"Reformasi Total PSSI dan Signifikansi Ekonomi Olahraga"
Oleh : Harjoko Sangganagara *)
Daily Investor 2015
Presiden Joko Widodo menyatakan perlu
reformasi total terhadap PSSI. Sangsi sepihak yang kurang obyektif telah
dijatuhkan oleh FIFA terhadap Indonesia. Hal itu tidak perlu diratapi karena
justru memberikan makna yang besar dan menjadi momentum untuk menata kembali
sepak bola di tanah air. Apalagi selama satu dasawarsa terakhir, PSSI selalu
busung prestasi dan berada diperingkat bawah. Reformasi total yang paling ideal
adalah melahirkan kembali organisasi federasi sepak bola dengan nama baru
maupun tetap bernama PSSI tetapi dengan pengurus yang benar-benar baru.
Saatnya mengubur berbagai macam penyakit
kronis sepak bola di negeri ini, khususnya modus korupsi dan sepak terjang
mafia sepak bola. Reformasi total juga meliputi pengembangan potensi dan nilai
tambah ekonomi olahraga. Reformasi total relevan dengan kondisi FIFA yang kini
reputasinya sedang jatuh terpuruk akibat skandal korupsi yang dilakukan oleh
petingginya. Insiden penangkapan beberapa pimpinan FIFA di Zurich terkait
dugaan korupsi, penyuapan hingga pemerasan telah mencoreng citra federasi sepak
bola dunia. Penangkapan petinggi FIFA yang diprakarsai FBI, berhasil menjaring
sembilan nama diantaranya Jeffrey Webb, yang menjabat posisi wakil presiden
FIFA dan ketua Federasi Concacaf yang mencakup Amerika Utara dan Tengah. Para
pejabat FIFA itu dituduh melakukan pemerasan, penipuan dan pencucian uang yang
melibatan puluhan juta dolar. Tuduhan yang dilontarkan diantaranya termasuk
menerima suap untuk memberikan hak media dan pemasaran untuk turnamen
sepakbola, menerima suap untuk mempengaruhi keputusan lokasi turnamen. Termasuk
Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan dan Copa America 2016 di AS.
Ada baiknya kita menengok kembali
penyelengaraan Piala Dunia 2014 di Brasil yang semakin membuktikan bahwa sepak
bola memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perekonomian. Sepak bola bisa
menggoyang sekaligus menggairahkan perekonomian global dan lokal. Begitu pesta
Piala Dunia dunia bergulir, maka efeknya langsung merembet ke perdagangan saham
global. Olahraga bisa menggairahkan perekonomian dunia dan lokal. Belanja iklan
dan promosi produk mengalir deras. Tak terkecuali di Indonesia. Pesta olahraga
membuat denyut ekonomi semakin berdenyut hal itu terlihat dengan volume
penjualan televisi dan perangkat pendukungnya yang meningkat pesat serta
semakin banyaknya usaha nonton bareng dengan LCD layar lebar. Usaha kafe dan
restoran semakin kebanjiran pengunjung yang akan nonton bareng sambil menikmati
menu makanan dan sajian musik serta hiburan lainnya. Selain itu usaha kerajian
rakyat terkait dengan olahraga dan souvenir juga mengalami kenaikan oplah.
Seperti kaos berlogo peserta olahraga dan pesertanya, slayer, gelas, piring dan
barang merchandise lainnya.
Tidak bisa dimungkiri bahwa pembangunan
infrastruktur olahraga khususnya stadion sepak bola bisa menjadi faktor
pendorong ekonomi dan kemajuan bangsa. Sayangnya, pembangunan infrastruktur
olahraga di negeri ini justru telah menjadi ajang korupsi. Sisi lain yang
menyedihkan terkait dengan infrastruktur olahraga adalah mengenai utilitas dan
biaya operasional stadion yang mengalami salah urus. Banyak Infrastruktur
olahraga yang pada awalnya terlihat megah akhirnya menjadi sepi karena
manajemen kompetisi cabang olah raga yang kurang baik. Dalam rangka reformasi
total sepak bola Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi membentuk
tim transisi sepakbola Indonesia. Tim itu menggantikan fungsi pengurus PSSI
yang dibekukan. Sebelum PSSI yang baru terlahir, tim ini bertugas sementara
sebagai otoritas tertinggi sepak bola Indonesia. Masyarakat berharap agar PSSI
terlahir kembali dengan postur yang lebih bersih dan memiliki integritas serta
haus prestasi. Tim transisi memiliki anggota dengan ragam profesi yang
eksistensinya sangat dibutuhkan oleh sepak bola nasional. Sosok seperti Bibit
Samad Rianto yang pernah menjadi komisioner KPK sangat tepat untuk membangun
integritas di domain sepak bola nasional. Selain itu perlunya sosok yang tegas,
disiplin dan penuh nilai kejuangan untuk memperbaiki mentalitas pemain dan
pengurus sepak bola. Kriteria tersebut melekat pada Letnan Jenderal Lodewijk
Freidrich Paulus yang telah ditunjuk langsung oleh Panglima TNI untuk menjadi
salah satu tim transisi. Letjen Paulus adalah mantan Danjen Kopassus dan
Pangdam I/Bukit Barisan, yang kini menjadi Dankodiklat (Komandan Pusat
Pendidikan dan Latihan) TNI AD.
Tim Transisi diharapkan bisa membidani
kelahiran PSSI yang baru dengan kondisi sehat dan selamat. Untuk melahirkan
PSSI yang baru diharapkan tim transisi bersinergi dengan pemain lintas generasi
dan para tokoh sepak bola yang saat ini memiliki reputasi dan berkiprah di
tingkat global. Salah satunya adalah Erick Thohir yang beberapa waktu lalu
mengakuisisi 70 % saham Inter Milan, klub papan atas Seri A Italia. Kini Erick
telah memiliki mayoritas kepemilikan Nerazzurri setelah menggelontorkan dana
sekitar Rp 5,2 triliun.
Masyarakat berharap PSSI yang baru bebas
konflik dan kepentingan kelompok. Juga diharapkan bebas dan bersih dari aksi
mafia sepak bola yang selama ini penyebab kekisruhan sehingga prestasi sepak
bola nasional terus terpuruk. PSSI baru sebaiknya fokus untuk merumuskan tata
kelola sepak bola nasional yang lebih baik serta menata ulang sistem kompetisi
Liga Indonesia yang lebih fair dan adil. Perlu kerjasama dengan penyelenggara
liga sepak bola di Eropa yang selama ini telah sukses menyelenggarakan turnamen
dan sukses mengembangkan profesi dan prestasi. Para pemain atau atlet sepak
bola nasional lintas generasi diharapkan turut membidani kelahiran PSSI baru
bersama tim transisi. Langkah Kemenpora yang membekukan PSSI dan keputusan PSSI
versi La Nyalla Mattaliti yang secara sepihak menghentikan kompetisi Liga Indonesia
lalu mempengaruhi FIFA agar menjatuhkan sangsi kepada Indonesia merupakan
langkah kontra produktif yang sekaligus mendatangkan hikmah besar. Yakni hikmah
untuk segera menghilangkan penyakit struktural di tubuh PSSI.
Kemenpora sebaiknya segera memberikan peran
yang luas kepada para pemain sepak bola lintas generasi untuk terlibat langsung
membidani PSSI baru lewat Munaslub dan memilih kepengurusan baru serta
menyehatkan dan memperbaiki budaya organisasi. Saatnya membentuk lembaga
independen untuk mengawasi kinerja dan budaya organisasi PSSI yang baru. Sejak
berdiri pada 19 April 1930 sebenarnya PSSI telah memiliki budaya organisasi
yang cukup kokoh. Budaya organisasi itu dalam arti sejumlah pemahaman bersama
untuk mendapatkan momentum dengan landasan norma, nilai, sikap dan keyakinan
yang dimiliki bersama oleh segenap anggota organisasi. Namun dalam dua dasa
warsa terakhir ini budaya organisasi PSSI telah terkoyak-koyak karena telah
digerogoti oleh konflik dan penyakit struktural. Eksistensi PSSI baru juga
harus mampu menjadikan sepak bola sebagai entitas industri yang tangguh dengan
nilai tambah ekonomi yang lebih signifikan dan menetes ke bawah. Banyak warga
negara Indonesia yang sebenarnya mampu mewujudkan PSSI baru yang lebih
berprestasi dan ekonomi sepak bola menjadi lebih bergairah.
Terpuruknya prestasi sepak bola nasional
dan beberapa cabor olahraga lainnya merupakan indikasi bahwa etos kerja dan
kualitas SDM bangsa ini juga belum baik. Idealnya olahraga juga berfungsi untuk
merevolusi mental bangsa yang bisa membuahkan daya saing dan budaya unggul.
Untuk itulah perlunya langkah debirokratisasi olahraga di Indonesia agar tidak
mengalami kelangkaan prestasi terus menerus. Debirokratisasi pada prinsipnya
membebaskan atlet cabang olahraga dari belitan birokrasi dan intrik politik
praktis dan selanjutnya mengembangkan profesionalitas atlet dan pengurus cabang
olahraga sesuai dengan tren global. Betapa pentingnya figur dan reputasi
seorang Ketua Umum PSSI yang baru.
Sangat relevan pendapat pakar manajemen modern
Peter Drucker yang mendefinisikan bahwa sebuah organisasi pada saat ini lebih
membutuhkan leader ketimbang manager. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa Leaders
finds the right things to. Sedangkan manager adalah mereka yang try to do
things right. Korelasinya terhadap PSSI selama ini lebih banyak memiliki
pengurus yang bertipe manager tetapi tidak memiliki leader yang mampu
memusatkan perhatian pada aspek efektivitas. Utamanya efektivitas kompetisi dan
pembinaan. Jelaslah sudah, yang lebih dibutuhkan oleh PSSI baru adalah leader
atau pemimpin yang memiliki visi yang kuat dan tangguh. Pemimpin yang bebas
konflik yang pernah terjadi, pemimpin yang tidak menjadi kaki tangan parpol
atau ormas. Ketepurukan prestasi olahraga nasional tidak boleh berlarut larut.
Pemerintah dalam hal ini Kemenpora harus berani menyehatkan dan merampingkan
birokrasi olahraga yang spektrumnya membentang dari KONI Pusat hingga daerah.
*) Dosen STIA Bagasasi Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar