Pengalihan pajak dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah merupakan desentralisasi fiskal. Sayangnya, hal diatas sangat rentan terhadap kebocoran pajak dan modus korupsi. Hingga awal 2013 sudah ada 105 Kabupaten/Kota yang sudah mengambil alih pajaknya dan tidak lagi menyetorkan ke pemerintah pusat dengan nilai realisasi sebesar Rp 4,5 triliun. Sedangkan yang belum melakukan pengalihan pajak tercatat sebanyak 369 kabupaten/kota.
Implikasi dari pengalihan adalah
pendapatan pemerintah pusat berkurang hingga Rp 8 triliun per tahun dari sektor
Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Sekedar catatan,
PBB-P2 yang dialihkan ke pemda adalah pajak perkotaan dan pedesaan, sedangkan
untuk pajak perkebunan, perhutanan dan pertambangan masih dipegang Ditjen
Pajak.
Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (UU PDRD) mestinya bisa mewujudkan integritas pajak daerah. Nyatanya
peraturan tersebut justru menimbulkan dilematika. Kecenderungan pemerintah
daerah yang mematok batas pemungutan pajak dan retribusi dengan jumlah maksimal
telah mengganggu iklim berinvestasi. Selain itu rakyat juga akan semakin terbebani karena PDRD bisa
menimbulkan pungutan ganda atas barang yang sama atau sejenis.
Pemerintah hendaknya
jangan menutup mata sehubungan dengan banyaknya pertanyaan terhadap manfaat
langsung membayar pajak daerah. Bahkan, rakyat sering menggugat adanya
jenis pajak yang tidak relevan antara nama, makna dan fungsinya. Sebagai
contohnya Pajak Penerangan Jalan Umum ( PPJU ) yang setiap bulannya dipungut
langsung dari rekening listrik setiap bulannya. Ironisnya, pembayar Pajak PJU
banyak yang tidak menikmati penerangan jalan. Jalan-jalan di daerahnya tetap saja gelap gulita sepanjang malam. Inilah salah satu contoh paradoks pajak di daerah yang mengusik
rasa keadilan. Banyak kabupaten dan kota yang pendapatan Asli Daerah (PAD) mengandalkan
PPJU. Penerimaan PPJU cukup besar hingga mencapai puluhan milyar rupiah
dilain pihak begitu kecilnya alokasi dana untuk memasang infrastruktur
penerangan jalan umum sehingga banyak jalan dan fasilitas publik yang gelap
gulita.
Pada prinsipnya UU
PDRD mempunyai tiga tujuan pokok, yakni; pertama, memberikan kewenangan yang
lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin
besarnya tanggung jawab daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan kepada masyarakat. Kedua, peningkatkan akuntabilitas daerah dalam
penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat
otonomi daerah. Dan ketiga, memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai
jenis-jenis pungutan daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan
pajak daerah dan retribusi daerah. Untuk mencapai tujuan diatas perlu
mengefektifkan kinerja aparat perpajakan di daerah. Tekad jajaran Dirjen Pajak
untuk menjalankan reformasi jilid dua sebaiknya mencakup prosedur pemungutan
pajak daerah. Apalagi, KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ) telah meminta
Direktorat Pajak untuk merevisi upah pungut pajak daerah yang selama ini
menjadi ajang korupsi.
Prosedur pemungutan PBB-P2 pada Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) Pratama hingga saat ini belum efektif. Tidak jarang wajib
pajak harus datang berulangkali untuk mengurus kewajiban pajaknya. Bahkan data-data
PBB-P2 yang disalurkan kepada pihak Desa atau Kelurahan banyak yang hilang.
Hingga saat ini Standard Operating Procedure yang diterapkan masih belum
optimal. Padahal, dengan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi mestinya
bisa mengefektifkan pelayanan PBB-P2. Masih terjadi mismanajemen dalam
pendataan data wajib pajak. Apalagi SISMIOP alias Sistem Manajemen Informasi
Obyek Pajak belum bisa menangani penatausahaan PBB-P2 secara detail.
Untuk itu pentingnya segera membentuk
sistem basis data atribut PBB-P2 yang terintegrasi dengan SISMIOP dan sistem
basis data spasial. Selain itu juga pentingnya melakukan perbaikan teknis
yang terkait dengan transaksi data secara langsung antara WP dengan
petugas pajak. Yaitu prosedur pendataan obyek pajak dan penyampaian SPPT kepada
Wajib Pajak. Prosedur lain yang terkait erat dengan dua prosedur tersebut,
yaitu prosedur penilaian obyek pajak dan penetapan PBB-P2.
Total anggaran yang
dialokasikan kepada Ditjen Pajak untuk keperluan operasional dan pemungutan
sudah cukup besar jumlahnya. Mestinya jumlah tersebut sudah bisa
mentransformasikan budaya kerja, meperbaiki integritas dan kompetensi serta
menumbuhkan etos kerja pegawai pajak di
daerah. Dibutuhkan kinerja institusi perpajakan daerah yang mampu menghadapi
tantangan kedepan. Pengembangan kompetensi praktisi perpajakan hendaknya tidak
berhenti kepada pengadaan atau pembelian perangkat teknologi informasi. Sudah saatnya
institusi perpajakan utamanya yang ada di daerah memperbaiki integritas dan
merubah budaya kerja secara mendasar. Selain itu juga harus mampu menggali
potensi pajak yang masih tersembunyi dan mampu mengidentifikasikan berbagai
bentuk ekonomi bawah tanah serta mencegah timbulnya berbagai modus
pengemplangan pajak.
Tidak bisa dimungkiri lagi bahwa integritas
pegawai pajak di daerah masih memprihatinkan. Meskipun ada sistem mutasi secara
periodik bagi pegawai pajak di kantor pajak pratama, tetapi indeks integritas
dan beban kerja atau pembobotan pekerjaan pegawai pada saat ini jika diukur
dengan metode praktis untuk menetapkan ukuran suatu pekerjaan hasilnya masih
belum memuaskan.
Masih ada pegawai pajak yang mencari
penghasilan sampingan dalam menjalankan tugasnya. Pentingnya langkah
pembersihan dilingkungan Dirjen Pajak secara cepat dan sistemik. Karena
penyelewengan pajak jumlahnya masih cukup banyak. Dilain pihak aparat yang
mengusut kasus perpajakan sangat terbatas sehingga prosesnya lambat. Banyaknya
kasus penyelewengan yang terkait dengan setoran pajak di daerah-daerah sebaiknya
ditanggulangi dengan audit sistem teknologi informasi penyimpan data setoran
pajak.
Bermacam stigma negatif masih saja
menempel pada sistem perpajakan daerah. Target ideal penerimaan pajak daerah sulit terwujud
jika dilakukan secara instan dengan cara pengadaan perangkat otomatisasi serta
memakai jurus tangan besi. Penarikan pajak akan efektif jika integritas
praktisi perpajakan daerah diperbaiki secara
total. Pada umumnya kita semua sudah mengerti apa arti kata integritas. Istilah
tersebut menurut kamus berarti ketulusan hati dan kejujuran. Juga dijelaskan
bahwa integrity itu berarti uncompromising adherance to a code of moral yang artinya
dedikasi yang tak tergoyahkan terhadap kode moral atau etik. Dimasa sekarang
ini masalah integritas menjadi teramat penting bagi praktisi perpajakan.
Seluruh praktisi perpajakan mestinya memahami betul apa makna integritas.
Dalam konteks menggali
potensi perpajakan makna integritas bisa dianalogikan dengan "memegang
seekor burung". Bila burung digenggam dengan tangan besi bisa mati, namun
bila digenggam oleh tangan lembut ( longgar ) bisa lepas. Integritas petugas
pajak pada saat ini juga memiliki implikasi ketulusan, kejujuran dan
fleksibilitas waktu pelayanan bagi wajib pajak. Namun tidak kenal kompromi bagi
pengemplang pajak sekalipun ada pihak-pihak yang gencar menuntut adanya tax
amnesty ( pengampunan pajak ) bagi pengemplang pajak.
Implikasi lain dari
buah integritas yang dapat dirasakan secara langsung adalah menyangkut waktu
dan tempat pelayanan wajib pajak yang dibuat seefektif dan sepraktis mungkin.
Pajak bisa dibayarkan kapan saja dan dimana saja dalam tenggat waktu yang telah
ditetapkan. Makna integritas bagi petugas pajak juga akan membuahkan sikap yang
amat teliti dalam melacak setiap rupiah yang merupakan obyek pajak. Pengalaman
Internasional Revenue Service ( IRS) yang telah meninggalkan praktik tangan
besi untuk menghadapi wajib pajak di USA melalui program Offer to Compromise (
Tawaran untuk Kompromi ) pada prinsipnya merupakan perwujudan dari menguatnya
integritas institusi. Namun, penawaran tersebut dijalankan dengan sangat
selektif dan prudential bagi pembayar pajak dengan kriteria yang adil dan
tidak merusak potensi pajak yang baru.
*) Dosen STIA Bagasasi Bandung, Doktor Administrasi
Pendidikan UPI Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar