Daily Investor | 16 Agustus 2014
Tema Peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-69, tanggal 17
Agustus 2014 adalah tentang suksesi kepemimpinan nasional hasil Pemilu
2014. Tema tersebut menyambut Presiden terpilih Joko Widodo yang akan
mengendalikan pemerintahan lima tahun kedepan. Tak kurang dari Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono juga akan menyampaikan pidato kenegaraan yang
terakhir dengan konten yang istimewa.
Terkait dengan suksesi
kepemimpinan nasional yang diharapkan bisa mulus dan bisa langsung
tangkas melanjutkan program-program pembangunan yang telah dilakukan
selama pemerintahannya.
Tak bisa dimungkiri, bahwa suksesi kepemimpinan nasional
selalu diwarnai oleh masalah klasik, yakni terjadinya kasak-kusuk
pemilihan kabinet dan masalah berat membenahi kondisi birokrasi pusat
dan daerah. Mestinya semua pihak memberi apresiasi kepada presiden
terpilih dalam menyusun kabinetnya. Apalagi. pada saat ini jabatan
menteri bisa dianalogikan dengan kursi panas. Karena seribu satu masalah
langsung menghadang begitu sang menteri dilantik.
Pemerintahan Jokowi-JK membutuhkan sosok menteri yang
memiliki karakter blink factor dalam mengelola portofolionya. Tidak
peduli sosok menteri itu berlatar belakang partai politik, kalangan
professional, akademisi, bahkan dari kalangan jurnalis sekalipun.
Semuanya dituntut memiliki karakter diatas. Blink factor menggambarkan
sosok yang pandai mengambil keputusan yang tepat dan cepat. Publik
berharap agar Presiden terpilih Joko Widodo membentuk kabinet kerja.
Yakni kerja detail untuk rakyat dan tidak menduakan tugasnya dengan
urusan partai politik atau organisasi lainnya.
Banyaknya persoalan krusial yang menyangkut portofolionya
hanya bisa diselesaikan oleh sosok menteri yang memiliki power of
glance, yakni kemampuan melihat dan memahami secara detail medan
penugasannya. Serta mampu membuat keputusan sekejap atau snap judgment
dan pemahaman yang cepat atau rapid cognition terhadap persoalan bangsa
yang aktual dan mendesak dalam situasi yang serba sulit dan sumber daya
yang sangat terbatas. Jika semua sosok menteri yang membantu
Pemerintahan Jokowi-JK memiliki kemampuan diatas, maka bisa disebut
Kabinet Power of Glance.
Gaya kepemimpinan Presiden terpilih Joko Widodo yang
merakyat dan menekankan aspek gerak cepat membutuhkan menteri dan postur
birokrasi dibawahnya yang andal dan suka melayani. Sayangnya, kondisi
postur birokrasi saat ini tampak kedodoran menghadapi gaya kepemimpinan
diatas. Pentingnya treatmen revolusi mental bagi birokrasi yang
didahului dengan cara menerapkan reward dan punishment secara tegas dan
ketat. Birokrasi yang notabene adalah Pegawai Negeri Sipil ( PNS ) itu
juga harus dihadapkan sangsi yang keras dan tanpa pandang bulu jika
kinerjanya buruk. Dengan demikian tindakan mutasi hingga sanksi
pemecatan atau pemutusan hubungan kerja (PHK) sangat dimungkinkan bagi
birokrasi.
Moralitas dan kejiwaan para birokrasi pusat dan daerah harus segera
dibenahi. Searah dengan tren global bahwa korporasi dan birokrasi harus
memiliki tingkatan eupsychian management. Istilah eupsychian berasal
dari akar kata “eu” yang berarti baik dan “psyche” yang berarti jiwa.
Eupsychian management menjadikan pemerintahan dan korporasi bisa survive
ditengah krisis dan semakin kompetitif dalam persaingan global.
Dari sudut etos kerja dan situasi bangsa Indonesia yang
masih terpuruk dalam berbagai bidang sekarang ini, mestinya birokrasi
lebih bekerja keras dengan waktu kerja yang ketat.
Pemerintah
Jokowi-JK jangan lagi memanjakan birokrasi dengan seringnya memberi hari
libur. Seharusnya pemerintah mengoptimalkan beban kerja PNS serta
memperpanjang jam kerja dengan merevisi Keppres No 68 Tahun 1995. Jam
kerja PNS yang cuma 37,5 jam per minggu adalah paling rendah di Asia
Tenggara. Apalagi, dengan pengawasan yang amat buruk jelas tidak mungkin
bisa menyelenggarakan roda pemerintahan secara efektif. Idealnya jam
kerja PNS di Indonesia minimal 45 jam per minggu dengan deskripsi beban
kerja yang lebih jelas dan terukur.
Kajian domain psikologi menyatakan bahwa birokrat di Indonesia
kebanyakan tidak bisa mencintai pekerjaanya setulus hati alias memiliki
integritas yang rendah. Mereka sehari-harinya terkena sindrom "5-ng"
yakni ngeluh, ngedumel, ngegosip, ngomel, dan ngeyel. Masih relevan
tesis dari M.A.W Brouwer penulis buku “Indonesia Negara Pegawai”. Yang
intinya menyatakan bahwa masih banyak PNS pemalas, tidak inovatif, gila
hormat, konsumtif, sering melakukan pungli, dan suka korupsi. Tesis
Brouwer diperkuat oleh Fernando De Soto seperti dalam bukunya “The
Mystery of The Capital” yang secara gamblang menyingkap mental
birokrasi dunia ketiga yang pemalas, pemeras, dan suka korupsi. Hal itu
menjadi kendala utama pembangunan di dunia ketiga.
Para birokrat atau PNS sebaiknya menyadari bahwa esensi kepemimpinan
Jokowi-JK pada hakekatnya adalah new deal atau tawaran baru yang lebih
konkrit, realistis dan egaliter kepada rakyat. New deal itu bukanlah
slogan atau janji politik biasa. Tetapi merupakan revolusi mental dengan
mengedepankan langkah terobosan yang cerdas dan progresif guna
mengatasi krisis. Dan secara terus menerus dikomunikasikan dengan
segenap rakyat. Sistem komunikasi tersebut akan dilengkapi dengan
perangkat e-Blus atau sistem informasi blusukan berbasis internet yang
akan dikelola oleh kantor kepresidenan.
Begitu menduduki kursi kepresidenan RI, Joko Widodo akan
langsung menghadapi dampak turbulensi perekonomian global yang masih
terasa dampaknya hingga saat ini. Turbulensi tersebut telah
memorakporandakan teori-teori di bidang ekonomi keuangan. Ada buku
menarik berjudul “Stabilizing the unstable economy” karya Herman P
Minsky yang bisa dijadikan referensi untuk menghadapi turbulensi
perekonomian. Selama ini para akademisi dan praktisi ekonomi mengenal
istilah Minsky Moment untuk menggambarkan ekonomi yang berada dalam
kondisi turbulensi. Kini istilah tersebut menjadi relevan kembali
setelah sekian lama tertimbun oleh keangkuhan neoliberalisme.
Selama ini pasar telah berjalan di jalur bebas hambatan. Hampir semua
rejim pemerintahan di muka bumi ini menciptakan kondisi yang
memungkinkan pasar bekerja dengan sempurna, termasuk di antaranya
membuat undang-undang yang memuluskan pergerakan barang, jasa, dan
keuangan, pembentukan lembaga-lembaga pendukung, serta mencegah segala
rupa gangguan yang datang dari individu atau kelompok terhadap
bekerjanya mekanisme pasar tersebut. Intinya, dalam rejim neoliberal,
peran negara adalah tut wuri handayani alias mendorong dari belakang.
Setelah sekian lama, apa yang terjadi ? ternyata daya dan upaya diatas
justru mengakibatkan turbulensi yang tiada henti.
Dengan kondisi diatas,
ada pemikiran yang merekomendasikan inversi atau membalik situasi yang
menyebabkan turbulensi tersebut. Yakni memberlakukan kebijakan dimana
sebaiknya pasar tidak lagi dilepas sebebas-bebasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar