Dimuat Investor Daily : 15 September 2012
Musibah kebakaran terus terjadi di berbagai kota. Bahkan di ibukota telah terjadi kasus kebakaran yang beruntun. Hal itu merupakan indikasi ketidak beresan sistem perkotaan yang disertai rendahnya budaya keselamatan lingkungan fisik. Kondisinya menjadi runyam karena eksistensi dinas pemadam kebakaran belum dikelola dengan baik. Institusi dinas kebakaran juga masih belum memiliki peralatan dan standard operation procedure yang baik sesuai dengan skala resiko yang aktual. Untuk itulah pentingnya segera membenahi tata kelola dinas kebakaran. Serta merancang sistem proteksi kebakaran yang berdasarkan peraturan yang berlaku atau prescriptive design. Peraturan yang terkait dengan proteksi kebakaran tercantum dalam Undang-undang Bangunan Gedung No. 20 tahun 2008, Keputusan Menteri Pekerjaan Umum, NSPM/SNI dan Peraturan Daerah.
Pendekatan lain untuk merancang sistem penanggulangan kebakaran adalah dengan prinsip performance based fire protection design. Yaitu merancang sistem proteksi kebakaran berdasarkan kinerja beban kebakaran ( fire loading ). Pendekatan ini berdasar pada prinsip bahwa peraturan saja tidak cukup dalam merancang sistem penanggulangan kebakaran. Untuk merancang sistem diatas dibutuhkan pengetahuan tentang aspek-aspek yang terkait dengan kebakaran. Misalnya pengetahuan tentang beban api (fire loading), proses pertumbuhan api, heat transfer, serta pengetahuan untuk membuat model kebakaran.
Institusi pemadam kebakaran sebaiknya memiliki program, prosedur, dan organisasi untuk mencegah penyebaran kebakaran lebih luas pada suatu wilayah. Untuk meminimalkan bahaya tersebut, dinas pemadam kebakaran harus memiliki road map atau kerangka kerja dan sistem informasi yang menyeluruh. Peran dinas pemadam kebakaran saat ini perlu direstrukturisasi sehingga karakternya berubah dari peran pemadam menjadi fungsi antisipatif yang proaktif mencegah kebakaran.
Hingga kini sistem perkotaan belum memiliki sistem dan manajemen pencegahan kebakaran yang andal. Selain itu budaya keselamatan dan kedisiplinan warga kota dalam menggunakan listrik dan api belum baik. Program penanggulangan kebakaran yang ideal adalah dimulai dengan idealisasi tata ruang dan konsistensi dalam mengontrol ijin menggunakan bangunan. Langkah yang sangat penting tetapi sering terabaikan adalah belum adanya pemetaan kegiatan publik yang rawan kebakaran. Untuk itu perlu dilakukan penilaian atau audit yang menyangkut beberapa variabel penyebab kebakaran.
Kebakaran pada umumnya disebabkan oleh faktor kelalaian manusia seperti akibat hubungan arus pendek listrik. Celakanya, standar pencegahan kebakaran yang berupa penyediaan peralatan hidran, sprinkler, dan pemadam api portabel masih kurang. Kompleksitas bahaya kebakaran membutuhkan beberapa inovasi dan konsistensi manajemen perkotaan. Budaya perkotaan selama ini menunjukan bahwa kesadaran dan kedisiplinan yang berhubungan dengan alat-alat penanggulangan kebakaran masih rendah. Kondisinya bertambah mengkawatirkan ketika dinas perkotaan belum memiliki data yang akurat menyangkut spesifikasi, data base kondisi fisik dan building historical yang bisa diakses secara cepat bila terjadi kasus kebakaran.
Untuk mengatasi masalah kebakaran bangunan gedung dan infrastruktur publik, sebenarnya sudah ada pengaturan, pembinaan dan pengawasan teknis antara lain dengan menetapkan UU tentang Bangunan Gedung. Namun, hingga kini keberadaan UU tersebut belum efektif untuk menanggulangi musibah kebakaran. Karena kondisi aktual di lapangan masih banyak hal-hal yang menyimpang. Antara lain ketentuan tentang jarak gedung dan jumlah lantai. Misalnya aturan untuk bangunan dua lantai harusnya jarak bangunan dengan pagar minimal empat meter. Jarak gedung dengan pagar untuk setiap penambahan satu lantai jaraknya bertambah setengah meter. Namun, ketentuan diatas banyak yang dilanggar dengan alasan terbatasnya luas tanah. Faktor penting lainnya adalah harus tersedia tangga darurat lengkap dengan petunjuk arahnya di dalam ruangan. Tangga ini harus ada setiap jarak paling jauh 20 meter. Ruangan tangga ini harus lebih tinggi tekanannya daripada di dalam ruangan, agar api tidak menjalar ke ruangan tangga darurat. Ruang tangga ini harus terisolasi oleh pintu tahan api, yang tahan dari jilatan api selama tiga jam. Pintu kebakaran ini akan menutup secara otomatis bila suhu ruangan mencapai 70 derajat Celsius. Pintu darurat ini hanya dapat dibuka dari satu sisi yaitu dari arah dalam. Namun, dalam prakteknya banyak gedung bertingkat yang menggunakan ruang darurat tersebut untuk keperluan yang lain.
Untuk mewujudkan manajemen antisipasi dan penanggulangan kebakaran dibutuhkan infrastruktur dan sistem informasi perkotaan yang mampu menyajikan data-data fisik bangunan kota secara detail dan cepat. Sehingga jika terjadi musibah kebakaran petugas bisa bertindak secara tepat dan cepat karena mengetahui struktur didalamnya. Selain itu pemerintahan kota sebaiknya memiliki rancangan skenario kebakaran untuk fasilitas publik maupun kawasan industri. Rancangan skenario kebakaran itu tentunya berdasarkan rancangan beban kebakaran berdasarkan asumsi: konstruksi dan lay out bangunan, sistem utilitas, fungsi dan tingkat pemakaian bangunan, beban combustible serta pemakai bangunan. Semua asumsi yang mendasari desain bangunan harus didokumentasikan dengan baik dan mudah diakses.
Untuk membuat rancangan skenario kebakaran dibutuhkan informasi yang lengkap mengenai bangunan dan segala isinya serta informasi tentang penghuni atau pengguna bangunan. Informasi penting mengenai bangunan terkait dengan rancangan skenario kebakaran antara lain sistem konstruksi yang menunjukkan angka resistansi terhadap api, fire cuttoffs, lay-out, dan services bangunan ( listrik, gas, HVAC, komunikasi). Rancangan skenario kebakaran diatas harus bisa menggambarkan fasilitas untuk bahaya kebakaran seakurat mungkin. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar