Senin, 07 September 2009
Revitalisasi industri tebu di Jawa Barat dengan mendirikan pabrik gula mini
Industri Berbasis Tebu di Jabar
Oleh HARJOKO SANGGANAGARA
Fluktuasi harga gula yang tidak wajar merupakan paradoks di negeri yang sebenarnya memiliki potensi besar untuk berswasembada gula. Jawa Barat merupakan provinsi yang mengkonsumsi produk gula terbesar, sekitar 240 ribu ton per-tahun. Dilain pihak taksasi produksinya masih kecil, sekitar 130 ribu ton per tahun. Gambaran diatas mencuatkan pentingnya revitalisasi industri berbasis tebu di Jabar.
Eksistensi lima pabrik gula besar yang berada di daerah Cirebon dan Subang belum bisa memenuhi kebutuhan akan gula di Jabar. Tingginya harga gula dunia pada saat ini serta belum optimalnya produktivitas perkebunan dan pabrik gula di Jabar harus menjadi cambuk bagi pemerintah daerah untuk secepatnya melakukan revitalisasi industri berbasis tebu. Usaha untuk memperluas area perkebunan tebu di Jabar bisa jadi kurang berarti jika tidak disertai dengan strategi industri berbasis tebu dan perbaikan berbagai produk turunannya. Selain strategi industri juga dibutuhkan regulasi yang mewajibkan industri gula rafinasi wajib memakai tebu lokal dengan prosentase yang tinggi. Hal itu bisa menjadi stimulus berkembangnya perkebunan tebu. Selama ini konsentrasi terbesar perkebunan tebu di Jabar hanya berada disekitar Kabupaten Cirebon, Subang dan Majalengka.
Pentingnya strategi industrialisasi berbasis tebu di Jabar dengan menekankan berbagai inovasi teknologi dan produksi. Sehingga bisa menekan harga pokok produksi gula. Inovasi di bidang on-farm antara lain produk sampingan berupa pembuatan berbagai jenis pupuk tanaman dari limbah pabrik gula. Sedangkan pada bidang off-farm mestinya diarahkan penggunaan sejumlah energi alternatif. Mengingat penggunaan energi BBM di pabrik gula milik BUMN maupun pabrik gula kecil selama ini masih tergolong tinggi alias boros. Sebagai gambaran pabrik gula BUMN yakni PT RNI kebutuhannya akan energi BBM mencapai puluhan juta liter untuk menghidupkan mesin boilernya. Diatas kertas revitalisasi pabrik gula merupakan bagian integral peningkatan daya saing industri gula nasional untuk menghadapi liberalisasi perdagangan dunia. Pada era sekarang ini pabrik gula bisa dikatakan berdaya saing tinggi jika memiliki indikator dimana biaya produksi gula lokal sebanding dengan biaya produsen terefisien di dunia ditambah biaya untuk mendatangkannya. Ukuran itu identik harga pokok produksi (unit cost) maksimum 240 dollar Amerika per ton. Unit cost sebesar itu hanya dapat dicapai apabila pabrik gula berhasil menerapkan efisiensi dan produksi per hektar menjadi sekurang-kurangnya 10 ton. Revitalisasi tidak hanya menyangkut peningkatan kapasitas sejalan dengan meningkatnya volume tebu petani, melainkan juga penggantian mesin dan peralatan yang selama ini baru sebatas optimaliasasi kapasitas dan mempertahankan potensi produksi. Revitalisasi pabrik gula selama lima tahun ini belum terintegrasi dan masih jauh dari proses transformasi pabrik gula menjadi industri berbasis tebu alias sugarcane based industry. Apalagi rencana revitalisasi dengan skema pemerintah pusat memberikan subsidi bunga kepada perusahaan juga masih belum lancar.
Dalam RAPBN 2010 telah dialokasikan dana yang cukup besar untuk revitalisasi pabrik gula. Namun, program revitalisasi diatas bisa kandas lantaran belum ada langkah strategis yang dibuat oleh pemerintah daerah. Apalagi selama ini program revitalisasi pabrik gula berjalan setengah hati. Hal itu ditandai oleh rendahnya penyerapan dana perbankan untuk program tersebut. Padahal pemerintah pusat tekadnya sudah menggebu-gebu untuk menggenjot produksi gula nasional supaya bisa bertambah satu juta ton. Agar produksi pada 2009 bisa mencapai 3,5 juta ton. Rencana diatas bisa kandas akibat belum teratasinya masalah efisiensi pabrik gula. Pemerintah pusat masih risau karena pada saat ini Indonesia termasuk pengkonsumsi gula yang sangat besar (mencapai 3,8 juta ton per tahun) dan sekaligus menjadi sepuluh negara pengimpor gula terbesar di dunia.
Strategi industrialisasi berbasis tebu juga harus mengakomodasikan usaha petani tebu untuk mendirikan pabrik gula ukuran mini. Keberhasilan pabrik gula mini yang telah dibangun dan dioperasikan di beberapa tempat sebaiknya menjadi pilot project. Pada prinsipnya pabrik gula mini adalah pabrik gula yang berkapasitas kurang dari 250 TTH dengan sistem closed pan. Produk gula kristal putih dari pabrik gula mini minimal terdiri dari chamber gilingan, pemurnian nira, penguapan, kristalisasi, pemisahan kristal dan chamber pengeringan gula. Permasalahan utama yang dihadapi dalam pengoperasian pabrik gula mini adalah inovasi untuk efisiensi pengolahan dan kebutuhan energi alternatif. Strategi industrialisasi berbasis tebu juga menyangkut kemampuan industri dalam negeri membuat mesin dan peralatan pabrik gula, seperti gilingan, pemurnian, penguapan, pemasakan, puteran, peralatan kelistrikan, konveyor, boiler, turbin, serta peralatan kontrol. Hingga saat ini bahan baku dan komponen lokal masih menjadi masalah sehingga program restrukturisasi mesin di beberapa BUMN seperti beberapa PTPN, PT RNI dan PT Madu Baru sebagian masih menggunakan komponen impor yang harganya cukup tinggi. Idealnya strategi industrialisasi berbasis tebu juga mencakup restrukturisasi organisasi. Langkah itu misalnya dengan cara merger untuk pabrik gula yang berkapasitas dibawah 3 ribu ton tebu per hari.
Persoalaan kebutuhan energi listrik dan bahan bakar untuk pabrik gula masih cukup krusial. Banyak pabrik gula yang tertekan oleh konsumsi energi dan biaya listrik. Sebagian pabrik gula masih gagal menurunkan biaya listrik dengan optimalisasi sistem produksi. Sebenarnya pabrik gula merupakan industri yang mampu memenuhi kebutuhan energi pengolahan dari ampas atau limbah produksi. Perlunya menerapkan inovasi teknologi yang paling efektif untuk mencukupi energi pabrik gula melalui sistem pembangkitan ganda atau yang lebih popular disebut dengan sistem cogenerator. Pada prinsipnya mesin itu merupakan rangkaian ketel pembakaran ampas dengan mesin atau turbin uap. Energi potensial uap dari ketel dimanfaatkan untuk penggerak peralatan atau pembangkit listrik dan dihasilkan energi uap bekas yang digunakan untuk proses pemanasan, penguapan, dan kristalisasi. Krisis energi telah mendorong pabrik gula di negara lain untuk beralih dengan sistem cogenerator tekanan tinggi. Bahkan sistem tersebut mampu berperan dalam menambah pasokan daya listrik nasional. Penerapan sistem elektrifikasi itu untuk penggerak gilingan dan seluruh peralatan dalam pabrik digunakan elektromotor sehingga tenaga listrik yang digunakan dapat lebih optimal. Sistem tersebut berbeda dengan kondisi di tanah air pada saat ini. Pada sistem cogenerator, konversi energi ampas di pabrik gula adalah besarnya uap yang dihasilkan per ton tebu giling pada ketel dan besarnya tenaga dibangkitkan tiap ton tebu giling pada turbin.
*) Peserta Program S-3 Sekolah Pascasarjana UPI Bandung
**) Artikel telah dimuat di koran KOMPAS, Jabar, 8 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar