"Greget LSI 2015 dan Kapasitas Menpora"
Tribun Jabar, 4 April 2015Oleh : Harjoko Sangganagara *)
Penyelenggaraan Liga Super Indonesia (LSI) 2015 dalam kondisi kurang greget alias kurang darah. Kondisinya kian menyedihkan terkait dengan rekomendasi Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) yang hanya memberi penilaian layak terhadap 16 klub. Dari hasil verifikasi yang dilakukan oleh BOPI sebagian klub masih sarat dengan masalah. Bahkan dua klub kenamaan, yakni Arema Cronus dan Persebaya Surabaya tidak direkomedasikan mengikuti kompetisi. Saat ini juga ada klub yang pengurusnya terjerat oleh kasus korupsi dan harus berurusan dengan otoritas hukum. Selain itu ada beberapa klub yang rentan dengan masalah pembiayaan kompetisi sehingga bisa macet ditengah kompetisi yang berakibat terancamnya hak-hak atlet. Yang paling krusial terkait ancaman diatas adalah tidak terbayarnya gaji dan bonus atlet secara tepat waktu.
Tak pelak lagi, ada beberapa klub yang kesulitan keuangan dan manajemen yang rapuh tetapi memaksakan diri untuk mengikuti LSI 2015. Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi diharapkan bersikap tegas terhadap ketentuan profesionalitas klub peserta LSI. Sehingga tidak terjadi lagi hal-hal yang bisa merugikan atlet. Saatnya manajemen klub diawasi secara ketat dengan melibatkan KPK sehingga tidak terjadi kasus-kasus korupsi dan penyelewengan uang rakyat.
Kini Menpora memikul beban yang sangat berat terkait dengan masalah kompleks kepemudaan dan prestasi olahraga nasional yang hingga kini tidak kunjung membaik. Menpora Nahrawi harus bisa membuktikan bahwa kementerian yang dipimpinnya memiliki strategi dan terobosan terkait dengan pembinaan dan peningkatan prestasi seluruh cabang olahraga.
Program Kemenpora sebaiknya terfokus kepada dua aspek strategis yakni peningkatan prestasi berbagai cabang olahraga dan mengembangkan industri peralatan olahraga. Selama ini peralatan olahraga di negeri ini rasionya belum memadai. Banyak cabang olahraga yang tidak mampu mengatrol prestasi karena terkendala oleh peralatan olahraga. Ironisnya pengadaan peralatan olahraga selama ini justru sarat penyelewengan. Seperti kasus peralatan olahraga untuk latihan dan pertandingan Asian Games Incheon.
Dimasa mendatang kasus semacam ini tidak boleh terulang lagi. Menpora harus ikut bertanggung jawab karena yang melaksanakan lelang dan memutuskan pemenangnya adalah Kementerian Pemuda dan Olahraga. Kasus penyelewengan peralatan olahraga tersebut sangat menggangu berbagai cabang olahraga yang membutuhkan peralatan baru jauh hari sebelum event dimulai.
Menpora Nahrawi sebaiknya napak tilas sejarah Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama pada 1948 dan peristiwa yang sangat membanggakan yakni pada peristiwa Asian Games 1962 yang diselengarakan di Jakarta. Selain sukses sebagai tuan rumah dan sukses membangun infrastruktur olahraga, pada saat itu juga sukses dalam hal prestasi. Indonesia berhasil menduduki peringkat kedua setelah Jepang dalam mengumpulkan medali.
Olahraga bukan semata untuk menciptakan pola hidup sehat dan mencapai prestasi. Sejarah menunjukkan bahwa olahraga adalah media perjuangan dan sarana pemersatu bangsa. Hal itu terbukti dengan penyelenggaraan PON pertama yang digelar di Stadion Sriwedari Solo. Kini olahraga telah mengalami transformasi menjadi industri yang sangat signifikan bagi reputasi dan perekonomian suatu bangsa.
Publik berharap Menpora memiliki langkah progresif dan mampu mentransformasikan entitas olahraga di negeri ini menjadi industri yang tangguh. Tren global menunjukkan bahwa industri olahraga semakin berpotensi untuk menambah devisa negara. Sayangnya, pengembangan industri olahraga nasional kini sedang stagnan. Belum ada terobosan kebijakan dan inisiatif model bisnis luar biasa terkait dengan industri olahraga di negeri ini.
Sudah ada landasan yuridis terkait dengan pengembangan industri olahraga, yakni Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN). Namun, undang-undang tersebut kurang diimplementasikan secara baik dan masih miskin inisiatif dan sepi inovasi. Dalam UU SKN dijelaskan bahwa industri olahraga adalah kegiatan bisnis bidang olahraga dalam bentuk produk barang dan atau jasa.
Industri olahraga dapat berbentuk prasarana dan sarana yang diproduksi, diperjual belikan, dan atau disewakan untuk masyarakat. Industri olahraga juga dapat berbentuk jasa penjualan kegiatan cabang olahraga sebagai produk utama yang dikemas secara profesional yang meliputi; kejuaraan nasional dan internasional, pekan olahraga daerah, wilayah, nasional, dan internasional, promosi, eksibisi, dan festival olahraga; atau keagenan, layanan informasi, dan konsultasi keolahragaan.
Tak bisa dimungkiri lagi bahwa industri olahraga selain bisa memberikan nilai tambah berarti juga telah memperluas lapangan kerja dan menambah ragam profesi. Sehingga portofolio ketenagakerjaan di suatu negara spektrumnya semakin luas. Sebagai gambaran di Korea Selatan, profesi yang terkait olahraga semakin menjanjikan. Bahkan Institut Sport Science Korea sangat serius dan fokus untuk mengembangkan job description terkait dengan industri keolahragaan.
Tiongkok juga merupakan negara yang sangat progresif dalam mengembangkan industri olahraga. Industri olahraga di Tiongkok mulai dikembangkan secara sistemik sejak 1978. Dan terus digenjot setelah negara itu menjadi tuan rumah Olimpiade 2002. Tiongkok membagi industri olahraganya kedalam dua sektor, yakni sport service industry atau layanan industri olahraga. Dan sport good industry atau peralatan industri olahraga. Sejak 2005 industri olahraga di Tiongkok setiap tahunnya menghasilkan devisa rata-rata 30 miliar dolar. Sedangkan perputaran ekonomi dari sektor industri olahraga di Amerika Serikat mencapai 154 miliar dollar setiap tahunnya.
Keberhasilan Tiongkok dalam melakukan ekspor peralatan olahraga ke Amerika dan Eropa juga patut dicontoh. Nilai ekspor tersebut tumbuh hinggga dua digit selama lima tahun terakhir. Selain itu industri peralatan olahraga Tiongkok mampu melakukan strategi diferensiasi untuk bersaing dengan industri yang sudah memiliki nama besar. Kluster industri peralatan olahraga Tiongkok sekitar 70 % berasal dari provinsi Guangdong, Zhejiang dan Jiangsu.
Menteri Olahraga Tiongkok memiliki program nasional yang sangat ambisius yang bertujuan agar desain dan produk peralatan olahraga buatan negaranya sesuai dengan standar Olimpiade. Perguruan tinggi bersama dunia industri di Tiongkok pada saat ini sedang melakukan riset besar-besaran tentang desain produk peralatan olahraga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar