Senin, 24 November 2008
Sistem pendidikan yang terlalu dipaksakan berbasis telematika justru berpotensi menghasilkan generasi Dumbest alias sontoloyo.
Arah Telematika Pendidikan dan Generasi Dumbest
Oleh HARJOKO SANGGANAGARA
( Peserta Program S-3 Sekolah Pascasarjana UPI Bandung )
Dunia pendidikan di Jawa Barat mulai mengarah kepada pemanfaatan telematika atau teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk pembelajaran secara elektronik. Infrastruktur telematika untuk menunjang proses pendidikan sebenarnya bukan hal baru. Sayangnya, hingga saat ini pembelajaran elektronik belum bisa optimal. Malah dikawatirkan akan menimbulkan generasi Dumbest yang bisa memperpuruk daya saing bangsa.
Langkah pemda Jabar yang ingin membenahi sekolah terpencil dengan pembelajaran elektronik hendaknya jangan sebatas seremonial belaka. Kondisinya semakin buruk jika langkah itu ternyata digunakan untuk ajang politik praktis dan kepentingan bisnis semata. Harus ada arah dan langkah yang jujur, konsisten dan hati-hati. Infrastruktur telematika pendidikan ibaratnya seperti jalan tol dalam proses pendidikan. Jalan tol itu kurang ada artinya jika tidak banyak muatan yang lewat. Mestinya para guru dan praktisi pendidikan di Jabar didorong sekuat tenaga agar proaktif memanfaatkan telematika pendidikan yang sudah eksis. Hingga saat ini partisipasi guru dan praktisi pendidikan di Jabar terhadap infrastruktur Jardiknas ( Indonesia Education ICT Network ) masih rendah. Padahal infrastruktur itu telah dirancang sebagai media yang ideal bagi sekolah, guru dan siswa untuk meningkatkan kompetensinya. Apalagi, Jardiknas juga diwarnai dengan komunitas untuk kolaborasi. Juga telah mengakomodasikan blog guru, blog siswa dan kaedah wikipedia.
Mestinya Jardiknas bisa menjadi platform yang kokoh untuk membenahi sekolah terpencil berbasis telematika. Dinas Pendidikan di Jabar tidak perlu lagi merekayasa sistem pembelajaran elektronik dari nol. Karena hal itu hanya akan membuang-buang waktu dan pemborosan anggaran. Arah telematika pendidikan di Jabar sebaiknya difokuskan kepada Jardiknas. Disdik Provinsi Jabar dan Kabupaten sebaiknya tidak perlu lagi repot-repot terlibat pembuatan situs online untuk pembelajaran elektronik. Yang terpenting adalah bagaimana mengarahkan dan menggencarkan partisipasi guru dan siswa untuk memanfaatkan secara aktif dan kolaboratif berbagai fasilitas yang telah tersedia di Jardiknas. Partisipasi guru dan siswa, utamamya untuk mengunggah ( up load ) karya dan portofolionya dalam Jardiknas seharusnya menjadi target utama telematika pendidikan di Jabar. Selain itu materi ajar lewat modul online dalam portal Edukasi Net ( E-Dukasi.net ) sudah sangat memadai untuk bahan mengajar di kelas sehari-harinya. Pada saat ini juga sudah ada situs-situs pembelajaran elektronik kolaboratif yang sangat bagus dan telah menjadi partner Jardiknas. Seperti OKE ( Open Knowledge & Education ), JENI ( Java for Edu Network in Indonesia ), Ilmu Komputer ( komunitas e-Learning gratis ilmu komputer dan teknologi informasi Indonesia ), Pesona Edu, dan Sekolah Maya atau Sekolahmaya.Net yang merupakan situs percontohan untuk sistim pembelajaran elektronik. Praktisi pendidikan di Jabar patut mengapresiasi dan mengunduh nilai tambah yang diberikan oleh OKE yang merupakan media untuk saling berbagi ilmu pengetahuan. Situs tersebut juga menampung materi ajar apapun baik itu modul pelatihan, materi pembelajaran, contoh-contoh soal, aplikasi pembelajaran, dan presentasi. Sedangkan JENI merupakan modul on-line yang siap dikembangkan, dengan pemrograman berbasis objek. Selain itu JENI juga merupakan bank soal dan pembahasan masalah pembelajaran perangkat lunak yang berbasis Java.
Penting untuk digarisbawahi, bahwa modul online sebagai materi ajar tidak sekedar buku elektronik atau e-Book. Modul online itu hendaknya bisa memesona dan memacu rasa ingin tahu para siswa. Jika tidak memesona maka modul elektronik itu akan “dilibas” oleh eksistensi game komputer yang telah mendominasi pikiran anak. Untuk itulah modul online juga harus dilengkapi dengan alat peraga elektronik, animasi, dan bentuk-bentuk multimedia lainnya dengan tampilan menarik. Selain itu modul online juga harus bisa memberikan arahan bagi siswa untuk mendayagunakan mesin pencari ( search engine ) internet sehingga bisa lebih berdaya guna dalam proses pendidikan. Apalagi, dalam era konvergensi telematika sekarang ini otoritas pendidikan di negara maju seperti Amerika Serikat sudah mengkawatirkan timbulnya generasi Dumbest. Telematika Pendidikan yang salah arah, serta kondisi menjamurnya warnet, play station dan arena hot spot hingga ke pelosok, semakin menjadi stimulus timbulnya generasi Dumbest. Fenomena generasi Dumbest yang keranjingan games dan internet menimbulkan prilaku serba jalan pintas, kurang menghargai waktu dan minus nilai tambah. Hal itu akan menjadi persoalan bangsa yang sangat serius.
Ikwal tentang generasi Dumbest tergambar dalam karya Mark Bauerlein lewat bukunya yang berjudul “The Dumbest Generation”, yang diterbitkan oleh Barnes & Nobles. Buku tersebut mengulas tentang pembodohan anak-anak Amerika akibat akses internet dan permainan lewat komputer. Buku itu menggugat janji-janji teknologi informasi dengan berbagai idiom seperti “knowledge sharing”,“information superhighway” dan lain-lain, yang ternyata sulit terbukti alias palsu. Hal itu akhirnya menciptakan generasi muda Amerika yang bodoh dan pemalas. Secara lugas buku itu juga mengkaji generasi muda Amerika menjadi generasi yang sibuk mengirim e-mail tanpa konteks intelektualitas dan melakukan chatting basa-basi sepanjang waktu. Tesis Mark Bauerlein diatas sangat mencemaskan, apalagi tesis itu merupakan hasil riset yang sulit disanggah. Timbulnya generasi Dumbest membuat otoritas pendidikan disana kebakaran jenggot lalu mencari berbagai solusi.
Tidak mustahil generasi Dumbest akan tumbuh di negeri ini. Disisi yang lain ada kecenderungan penerapan telematika pendidikan yang salah arah. Telematikanisasi sekolah jangan hanya untuk gengsi-gengsian yang pada akhirnya hanya menjadi sampah teknologi dan hanya memberikan keuntungan bisnis bagi segelintir orang. Pada tahap sekarang ini peran telematika untuk sekolah terpencil sebaiknya hanya sebatas support saja. Telematika jangan dipaksakan menjadi enabler dan transformer bagi dunia pendidikan karena bisa menimbulkan pemborosan yang luar biasa.
Ada baiknya sekolah untuk daerah terpencil di Jabar dibenahi dengan prinsip Sekolah Alam. Karena prinsip itu bisa impresif terhadap lingkungan hidup di sekitarnya. Sejatinya, sekolah di daerah terpencil dengan kondisi geografinya masing-masing justru sangat ideal untuk mengembangkan kecerdasan dan budi pekerti siswa. Bahkan, bangunan atau infrastruktur sekolah tidak perlu dipaksakan mirip di kota. Sekolah Alam sebaiknya memiliki bangunan sekolah tradisional yang lebih ergonomik, yang dikelilingi oleh rimbunnya aneka tumbuh-tumbuhan. Ruang kelas di Sekolah Alam tidak perlu terkurung tembok, cukup dengan dinding semi terbuka yang bercorak arsitektur tradisional. Sarana belajar seperti meja, kursi, papan tulis, alat penerangan dan lain-lain dibuat se-ergonomik mungkin sehinga tubuh siswa tidak merasa terpaku selama belajar. Dalam situasi dunia sekarang ini, Sekolah Alam membawa optimisme baru karena berpotensi mencetak siswa seperti Lintang sang tokoh dalam cerita Laskar Pelangi. Dilain pihak sistem pendidikan yang terlalu dipaksakan berbasis telematika justru berpotensi menghasilkan generasi Dumbest alias sontoloyo. (*)
*) Budayawan, Anggota DPRD Provinsi JABAR dari PDI Perjuangan
**) Artikel ini telah dimuat di harian KOMPAS Lembar Jawa Barat tgl 18 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar