Senin, 23 November 2009
Inovasi kunci perekonomian di masa depan
Pragmatisasi Inovasi Daerah
Oleh HARJOKO SANGGANAGARA
Laporan International Innovation Index 2009 menempatkan negeri ini berada di posisi ke-71 dari 108 negara yang diukur. Posisi itupun untuk kawasan Asia Tenggara masih dibawah Malaysia yang berada diposisi 21 dan Thailand diposisi 44. Indeks diatas merupakan kondisi yang sangat ironis. Karena potensi sumber daya alam, ragam kebudayaan dan jumlah penduduk negeri ini sebenarnya memungkinkan negeri ini bisa menjadi lahan subur untuk tumbuhnya proses inovasi. Juga bisa merupakan potensi yang sangat besar untuk berbagai produk inovatif. Sayangnya, kebijakan inovasi daerah yang mestinya menjadi ujung tombak sistem inovasi nasional belum dijalankan secara sungguh-sungguh. Kebijakan inovasi daerah acapkali tidak menginjak bumi alias hanya diawang-awang.
Selama ini kebijakan inovasi daerah masih terlalu teoritis dan kurang pragmatis. Pentingnya arti pragmatisasi sistem inovasi daerah agar semua energi kreatifitas tidak menggumpal di meja birokrasi tetapi bisa mencair menjadi nilai tambah bagi masyarakat luas. Istilah pragmatisasi berasal dari bahasa Yunani yakni ”pragma” yang berarti perbuatan atau tindakan yang bermanfaat. Suatu kebijakan atau langkah bisa dianggap pragmatis apabila membawa hasil konkrit dan dapat diaplikasikan secara luas. Pragmatisasi itu akan terwujud jika kebijakan inovasi daerah itu benar-benar berakar dari nilai-nilai dan budaya lokal. Pragmatisasi inovasi daerah hendaknya terfokus kepada produk inovatif lokal yang berupa kriya unggulan. Bermacam kriya unggulan mestinya jangan hanya menjadi barang pajangan untuk pameran. Tetapi harus mampu menjadi produk yang mampu menerobos pasar global secara kontinu. Untuk menerobos pasar dibutuhkan strategi diferensiasi produk kriya unggulan. Kriya unggulan tidak perlu berorientasi cost leader. Dalam arti mesti diproduksi secara masal dengan bantuan permesinan. Sebaiknya kriya unggulan tetap dikerjakan oleh daya kreatifitas dan tangan-tangan trampil anak bangsa. Hal itu sejalan dengan pendapat pakar manajemen industri Michael Porter, yang menyatakan bila suatu produk tidak bisa menjadi cost leader, maka jadilah differentiator. Dengan demikian, untuk mengelola produk inovatif seperti kriya, maka strategi diferensiasi bisa menjadi daya saing yang sulit untuk ditiru oleh produk dari negara lain. Contoh strategi diferensiasi yang sukses di pasar global adalah produk ukir-ukiran Jepara. Di pasar Amerika Serikat produk ukiran Jepara mampu bertahan dari gempuran produk masal dari RRC yang berorientasi cost leader. Meskipun harga jual lebih tinggi, namun pasar Amerika Serikat tetap memilih produk mebel ukiran dari Jepara karena faktor mutu dan keunikan. Mutu bisa dilihat dari kualitas presisi, pelapisan kayu, kekuatan sambungan serta motif dan alur ukiran yang sangat berbeda sehingga memiliki keunggulan bila dibandingkan dengan mebel dari RRC.
Strategi diferensiasi terhadap kriya unggulan harus segera dirumuskan. Kriya unggulan atau excellent craft pada prinsipnya merupakan suatu produk yang dihasilkan dari perpaduan antara ketrampilan dan daya kreatifitas manusia, keunikan dalam pemanfaatan/pengolahan material, dan serapan budaya lokal. Strategi diferensiasi yang paling penting dan mendasar adalah aktivitas pelatihan masyarakat untuk membuat kriya unggulan. Pada saat ini semakin langkanya SDM yang bisa menggeluti produksi kriya secara baik. Sudah waktunya pemerintah daerah menyelenggarakan pelatihan dengan infrastruktur dan sistem pengajaran yang modern. Jika pelatihan itu dilakukan secara asal-asalan akan sulit mewujudkan produk kerajinan masyarakat yang layak disebut sebagai kriya. Apalagi kriya unggulan yang mampu mewakli identitas maupun aset bangsa. Metode pelatihan yang ideal adalah lewat lembaga pendidikan formal. Sayangnya pada saat ini sangat jarang, bahkan belum ada sekolah kejuruan yang fokus terhadap pengajaran kriya unggulan. Dahulu, ada sekolah kejuruan tentang bangunan atau perabot dari kayu. Sekolah itu telah menghasilkan tukang kayu yang sangat trampil dan mahir. Namun, sekolah kejuruan semacam itu kini sudah tidak ada lagi. Jika pemerintah daerah kesulitan membentuk atau memformalkan pengajaran tentang kriya, bisa saja melalui pendidikan informal tetapi dengan infrastruktur yang modern. Sayangnya, pemerintah daerah belum mampu menyediakan ruang kreatifitas yang memadai untuk warganya. Mestinya pemerintah daerah tidak boleh mati langkah dalam membangun infrastruktur yang bisa menumbuhkan kreatifitas warga dan mengajarkan proses desain yang benar.
Kebijakan Inovasi Daerah hendaknya tidak terjebak dengan hasil riset lembaga formal atau perguruan tinggi yang terlalu teoritis dan kurang membumi. Pragmatisasi inovasi daerah akan berlangsung dengan baik jika ada landasan yang kokoh terhadap stimulus gagasan disain dari masyarakat. Jika stimulus itu bisa dijalankan secara baik maka sederet gagasan disain masyarakat akan berubah menjadi produk yang lebih rinci. Oleh karena itu, sangatlah penting masukan dari pakar desain produk. Agar gagasan disain masyarakat itu layak untuk dikembangkan. Dari kacamata ilmu desain produk, banyak gagasan yang secara sekilas terlihat mencengangkan, namun setelah dicoba untuk direalisasikan, ternyata sangat sulit atau bahkan tidak mungkin direalisasikan menjadi produk yang baik.
Pragmatisasi inovasi daerah dan strategi diferensiasi hendaknya menjadi perhatian utama dari DRD (Dewan Riset Daerah). DRD sebagai lembaga fungsional lokal itu, kiprah dan tanggung jawabnya seperti disebutkan dalam UU No. 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Stigma DRD yang merupakan lembaga yang selalu mengkerutkan kening orang, harus dirubah menjadi lembaga yang mampu mendorong kreatifitas warga serta mengembangkan kriya hingga menghasilkan nilai tambah yang konkrit. Salah satu yang patut dicontoh adalah program DRD Pemkot Surakarta yang telah sukses mewujudkan strategi diferensiasi dan berhasil meningkatkan pangsa pasar kriya unggulan daerah itu. Melalui pembangunan infrastruktur Solo Technopark. Pembangunan infrastruktur itu merupakan sinergi antara Sistem Iptek Daerah (SIPTEKDA), Sistem Industri dan Perdagangan Daerah (SIPD) serta komponen masyarakat kreatif. Hasilnya, Sistem Inovasi Daerah mampu berfungsinya sebagai local incorporated yang tangguh dan berhasil menggenjot pendapatan daerah serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan nilai tambah yang luar biasa.
*) Artikel dimuat Harian KOMPAS, 24 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar