Rabu, 23 Desember 2009

Program relokasi nelayan harus dilakukan dengan prinsip cost effectiveness



Memperkuat Program Relokasi Nelayan dan Sistem Informasi Pulau Kecil

Oleh HARJOKO SANGGANAGARA *)


Pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil di negeri ini masih jauh dari harapan. Departemen Kelautan dan Perikanan belum mampu mengimplementasikan Undang-Undang No.27/2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara efektif dan cerdas. Konteks pengelolaan diatas menyangkut perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antar pemerintah dan pemerin daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Indonesia memiliki 92 pulau kecil yang strategis secara posisi maupun potensi ekonomi. Namun, sifat strategis tersebut belum didayagunakan secara optimal. Dinas Kelautan dan Perikanan di daerah mestinya bertindak kreatif dalam mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan bantuan teknologi. Seperti membuat sistem informasi dengan teknologi terkini. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga harus mencakup program relokasi bagi nelayan.
Hingga saat ini akses terhadap informasi, terutama menyangkut posisi dan potensi pulau-pulau kecil tersebut kurang meamadai. Akibatnya pembangunan dan pengusahaan sulit dilakukan. Pendekatan geospasial yaitu dengan data dan informasi yang bereferensi bumi merupakan langkah yang efektif dalam pengelolaan. Mestinya, seluruh Dinas Kelautan dan Pesisir harus mampu membuat Sistem Informasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan menggunakan aplikasi yang murah/gratis. Seperti penggunaan Google Maps API (Application Programming Interface). Sistem ini menggunakan data dari domain publik yang gratis, legal, dan bersifat open source. Serta dapat didiseminasikan dengan mudah. Kreatifitas aparatur DKP di daerah perlu diwujudkan untuk menciptakan sistem informasi yang mudah diakses.
Google Maps API yang digunakan dalam pembuatan Sistem Informasi berisi informasi tentang citra seluruh bumi yang salah satu informasinya ditampilkan dalam bentuk citra foto satelit. Dari citra tersebut kemudian dapat ditambahkan informasi-infomrasi lain dengan menambahkan fitur-fitur yang diinginkan. Google menyediakan layanan API untuk menampilkan peta pada halaman website. Aplikasi ini bernama Google Maps API (GMaps API). Peta yang ditampilkan diambil dari layanan Google Maps. Ada tiga jenis tampilan yang bisa dipilih dari Google Maps, yaitu: Map, Sattelite, dan Hybrid. Map menampilkan peta dalam bentuk peta garis, Sattelite menampilkan peta dalam bentuk citra/foto satelit dan Hybrid merupakan gabungan dari Map dan Sattelite. Dengan Google Maps API bisa dirancang sistem informasi berbasis internet untuk menampilkan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Setiap obyek bisa diberi label dan tiap label berisi keterangan tentang nama pulau, koordinat titik terluar, jumlah penduduk, wilayah administrasi dan potensi ekonomi. Dilengkapi juga dengan hyperlink untuk menuju halaman website yang berisi informasi lebih lengkap.
Ada perbedaan tipologi nelayan di negeri ini, baik menyangkut latar belakang budaya, sosial, pendidikan, dan tingkat kohesitas dalam komunitas mikro (antar nelayan dalam satu grup) atau dalam komunitas makro (nelayan dengan anggota masyarakat pesisir lainnya). Tipologi nelayan tersebut dapat digunakan sebagai ukuran bagi penentuan program relokasi nelayan di sebelas wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Dinamika budaya dan sosial ekonomi masyarakat nelayan baik yang akan direlokasi maupun yang akan menjadi tujuan relokasi harus diketahui dengan baik untuk menghindari kemungkinan distorsi dari tujuan relokasi seperti potensi terjadinya konflik. Relokasi nelayan dapat dilakukan dengan prinsip cost effectiveness. Sebagai contoh, kelebihan nelayan di WPP 5 (Laut Jawa ) mungkin akan lebih tepat apabila dialihkan ke WPP 2 (Laut China Selatan) yang notabene masih relatif dekat dan secara sosial tidak terlalu berbeda. Selain itu, pentingnya kebijakan transformasi nelayan. Kebijakan ini pada intinya bertujuan untuk memindahkan (transform) mata pencaharian nelayan baik secara vertikal misalnya dari nelayan menjadi pembudidaya ikan, pedagang perikanan atau pengolah ikan, jadi masih tetap dalam koridor sistem perikanan, atau dilakukan secara horisontal yaitu mengalihkan profesi nelayan menjadi kegiatan lain di luar sistem perikanan. Kebijakan tersebut merupakan adopsi dari salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan yang ditekankan oleh FAO melalui Code of Conduct for Responsible Fisheries. Yaitu bentuk Regional Fisheries Management Organization (RFMO). Yang pada prinsipnya kebijakan tersebut menitikberatkan pada kerjasama regional (level negara) dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan lintas batas.
Tingginya tingkat degradasi lingkungan dan kemiskinan di wilayah pesisir merupakan isu utama pembangunan wilayah pesisir. Kondisi tersebut disebabkan karena belum jelasnya sistem perencanaan wilayah pesisir dan tidak sinkronnya pembangunan antar sektor. Tantangan dan rintangan bidang pengawasan dan pengendalian (wasdal) sumber daya kelautan dan perikanan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus dijawab dengan strategi yang bisa mentransformasikan program dan kegiatan wasdal. Sehingga amanat pokok kegiatan wasdal yang mewujudkan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan bisa terlaksana dengan baik. Apalagi, pada saat ini eksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan intensitasnya sangat tinggi di seluruh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Antara lain seperti minyak bumi dan gas, perikanan, ekowisata bahari, industri kelautan, bangunan kelautan, angkutan laut, serta jasa kelautan lainnya, termasuk eksploitasi harta karun/ barang berharga asal muatan kapal tenggelam (BMKT). Eksploitasi yang berlebih berdampak pada rusaknya lingkungan. Pentingnya penguatan sistem VMS (Vesel Monitoring System) mengingat kapabilitas armada di DKP Provinsi rata-rata baru berukuran dibawah 30 GT. Juga perlunya standar kapal patroli untuk pengawasan keamanan laut. Sistem VMS juga harus mampu mencakup masalah Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Selama ini sistem informasi HP-3 masih pincang, sehingga menimbulkan masalah tentang hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.

*) Pemerhati Budaya Masyarakat Pesisir, Peserta Program S-3 Sekolah Pascasarjana UPI Bandung
**) Dimuat Harian KONTAN, 24 Desember 2009

Tidak ada komentar: