peradaban lebih menipis dan kecenderungan yang ada ialah menjurus ke satu arah, praktis dalam semua bidang hidup dari Barat.
Menanggapi globalisasi , Madjid (1998:198) mengajak kita "mulai sungguh-¬sungguh memperhatikan segenap potensi nasional kita, baik dalam artian sumber daya manusia maupun dalam sumber daya alam"
Memperhatikan secara sungguh-sungguh potensi nasional dengan ketangguhan ekonomi nasional adalah dengan menyiapkan mutu sumber daya manusia. Dalam pernyataan tersebut terkandung makna pemberdayaan potensi¬ potensi nasional. Frasa pemberdayaan nasional membawa kita pada sentimen nasional dan akan membantu jika kita memahami pula nasionalisme (faham kebangsaan). Nasionalisme termasuk dalam ideologi poltik kontemporer (Eatwell dan Wright, ed., 2004:20), yang merupakan:
"Ideologi yang daya dorong afektifnya adalah rasa memiliki dan melayani suatu komunitas nasional. Para pengikut ideologi ini memberikan identitas budaya yang khas kepada bangsa mereka yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain dan memberinya tempat istimewa dalam proses sejarah. Komunitas ini dikenali (biasanya secara tidak sadar) dengan sekumpulan karakteristik khas yang diperoleh dari realitas konstitusional, historis, geografis, religius, linguistik, etnis, dan atau genetis.
Agar nasionalisme berjalan secara positif menjadi penguat potensi nasional vis a vis gejala globalisasi yang mengancam , dan tidak sebaliknya menjadi chauvinisme, etnosentrisme, kebencian terhadap bangsa asing (xenofobia) dan diskriminasi atas dasar etnisitas (rasisme), diperlukan pendidikan nilai yang benar. PDI Perjuangan sebagai partai yang bercirikan nasionalisme, kerakyatan dan demokrasi dengan caranya sendiri melakukan proses pendidikan tersebut.
Pendidikan nilai-nilai kebangsaan dalam kerangka membangun persatuan dan karakter bangsa oleh Soekarno (Yudhoyono dalam Ishak, 2001: 162) disebut sebagai ‘state, nation and character building' yang pada intinya bertumpu pada kedaulatan di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan atau Trisakti. Domain dan dimensi budaya amat luas, terkandung di dalamnya nilai dan perilaku; etika, moral, budi pekerti; gagasan, pengetahuan, dan teknologi; kepribadian dan jati diri.
Kuatnya nilai-nilai kebangsaan diharapkan dapat menguatkan keinginan untuk berbuat dan mengabdi pada bangsa. Untuk menimbulkan pengabdian yang tulus diperlukan rasa cinta. Gandhi (1980: 164) mengatakan jika pengabdian dilakukan karena pamer atau takut pada pendapat umum, akan menjadi beban dan menekan jiwa. Pengabdian harus dilakukan dengan rasa gembira, agar menguntungkan bagi pelaku maupun yang dilayaninya. Semua kesenangan dan harta benda akan sirna di hadapan pengabdian yang dijalankan dengan hati gembira.
Proses pendidikan nilai tersebut dilakukan oleh Badiklat yang bertujuan untuk menghasilkan kader-kader yang memiliki tradisi intelektual dan kenegarawanan dengan memahami ideologi Pancasila, trampil berpolitik, mampu memimpin dan berorganisasi, memiliki kepekaan dan keberpihakan sosial.
Untuk menyiapkan kader atau biasa dinamakan kaderisasi Badiklat membentuk rangkaian kegiatan yang terorganisir yang dinamakan Sekolah. Sekolah ini hanya berlangsung beberapa hari , dimulai sejak subuh hingga malam hari . Sebagaimana layaknya sebuah sekolah, maka di dalamnya terdapat seorang Kepala Sekolah , Guru, Siswa, bahan ajar serta material pendukung. Di samping itu ada Panitia yang membantu proses pendidikan dan latihan berlangsung. Guru terdiri dari kader partai yang dinyatakan kompeten dan dosen-dosen tamu dari pelbagai perguruan tinggi yang diundang untuk mengajar. Kepala Sekolah, Guru dan Panitia terhimpun dalam suatu kepanitiaan yang dibentuk oleh partai dengan suatu surat keputusan untuk suatu masa tertentu. Ada pun yang disebut siswa merupakan para pengurus dan anggota partai dari pelbagai daerah dan tingkatan yang ditugaskan untuk mengikuti diklat tersebut. Kurikulum yang digunakan dalam sekolah merupakan serangkaian bahan ajar yang dipilih dan ditentukan secara selektif oleh partai sedang aktifitas belajar mengajarnya dilakukan di dalam dan luar kelas, sebisa mungkin disampaikan dengan cara interaktif.
Penelitian ini menggambarkan mengenai pola kaderisasi dalam pembinaan kepribadian nasional, bertumpu pada empat hal, yakni : disiplin kader, interaksi edukasi Guru-Siswa, interaksi sosial Siswa dan sistem pembelajaran. Subyek dalam penelitian ini adalah para peserta kursus kader yang diselenggarakan Badan Pendidikan dan Latihan (Badiklat) PDI Perjuangan. Penelitian ini menyoroti lemahnya kepribadian calon kader berkaitan dengan disiplin diri yang pada gilirannya melemahkan potensi Partai pada khususnya dan bangsa secara keseluruhan. Bangsa yang memiliki kepribadian dengan disiplin diri yang kuat terbukti mampu mengembangkan seluruh potensinya secara produktif dan memiliki peran yang penting dalam pergaulan umat manusia. Kuatnya kepribadian bangsa dengan disiplin diri yang kuat memiliki hubungan dengan kuatnya rasa kebangsaan. Darwin (Kompas edisi Yogyakarta, 12 April 2007) mensinyalir bahwa Negara gagal menjalankan peran-peran dasarnya, sehingga watak bangsa yang penuh paradoks gagal dikelola dengan baik sehingga kini mengalami krisis kebangsaan. Berdasarkan sinyalemen tersebut dapat disimpulkan bahwa jika diharapkan memiliki kepribadian yang kuat maka penbinaan kebangsaan dalam kerngka pengembangan kepribadian perlu dilakukan secara sistematis, antara lain melalui Partai. Dengan demikian diharapkan kader Partai memiliki kepribadian yang matang .
Manusia dengan kepribadian yang matang menurut Tillich ( 1953: 57 ) adalah orang yang memiliki kepribadian untuk hidup, bersifat serius, tekun dan punya rasa tanggungjawab, serta bisa menerima kenyataan hidup. Sedangkan menurut Allport (1937) kepribadian yang matang ditandai dengan kesadaran atau wawasan yang luas tentang diri dan orang lain; memiliki rasa kasih sayang; sadar akan kekuatan diri; mempunyai kesediaan untuk tunduk pada kekuasaan orang lain; mempunyai ambisi dan minat estetis; punya sentimen keluarga dan emosi-emosi religius. Kesejahteraan orang lain dianggap sama pentingnya dengan kesejahteraan sendiri; jadi orang lain itu dianggap identik dan sama nilainya dengan diri sendiri. Dia memiliki partisipasi yang bersungguh-sungguh terhadap kehidupan ini.
Hamka (1982: 18) mengkaitkan kepribadian dengan negara dan bangsa yang merdeka. Negara dan bangsa yang merdeka, menumbuhkan kermerdekaan pribadi. Orang menerima akan pembagian tugas dengan rela. Segala kewajiban dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab. Dia adalah anggota dari satu bangsa besar, dan kumpulan segenap pribadi, itulah yang menjelmakan pribadi bangsa.
1. Pembinaan Kebangsaan
Tiga dimensi tugas pemegang tampuk kekuasaan pemerintahan menurut Mas’oed (2004) adalah : pembinaan kebangsaan, pembinaan kelembagaan politik dan pemerintahan, dan pembangunan ekonomi. Tujuan pembinaan kebangsaan adalah integrasi nasional yang mewadahi ragam identitas lokal.
Litbang Hankam (2007) menyatakan bahwa nasionalisme merupakan salah satu unsur pembinaan kebangsaan. Pembinaan kebangsaan merupakan upaya untuk membentuk masyarakat bangsa agar berwawasan kebangsaan, berpola tatalaku yang khas mencerminkan budaya dan ideologi Pancasila.
Pembinaan kebangsaan berbeda-beda dan unik di tiap-tiap bangsa. Amerika Serikat menggunakan konsep ”melting pot” atau ”salad bowl”. Malaysia menggunakan konsep ”perpaduan dan integrasi dengan menggunakan sarana budaya, bahasa, seni dan pendidikan”. Singapura tampak berhasil dalam pembinaan kebangsaan dengan mengintegrasikan bermacam-macam etnis : China, India, Melayu, dan Eropa. Indonesia yang plural menggunakan konsep wawasan kebangsaan dengan mengembangkan unsur rasa, faham dan semangat kebangsaan.
Pemerintah Kota Tangerang melakukan pembinaan kebangsaan dengan membuat Peraturan Daerah yang mengatur pembinaan ideologi Pancasila, pembauran etnis dan kesatuan bangsa.
2. Kepribadian Nasional
Kepribadian nasional merupakan istilah yang banyak diperselisihkan (”national identity is often disputed”) bahkan Abdalla (2007) dari Jaringan Islam Liberal menganggapnya sebagai isu berbahaya, contradictio in terminis bagi agenda demokrasi dan reformasi . Di sisi lain banyak yang mengeluhkan ”kepribadian nasional mulai luntur”. Rex, John (2007) peneliti pada Center for Research in Ethnic Relations, University of Warwick, mengakui bahwa ”there is a crisis of national identity in the advanced welfare states of Western Europe following post war immigration”. Di sisi lain NPR (2007) dalam releasenya ”Exploring America’s National Identity” mengatakan bahwa ”nearly two thirds of Americans say our culture and values change as new people” yang mengindikasikan terbentuknya kepribadian nasional di AS. Modood, Tariq (2007) bahkan menyatakan merusak kepribadian nasional dapat mengancam multikulturalisme.
Di Indonesia istilah kepribadian nasional dikemukakan oleh Soekarno ketika mengemukakan mengenai manifesto politiknya yang disingkat USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialime Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin yang semua itu dinamakan : Kepribadian Nasional). Mukti Ali (1971) mengaitkan dengan etika agama dalam pembentukan kepribadian nasional dan pemberantasan kemaksiatan.
Penulis berpandangan bahwa Kepribadian Nasional adalah karakteristik yang dimiliki suatu bangsa sebagai perwujudan dari cita-cita, pengalaman sejarah dan budayanya.
Asumsi
1. Kepribadian dipengaruhi oleh perlakuan lingkungan terhadap individu. Kursus kader merupakan upaya Partai untuk mengembangkan kepribadian kader sesuai dengan gambaran ideal partai. Keberhasilan kursus kader pada Badiklat PDI Perjuangan tergantung pada pola yang digunakan oleh pengelola, terutama mengenai penetapan tujuan yang akan dicapai, proses yang ditempuh serta evaluasi yang digunakan.
2. Kepribadian individu dapat dikembangkan ke arah yang diinginkan lingkungan. Keberhasilan pengembangan kepribadian pada Badiklatda PDI Perjuangan sangat tergantung pada pengelolaannya, terutama dalam sistem pembelajaran, interaksi edukatif guru-siswa, hubungan sosial siswa dan penerapan disiplin.
3. Pengembangan kepribadian untuk menumbuhkan pribadi kader Partai yang berkepribadian nasional adalah yang mengembangkan manusia Indonesia yang manusiawi, yang memiliki jati diri sebagai individu, makhluk sosial, warga bangsa dan warga dunia, bagian dari alam dan makhluk Al Khalik.
Fungsi primer partai politik dapat dibagi dalam dua bagian yaitu "the nominations of candidates for public office" dan "the mobilization of voters to elect these nominees ". Fungsi sekunder nya adalah " influencing the content and conduct of public policy ...pursuing a set of ideological principles... prepair platforms that prescribe program of public policy" (ibid. 2001) yang tujuannya untuk menarik dukungan dari para konstituen. Ketika suatu partai politik menguasai pemerintahan, para pimpinannya biasanya menjadi pengambil keputusan dalam membuat kebijakan publik. Mereka diharapkan mengalokasikan sumber-sumber publik bagi konstituen sesuai dengan kebijakan yang mereka inginkan. Sedangkan fungsi tidak langsungnya terlihat pada upaya memperkuat nilai-nilai politik masyarakat ke dalam rasionalitas tindakan dan program mereka. Partai politik juga berupaya meningkatkan partisipasi politik masyarakat dengan memberi kesadaran pada masyarakat akan peranan politiknya. Di dalamnya termasuk bagaimana pemerintahan dijalankan, bagaimana kebijakan publik mempengaruhi hidup mereka serta cara untuk ikut mengarahkan para pejabat publik.
Untuk menjalankan fungsi-fungsi yang dalam sistem politik lazimnya disebut dengan artikulasi, agregasi dan komunikasi kepentingan tersebut, maka pendidikan politik di kalangan internal dirasakan sebagai suatu kebutuhan yang mendesak. Terlebih jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa selama berpuluh-puluh tahun di era floating mass (massa mengambang), partai politik tidak memiliki kesempatan untuk itu, terutama pada partai-partai yang tidak sempat memerintah seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
PDI yang didirikan pada tanggal 10 Januari 1973 merupakan fusi dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Murba, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik. Fusi tersebut tidak terlepas dari rancang bangun politik Orde Baru yang menyederhanakan sistem kepartaian dari 10 partai menjadi 3 kelompok. Kelompok spiritual diwujudkan dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), kelompok nasional diwujudkan dalam PDI dan kelompok tengah (kekaryaan) diwakili oleh Golkar. Dalam perkembangannya PDI menegaskan bahwa fusi telah paripurna dan eksistensi masing-masing telah diakhiri pada Kongres ke-2 di Jakarta tanggal 17 Januari 1981. Didorong oleh tuntuntan perkembangan situasi dan kondisi politik nasional serta hasil keputusan Kongres ke-5 di Denpasar Bali, maka pada tanggal 1 Februari 1999 PDI berubah nama menjadi PDI Perjuangan dengan asas Pancasila dan bercirikan Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial. Perubahan ini juga menandai berubahnya era kepemimpinan Suryadi yang merupakan representasi Orde Baru ke era kepemimpinan Megawati Soekarnoputri yang menjadi simbol dari Era Reformasi. Megawati bersama-sama Amin Rais, Abdurrahman Wahid dan Sri Sultan Hamengkubuwono X didaulat oleh gerakan mahasiswa menjadi pemimpin reformasi. Hal tersebut menuntut Habibie yang menjadi Presiden terakhir Orde Baru setelah Soeharto lengser keprabon, secara elegan turut mengawal kelahiran era baru dengan para pemimpinnya yang baru.
Setelah memenangi Pemilihan Umum 7 Juni 1999 yang demokratis , PDI Perjuangan menempatkan para kadernya pada lembaga eksekutif dan legislatif. Terasa sekali kesenjangan antara kapabilitas para kader dengan kapasitas tugas yang harus dijalankan yang secara umum banyak memunculkan kritik dari pelbagai kalangan. Bahkan kritik terkeras mengatakan PDI Perjuangan telah gagal mengelola kemenangan. Winters (2004:115) menyebutnya "the mistakes of the PDIP and Mega" dan mengatakan bahwa "the biggest failure is that the PDIP ”failed completely to politically `mobilize' the people… But this criticism cannot be made only for PDIP. It must be made against `all’ the parties".
Kegagalan seperti yang dimaksudkan Winters disebabkan oleh kondisi nyata sumber daya manusia yang ada dalam tubuh Partai, berkaitan dengan kepribadian mereka. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak kader Partai yang menduduki jabatan-jabatan publik berperilaku yang tidak sesuai dengan yang diharapkan masyarakat, misalnya berjudi, bermabuk-mabukan, berfoya-foya, berselingkuh hingga berperilaku koruptif. Perilaku seperti itu menurut Kartono (1983:10) termasuk dalam kategori perilaku yang menyimpang (deviasi atau diferensiasi). Hal-hal seperti itu menjauhkan mereka dari tanggungjawabnya terhadap Partai dan masyarakat dan mempengaruhi kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam percaturan antara bangsa Indonesia menempati peringkat pendidikan di bawah Vietnam (Matrikulasi PPS UPI 2001), dengan produktivitas yang rendah karena rendahnya daya saing (Pikiran Rakyat, Desember 2003). Laporan UNDP tahun 2004 (United Nations Depelovment Program) menempatkan posisi HDI (Human Develovment Index) manusia Indonesia pada urutan ke-111 dari 177 negara. Di Jawa Barat khususnya, yang dikenal sebagai centre of knowledge (kiblat ilmu pengetahuan karena dihuni 300 perguruan tinggi swasta maupun negeri yang prestisius), ternyata tidak manunjukan kualitas SDM yang tinggi. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai parameter untuk menentukan kualitas SDM ternyata memprihatinkan. Menurut catatan, IPM Jawa Barat baru mencapai angka 68. Padahal standar internasional UNDP dan UNESCO menyaratkan angka minimal 80 (“PR” 8/1/2003). Komponen dalam IPM adalah indeks pendidikan (angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah), indeks kesehatan (angka harapan hidup) dan indeks daya beli (konsumsi per kapita) (Perda No. 3 Tahun 2003 tentang Program Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat). Angka melek huruf sebesar 91,87% sedangkan rata-rata lama sekolah adalah 6,68 tahun, dengan Indramayu terendah sebesar 3,9 tahun dan Kota Bandung tertinggi sebesar 9,6 tahun (Rencana Pembangunan Makro Pendidikan, 2002).
Berdasarkan data BPS Provinsi Jawa Barat, Angka Harapan Hidup (AHP) penduduk Jawa Barat meningkat dari 62,92 tahun pada 1998 menjadi 64,40 tahun pada tahun 2000 (Setiawan, 2002:7). Namun demikian peringkat kesehatan penduduk Jawa Barat masih berada diurutan 16 dari 30 provinsi di Indonesia (Galamedia, 12/1/2004). Penyebab rendahnya derajat kesehatan warga Jawa Barat antara lain karena 10 juta dari 35 juta jiwa Jawa Barat masih hidup di bawah garis kemiskinan dan belum mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak. Hal ini menyebabkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia berada di bawah negara ASEAN lainnya. Dirjen Pelayanan Medik, dr. Sri Astuti S. Suparmanto, MSc. mengatakan bahwa rendahnya derajat kesehatan tersebut disebabkan pula oleh rendahnya tingkat pengetahuan dan pendidikan masyarakat. (Galamedia, 12/1/2003). Indikator IPM lainnya adalah daya beli masyarakat (purchasing power) yang merupakan kemampuan untuk membeli dan mengkonsumsi barang-barang kebutuhan baik primer, sekunder, maupun tersier dari pendapatan atau gaji yang mereka peroleh. Daya beli masyarakat Jawa Barat ditandai dengan indeks sebesar 38,5 pada tahun 1999, dan 55,1 pada tahun 2001 (Setiawan, 2002:34).
Menyadari akan hal tersebut Megawati ( Buku Panduan Badiklatpus PDI Perjuangan, 2002) menyatakan bahwa tidak ada bangsa yang besar tanpa disiplin. Bercermin pada pengalaman bangsa-bangsa lain, dan berkeyakinan bahwa pernyataan ini adalah aksioma yang tidak terbantahkan. Tidak akan pernah ada Partai yang besar tanpa disiplin. Disiplin memang telah secara keliru diasosiasikan dengan militer. Karenanya, ketika coba ditegakkan ada saja yang mengira sebagai proses militerisasi padahal disiplin bukan soal militer apalagi militerisasi. Juga bukan monopoli militer karena disiplin pada intinya merupakan kepatuhan pada sistem dan aturan bermain, disiplin diperlukan oleh semua institusi, disiplin bahkan menjadi prinsip bagi bekerjanya sebuah sistem sosial yang baik.
Untuk memperbaiki kinerja orang-orang partai dalam lembaga-lembaga pemerintahan maupun pada struktur internal partai; didirikanlah Badan Pendidikan dan Latihan (Badiklat) yang merupakan realisasi dari keputusan Kongres I PDI Perjuangan di Semarang. Lembaga ini merupakan sayap partai dan bertanggungjawab pada Dewan Pimpinan Partai (DPP) yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri. Pada tingkat propinsi dibentuk Badan Pendidikan dan Latihan Daerah Daerah (Badiklatda) dan di tingkat kota dan kabupaten dibentuk Badan Pendidikan dan Latihan Cabang (Badiklatcab). Pembentukan Badiklat adalah untuk menyiapkan anggota partai menjadi kader melalui suatu proses pendidikan dan latihan.
Di samping membentuk Badiklat, Partai pun membentuk sayap Partai yang bernama Baitul Muslimin Indonesia (BMI), yang dimasudkan untuk mewadahi kelompok keagamaan Islam yang juga merupakan sumber kader bagi Partai. Lahirnya BMI mendapat apresiasi publik ditandai dengan kehadiran pimpinan tertinggi Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah, K.H. Hasyim Muzadi dan Prof. Dr. Dien Syamsudin.
Kader berasal dari kata "le cadre" (bingkai) adalah orang-orang yang ditempatkan pada struktural partai dan juga orang orang yang ditempatkan pada struktural pemerintahan maupun lembaga-lembaga negara lainnya seperti parlemen (cadre are persons appointed to paid positions in either the government or party apparatus) . Kader merupakan tenaga inti penggerak partai. Partai dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori: partai proto (protoparties) , partai kader, partai massa, partai diktatorial dan partai kombinasi kader-massa ( catchall parties) (Encyclopedia Americana, 2001:337, 491). Kader partai diperlukan pada semua partai terutama partai kader, partai massa, dan partai kombinasi kader-massa. Adanya kader juga merupakan prasyarat bagi sebuah partai modern. Muradi mengutip Satori (PR, 28 Februari 2005) menyatakan bahwa 4 syarat partai modern adalah terbuka, memiliki ideologi demokratis, regenerasi yang teratur dan sistem pengkaderan yang baik .
Tantangan yang nampak di depan mata bagi kader partai adalah masuknya Indonesia ke dalam era kesejagadan (globalisasi). Era kesejagadan itu umumnya dipersepsi secara negatif baik karena pandangan ideologis (karena dianggap sebagai westernisasi) maupun pragmatis (karena dampaknya).
Noer (2003:249) berpandangan bahwa globalisasi yang berkembang sekarang memperlihatkan mengecilnya dunia bagaikan menjadi satu sehingga batas-batas negara dan budaya serta peradaban lebih menipis dan kecenderungan yang ada ialah menjurus ke satu arah, praktis dalam semua bidang hidup dari Barat.
Menanggapi globalisasi , Madjid (1998:198) mengajak kita "mulai sungguh-¬sungguh memperhatikan segenap potensi nasional kita, baik dalam artian sumber daya manusia maupun dalam sumber daya alam"
Memperhatikan secara sungguh-sungguh potensi nasional dengan ketangguhan ekonomi nasional adalah dengan menyiapkan mutu sumber daya manusia. Dalam pernyataan tersebut terkandung makna pemberdayaan potensi¬ potensi nasional. Frasa pemberdayaan nasional membawa kita pada sentimen nasional dan akan membantu jika kita memahami pula nasionalisme (faham kebangsaan). Nasionalisme termasuk dalam ideologi poltik kontemporer (Eatwell dan Wright, ed., 2004:20), yang merupakan:
"Ideologi yang daya dorong afektifnya adalah rasa memiliki dan melayani suatu komunitas nasional. Para pengikut ideologi ini memberikan identitas budaya yang khas kepada bangsa mereka yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain dan memberinya tempat istimewa dalam proses sejarah. Komunitas ini dikenali (biasanya secara tidak sadar) dengan sekumpulan karakteristik khas yang diperoleh dari realitas konstitusional, historis, geografis, religius, linguistik, etnis, dan atau genetis.
Agar nasionalisme berjalan secara positif menjadi penguat potensi nasional vis a vis gejala globalisasi yang mengancam , dan tidak sebaliknya menjadi chauvinisme, etnosentrisme, kebencian terhadap bangsa asing (xenofobia) dan diskriminasi atas dasar etnisitas (rasisme), diperlukan pendidikan nilai yang benar. PDI Perjuangan sebagai partai yang bercirikan nasionalisme, kerakyatan dan demokrasi dengan caranya sendiri melakukan proses pendidikan tersebut.
Pendidikan nilai-nilai kebangsaan dalam kerangka membangun persatuan dan karakter bangsa oleh Soekarno (Yudhoyono dalam Ishak, 2001: 162) disebut sebagai ‘state, nation and character building' yang pada intinya bertumpu pada kedaulatan di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan atau Trisakti. Domain dan dimensi budaya amat luas, terkandung di dalamnya nilai dan perilaku; etika, moral, budi pekerti; gagasan, pengetahuan, dan teknologi; kepribadian dan jati diri.
Kuatnya nilai-nilai kebangsaan diharapkan dapat menguatkan keinginan untuk berbuat dan mengabdi pada bangsa. Untuk menimbulkan pengabdian yang tulus diperlukan rasa cinta. Gandhi (1980: 164) mengatakan jika pengabdian dilakukan karena pamer atau takut pada pendapat umum, akan menjadi beban dan menekan jiwa. Pengabdian harus dilakukan dengan rasa gembira, agar menguntungkan bagi pelaku maupun yang dilayaninya. Semua kesenangan dan harta benda akan sirna di hadapan pengabdian yang dijalankan dengan hati gembira.
Proses pendidikan nilai tersebut dilakukan oleh Badiklat yang bertujuan untuk menghasilkan kader-kader yang memiliki tradisi intelektual dan kenegarawanan dengan memahami ideologi Pancasila, trampil berpolitik, mampu memimpin dan berorganisasi, memiliki kepekaan dan keberpihakan sosial.
Untuk menyiapkan kader atau biasa dinamakan kaderisasi Badiklat membentuk rangkaian kegiatan yang terorganisir yang dinamakan Sekolah. Sekolah ini hanya berlangsung beberapa hari , dimulai sejak subuh hingga malam hari . Sebagaimana layaknya sebuah sekolah, maka di dalamnya terdapat seorang Kepala Sekolah , Guru, Siswa, bahan ajar serta material pendukung. Di samping itu ada Panitia yang membantu proses pendidikan dan latihan berlangsung. Guru terdiri dari kader partai yang dinyatakan kompeten dan dosen-dosen tamu dari pelbagai perguruan tinggi yang diundang untuk mengajar. Kepala Sekolah, Guru dan Panitia terhimpun dalam suatu kepanitiaan yang dibentuk oleh partai dengan suatu surat keputusan untuk suatu masa tertentu. Ada pun yang disebut siswa merupakan para pengurus dan anggota partai dari pelbagai daerah dan tingkatan yang ditugaskan untuk mengikuti diklat tersebut. Kurikulum yang digunakan dalam sekolah merupakan serangkaian bahan ajar yang dipilih dan ditentukan secara selektif oleh partai sedang aktifitas belajar mengajarnya dilakukan di dalam dan luar kelas, sebisa mungkin disampaikan dengan cara interaktif.
Penelitian ini menggambarkan mengenai pola kaderisasi dalam pembinaan kepribadian nasional, bertumpu pada empat hal, yakni : disiplin kader, interaksi edukasi Guru-Siswa, interaksi sosial Siswa dan sistem pembelajaran. Subyek dalam penelitian ini adalah para peserta kursus kader yang diselenggarakan Badan Pendidikan dan Latihan (Badiklat) PDI Perjuangan. Penelitian ini menyoroti lemahnya kepribadian calon kader berkaitan dengan disiplin diri yang pada gilirannya melemahkan potensi Partai pada khususnya dan bangsa secara keseluruhan. Bangsa yang memiliki kepribadian dengan disiplin diri yang kuat terbukti mampu mengembangkan seluruh potensinya secara produktif dan memiliki peran yang penting dalam pergaulan umat manusia. Kuatnya kepribadian bangsa dengan disiplin diri yang kuat memiliki hubungan dengan kuatnya rasa kebangsaan. Darwin (Kompas edisi Yogyakarta, 12 April 2007) mensinyalir bahwa Negara gagal menjalankan peran-peran dasarnya, sehingga watak bangsa yang penuh paradoks gagal dikelola dengan baik sehingga kini mengalami krisis kebangsaan. Berdasarkan sinyalemen tersebut dapat disimpulkan bahwa jika diharapkan memiliki kepribadian yang kuat maka penbinaan kebangsaan dalam kerngka pengembangan kepribadian perlu dilakukan secara sistematis, antara lain melalui Partai. Dengan demikian diharapkan kader Partai memiliki kepribadian yang matang .
Manusia dengan kepribadian yang matang menurut Tillich ( 1953: 57 ) adalah orang yang memiliki kepribadian untuk hidup, bersifat serius, tekun dan punya rasa tanggungjawab, serta bisa menerima kenyataan hidup. Sedangkan menurut Allport (1937) kepribadian yang matang ditandai dengan kesadaran atau wawasan yang luas tentang diri dan orang lain; memiliki rasa kasih sayang; sadar akan kekuatan diri; mempunyai kesediaan untuk tunduk pada kekuasaan orang lain; mempunyai ambisi dan minat estetis; punya sentimen keluarga dan emosi-emosi religius. Kesejahteraan orang lain dianggap sama pentingnya dengan kesejahteraan sendiri; jadi orang lain itu dianggap identik dan sama nilainya dengan diri sendiri. Dia memiliki partisipasi yang bersungguh-sungguh terhadap kehidupan ini.
Hamka (1982: 18) mengkaitkan kepribadian dengan negara dan bangsa yang merdeka. Negara dan bangsa yang merdeka, menumbuhkan kermerdekaan pribadi. Orang menerima akan pembagian tugas dengan rela. Segala kewajiban dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab. Dia adalah anggota dari satu bangsa besar, dan kumpulan segenap pribadi, itulah yang menjelmakan pribadi bangsa.
1. Pembinaan Kebangsaan
Tiga dimensi tugas pemegang tampuk kekuasaan pemerintahan menurut Mas’oed (2004) adalah : pembinaan kebangsaan, pembinaan kelembagaan politik dan pemerintahan, dan pembangunan ekonomi. Tujuan pembinaan kebangsaan adalah integrasi nasional yang mewadahi ragam identitas lokal.
Litbang Hankam (2007) menyatakan bahwa nasionalisme merupakan salah satu unsur pembinaan kebangsaan. Pembinaan kebangsaan merupakan upaya untuk membentuk masyarakat bangsa agar berwawasan kebangsaan, berpola tatalaku yang khas mencerminkan budaya dan ideologi Pancasila.
Pembinaan kebangsaan berbeda-beda dan unik di tiap-tiap bangsa. Amerika Serikat menggunakan konsep ”melting pot” atau ”salad bowl”. Malaysia menggunakan konsep ”perpaduan dan integrasi dengan menggunakan sarana budaya, bahasa, seni dan pendidikan”. Singapura tampak berhasil dalam pembinaan kebangsaan dengan mengintegrasikan bermacam-macam etnis : China, India, Melayu, dan Eropa. Indonesia yang plural menggunakan konsep wawasan kebangsaan dengan mengembangkan unsur rasa, faham dan semangat kebangsaan.
Pemerintah Kota Tangerang melakukan pembinaan kebangsaan dengan membuat Peraturan Daerah yang mengatur pembinaan ideologi Pancasila, pembauran etnis dan kesatuan bangsa.
2. Kepribadian Nasional
Kepribadian nasional merupakan istilah yang banyak diperselisihkan (”national identity is often disputed”) bahkan Abdalla (2007) dari Jaringan Islam Liberal menganggapnya sebagai isu berbahaya, contradictio in terminis bagi agenda demokrasi dan reformasi . Di sisi lain banyak yang mengeluhkan ”kepribadian nasional mulai luntur”. Rex, John (2007) peneliti pada Center for Research in Ethnic Relations, University of Warwick, mengakui bahwa ”there is a crisis of national identity in the advanced welfare states of Western Europe following post war immigration”. Di sisi lain NPR (2007) dalam releasenya ”Exploring America’s National Identity” mengatakan bahwa ”nearly two thirds of Americans say our culture and values change as new people” yang mengindikasikan terbentuknya kepribadian nasional di AS. Modood, Tariq (2007) bahkan menyatakan merusak kepribadian nasional dapat mengancam multikulturalisme.
Di Indonesia istilah kepribadian nasional dikemukakan oleh Soekarno ketika mengemukakan mengenai manifesto politiknya yang disingkat USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialime Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin yang semua itu dinamakan : Kepribadian Nasional). Mukti Ali (1971) mengaitkan dengan etika agama dalam pembentukan kepribadian nasional dan pemberantasan kemaksiatan.
Penulis berpandangan bahwa Kepribadian Nasional adalah karakteristik yang dimiliki suatu bangsa sebagai perwujudan dari cita-cita, pengalaman sejarah dan budayanya.
Asumsi
1. Kepribadian dipengaruhi oleh perlakuan lingkungan terhadap individu. Kursus kader merupakan upaya Partai untuk mengembangkan kepribadian kader sesuai dengan gambaran ideal partai. Keberhasilan kursus kader pada Badiklat PDI Perjuangan tergantung pada pola yang digunakan oleh pengelola, terutama mengenai penetapan tujuan yang akan dicapai, proses yang ditempuh serta evaluasi yang digunakan.
2. Kepribadian individu dapat dikembangkan ke arah yang diinginkan lingkungan. Keberhasilan pengembangan kepribadian pada Badiklatda PDI Perjuangan sangat tergantung pada pengelolaannya, terutama dalam sistem pembelajaran, interaksi edukatif guru-siswa, hubungan sosial siswa dan penerapan disiplin.
3. Pengembangan kepribadian untuk menumbuhkan pribadi kader Partai yang berkepribadian nasional adalah yang mengembangkan manusia Indonesia yang manusiawi, yang memiliki jati diri sebagai individu, makhluk sosial, warga bangsa dan warga dunia, bagian dari alam dan makhluk Al Khalik.
Senin, 06 Juli 2009
Sabtu, 27 Juni 2009
Prasarana olah raga yang cerdas dapat membangkitkan etos olahraga sekaligus merupakan kunci sistem pembinaan olahraga yang berbasis ristek.
Langganan:
Postingan (Atom)