Kontan Harian Bisnis dan Investasi | Selasa 19 Agustus
2014
Oleh : Harjoko Sangganagara *)
Hari raya keagamaan merupakan peluang emas
bagi industri atau pengrajin batik dan produk turunannya. Selama bulan Ramadan
hingga Hari Raya Idul Fitri permintaan produk batik meningkat pesat. Sayangnya,
momentum ini terancam dan tergerus oleh serbuan batik impor yang jauh hari
sudah menduduki pasar domestik. Pentingnya insentif bagi pengrajin batik,
terutama batik tulis di sentra kerajinan batik yang ada di negeri ini. Agar
entitas tersebut bisa meningkatkan produknya untuk menambah stok guna
menghadapi lebaran 2014. Apalagi pada saat itu banyak wisatawan nusantara yang
berkunjung ke sentra kerajinan batik tulis. Para perajin saat memasuki bulan
puasa sudah mulai meningkatkan produksinya untuk kepentingan stok menghadapi
kunjungan wisatawan lebaran tahun ini. Namun begitu, volumenya kurang memadai
bila dibandingkan dengan volume batik impor. Kondisinya semakin memprihatinkan
karena volume produk batik selundupan dari luar negeri juga cukup signifikan.
Data yang dilansir
Badan Pusat Statisik (BPS ) menyebutkan bahwa setiap tahunnya impor batik cap
mencapai 677,4 ton senilai 23,3 juta dolar AS. Dan kain tenun yang dicetak
dengan proses batik berjumlah 199,2 ton, senilai 1,8 juta dolar AS. Volume
impor yang cukup besar itu juga disertai dengan harga yang lebih murah
dibanding batik lokal. Kondisi tersebut jelas menggerus keuntungan usaha dan
mengancam usaha batik lokal. Pemerintah hendaknya jangan terlena dan menghibur
diri dengan asumsi bahwa batik Tiongkok bukanlah batik, melainkan kain bermotif
batik. Asumsi itu bisa berakibat fatal. Pasalnya selain harganya murah, batik
Tiongkok juga memiliki bermacam motif yang menarik dan desainnya terus
berkembang. Tak pelak lagi, batik Tiongkok telah menguasai sekitar 30 % pangsa
pasar domestik. Dan diprediksi akan terus meningkat dari waktu ke waktu.
Ironisnya, pemerintah belum melakukan langkah yang berarti menghadapi kondisi
diatas.
Pentingnya pragmatisasi sistem usaha dan
produksi batik lokal lewat berbagai inovasi dan perbaikan proses kreatif.
Bangsa Indonesia kurang bisa mempertahankan momentum tahun keemasan produk
batik Indonesia pada 2009. Saat United Nations Educational, Scientific, and
Cultural Organization atau UNESCO mendeklarasikan Batik Indonesia sebagai
warisan budaya dunia. Momentum tersebut juga kurang berhasil dimanfaatkan untuk
meningkatkan harkat hidup para pengrajin dan buruh batik tradisional. Mestinya,
selain menjadi warisan budaya yang termashur batik juga harus bisa menjadi
leverage ekonomi kerakyatan. Apalagi banyak daerah yang mulai mengembangkan
industri batik dengan motif khas daerahnya. Dari aspek budaya, hukum, ilmu
pengetahuan dan teknologi batik adalah asli Indonesia . Teknologi pembuatan batik
di Indonesia pada prinsipnya berdasarkan resist dyes technique atau teknik
celup rintang. Untuk membuat motif batik umumnya dilakukan dengan cara tulis
tangan dengan canting tulis (batik tulis atau batik painting), menggunakan cap
dari tembaga disebut (batik cap), dengan jalan dibuat motif pada mesin printing
(batik printing), dengan cara dibordir disebut batik bordir, serta dibuat
dengan kombinasi.
Dimasa mendatang
perlunya eksplorasi motif-motif unik untuk meningkatkan daya saing global.
Motif unik itu bisa mengambil bentuk-bentuk bangunan bersejarah, flora, fauna
dan keindahan alam di Indonesia . Pemerintah dan pengusaha batik seringkali
kurang menghargai para pembatiknya. Status pembatik belum dikategorikan sebagai
profesi formal ataupun seniman. Mereka adalah pekerja informal yang mudah
dicampakkan karena tidak tersentuh peraturan ketenagakerjaan. Masih banyak
diantara mereka yang upahnya masih dibawah UMR. Upah atau imbalan buruh
industri batik masih dibawah buruh industri TPT. Timpangnya besaran upah karena
sistem kerja dan sistem pengupahan yang berdasarkan borongan. Selama ini
jaringan bisnis perajin batik merupakan jaringan tradisional yang sangat
rentan. Jaringan itu mulai pengadaan bahan baku hingga pemasaran. Sampai saat
ini masih jarang lembaga sejenis koperasi yang dapat membantu perajin batik
mengatasi masalah penyediaan bahan baku dan bahan pendukung serta mekanisme
pemasaran.
Pemerintah pusat dan daerah mestinya
memberikan insentif berupa bantuan konkrit kepada industri batik tradisional.
Bantuan itu antara lain memberikan pelatihan yang berkaitan desain produk.
Memberikan perlindungan hak paten pada motif batik khas daerah. Membantu
penerapan standardisasi mutu produk melalui pelatihan Standar Nasional
Indonesia (SNI). Pemerintah juga harus ikut berperan memperluas pemasaran yaitu
melalui terobosan pasar dan pameran lokal dan internasional. Industri batik
tradisional merupakan usaha home industry yang mengandung nilai ketahanan
budaya yang strategis dilihat dari sudut integrasi antar etnis. Masalah serius
yang menghadang industri batik tradisional antara lain adalah yang menyangkut
desain produk yang monoton alias kurang kreatif. Demikian juga dalam penggunaan
bahan baku dan pewarna belum banyak variasi. Kurangnya kreativitas yang stagnasi
produk disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor usia pengusaha yang
relatif sudah tua, faktor minimnya pengetahuan tentang disain, dan takut rugi
bila membuat produk kreasi baru.
Pemerintah harus
mampu mendorong dan menyegarkan motif dan selera estetik para pengrajin batik
tradisional. Juga Memperkenalkan tenik pengerjaan yang lebih efisien dan
efektif serta penggunaan alat bantu produksi yang mampu meminimalisir cacat
produksi. Pentingnya meningkatkan diversifikasi produk batik dalam berbagai fungsi
sehingga tidak monoton sambil mempertimbangkan kebutuhan pasar. Salah satu cara
yang dapat ditempuh adalah bekerja sama dengan pengrajin bordir, pengrajin tas
dompet kulit, pengrajin kayu, dan lain-lain. Untuk memanfaatkan sisa kain
sebagai bahan pendukung pembuatan souvenir yang memiliki ciri khas daerah
maupun membatik dengan medium non kain.
*) Budayawan, Dosen
STIA Bagasasi Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar