Kamis, 28 Maret 2013

Belajar "Hidden Champions" dari Jerman


Dimuat di Daily Investor|  6   Maret 2013
Oleh : Harjoko Sangganagara *)

Kunjungan kerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Republik Federal Jerman diharapkan bisa segera menghasilkan manfaat konkrit bagi rakyat. Agenda kunjungan ke Jerman itu jangan hanya berwacana ria dengan para CEO perusahaan besar disana. Ada aspek penting yang tidak boleh diabaikan terkait dengan kemajuan dan kemakmuran bangsa Jerman. Aspek penting itu adalah tentang perekonomian Jerman yang pertumbuhannya justru ditopang oleh Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Mestinya, Presiden SBY menjadikan UMKM sebagai agenda utama kunjungan tersebut serta mengajak pelaku UMKM negeri ini ikut dalam rombongannya. Dengan demikian rombongan Presiden RI itu tidak didominasi oleh kalangan konglomerat dan pejabat pemerintahan.

Kontribusi luar biasa dari UMKM Jerman terhadap ekonomi negaranya telah dikaji oleh Profesor Hermann Simon. Dia adalah pemikir manajemen yang sangat berpengaruh setelah Peter Drucker. Pernah menjabat kepala European Marketing Academy (EMAC). Selain itu dia juga menjadi dosen tamu di berbagai universitas terkemuka seperti Harvard Business School, London Business School, Universitas Keio di Tokyo dan Massachusetts Institutes of Technology. Prof Hermann menyebut UMKM di Jerman sebagai hidden champions atau juara tersembunyi yang mampu mendongkrak perekonomi suatu bangsa secara signifikan. 

Hidden champions adalah jawaban mengapa Jerman selama bertahun-tahun mampu menjadi negara pengekspor terbesar di dunia. Ternyata eksportir Jerman tidak hanya oleh perusahaan besar seperti Volkswagen atau Siemens. Tetapi juga dilakukan oleh ribuan UMKM. Patut dicatat, setengah dari UMKM yang unggul di dunia adalah berasal dari Jerman. Data demografi menunjukkan bahwa ada 20 UMKM per-seribu penduduk di Jerman. Itulah mengapa Jerman memiliki tingkat pengangguran pemuda yang rendah dibawah rata-rata negara maju di dunia yang mencapai sekitar 8 %. Apalagi kondisi Eropa masih dalam bayangan krisis. Sehingga di Spanyol dan Yunani yang terkini, satu dari tiga orang pemuda di bawah usia 25 adalah pengangguran. 

Data menunjukkan bahwa UMKM menyumbang 40 % dari total jumlah penerimaan negara Jerman. Juga berkontribusi 71 % lapangan kerja dan 83 % lapangan pendidikan di Jerman. Selama ini UMKM telah menawarkan beragam jenis lapangan kerja yang sesuai dengan kemampuan dan talenta seseorang. Oleh sebab itu pemerintah Jerman dari waktu ke waktu menempuh kebijakan pasar kerja yang memperkuat posisi UMKM.
Satu dekade terakhir ini entitas UMKM Jerman sangat agresif dalam merebut peluang globalisasi.Menurut survei KfW, 67 % produk UMKM diekspor ke pasar internasional. Selain itu para UMKM Jerman juga gigih menghilangkan biaya perantara dengan mengimpor barang dan bahan baku secara langsung.

Keuletan dan daya inovasi UMKM di Jerman membuat negeri itu sangat kompetitif. Terbukti Jerman tetap konsisten menduduki 10 besar dalam Indeks Daya Saing Global. Hal itu terbukti dengan arus masuk investasi asing langsung meningkat 45 % pada 2012. Menurut Klaus Abberger, ekonom senior di Institut Ifo untuk Riset Ekonomi di Munich Kekuatan ekonomi Jerman kini terletak di UMKM sektor manufaktur. Ada banyak cluster di bidang manufaktur dengan produk berkualitas tinggi dan jaringan internasional.

Ada tren bagi UMKM Jerman yang semakin getol mencari mitra di Indonesia. Tren tersebut difasilitasi oleh Badan Kerjasama Internasional Jerman (GIZ). Salah satu contoh bentuk kemitraan adalah dengan pemerintah daerah provinsi Jawa Tengah dalam mengembangkan ekonomi lokal. Salah satu agenda konkrit adalah pendirian klaster industri rotan di Gatak, Sukoharjo yang digagas bersama antara GIZ, Bank Indonesia dan Pemprov Jateng.
Pengembangan UMKM di Jerman pada awalnya terfokus pada pelatihan praktis bagi pemuda dan adanya skema pembiayaan yang dilakukan oleh Bank Rekonstruksi Jerman (KfW). Bank pemerintah ini memiliki suatu cabang yang memfokuskan diri sepenuhnya pada pendanaan UMKM.

Ditinjau dari aspek ketenagakerjaan UMKM di Jerman menyerap sekitar 79 % dari total angkatan kerja. Jerman memiliki model ketenagakerjaan yang cukup ideal sehingga menjadi contoh banyak negara. Model pelatihan untuk menyiapkan tenaga kerja ahli untuk memperkuat model bisnis UMKM terus dipacu. 

Kemampuan UMKM Jerman untuk memperluas lapangan kerja menyebabkan negeri itu membutuhkan sekitar 200.000 tenaga kerja berkualifikasi dari luar negeri setiap tahunnya. Menteri Tenaga Kerja Jerman Ursula von der Leyen sempat mengeluh bahwa posisi lowongan diatas ternyata membutuhkan waktu yang cukup lama hingga terisi. Sehingga bisa mengganggu produktifitas. Menurut data statistik, untuk sebuah lowongan diperlukan 72 hari. Bidang pekerjaan yang paling dicari adalah ahli teknik, dokter dan perawat orang-orang lanjut usia.

Kebijakan untuk mengundang pekerja asing ke Jerman ditempuh dengan cara pengakuan ijazah asing di bidang pekerjaan tertentu. Juga dengan adanya undang-undang yang memberikan insentif kepada tenaga kerja asing berkualifikasi dari negara-negara non Uni Eropa dalam bentuk kebijakan Blue Card yang mempermudah ijin tinggal dan sebagainya. Kebijakan diatas merupakan jawaban terhadap masalah demografi dan ketenagakerjaan. Yang mana ada ancaman menurunnya jumlah penduduk sampai tahun 2030 menjadi sekitar 77 juta. Dan sampai tahun 2060 menjadi 65 juta, sehingga dapat membahayakan pertumbuhan ekonomi dan memperumit pembiayaan jaminan sosial. Jika program ketenagakerjaan di Jerman bermasalah, maka negeri ini pada tahun 2030 diprediksi akan kekurangan 6 juta tenaga kerja. Hal itu akan mengancam pertumbuhan ekonomi dan dinamika inovasi dimasa mendatang.
*) Dosen STIA Bagasasi Bandung, Doktor Administrasi Pendidikan UPI Bandung

Tidak ada komentar: