INVESTOR DAILY : 6 September 2014
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerima gelar kehormatan First Class Order of Temasek di Istana Kepresidenan, Singapura. Presiden SBY di depan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong dan Presiden Tony Tan Keng Yam menyampaikan pidato penting usai mendapat gelar. Singapura dipandang sebagai salah satu mitra dagang yang sangat penting bagi Indonesia. Dirinya juga menyatakan bahwa gaya politik luar negeri Presiden terpilih Joko Widodo berkomitmen kuat untuk menjaga hubungan baik dengan negara tetangga.
Hubungan Indonesia dengan Singapura sering diwarnai dengan pasang surut. Mestinya tantangan globalisasi saat ini memacu sinergitas hubungan kedua negara, sehingga berbagai peluang dan potensi globalisasi bisa dipetik bersama. Reaksi negatif dan berlebihan beberapa waktu lalu oleh pemerintah Singapura terkait dengan penamaan KRI Usman Harun bisa dijadikan indikasi bahwa diwaktu mendatang kedua negara masih harus menemukan resep hubungan yang lebih baik.
Hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Singapura sering terganggu dengan celotehan petinggi kedua negara. Antara lain celotehan Menteri senior Singapura Lee Kuan Yew yang waktu itu berceloteh bahwa Indonesia adalah sarang teroris. Lee gusar dan menuding ketidakmampuan Indonesia dalam memberantas terorisme. Menurutnya pemerintah Indonesia kewalahan karena tidak memiliki Internal Security Act ( ISA ).
Celotehan serupa juga pernah dilakukan oleh mantan Presiden BJ Habibie yang menyatakan bahwa Singapura adalah noktah atau titik kecil ditengah samudra biru. Celotehan Habibie tersebut menyadarkan kepada semua pihak bahwa kegiatan perekonomian Indonesia hendaknya jangan tergantung kepada Singapura. Habibie gusar karena berbagai aktivitas bisnis dan investasi di Indonesia banyak yang berkantor pusat di Singapura.
Implikasi terganggunya hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Singapura adalah menguatnya sentimen ekonomi bagi rakyat Indonesia. Karena selama ini pihak Singapura telah menikmati begitu banyak keuntungan ekonomi, khusunya keuntungan dalam hal mendapatkan sumber daya alam (SDA) dari bumi Indonesia seperti gas alam, pasir laut, minyak dan lain sebagainya.
Mengalirnya gas alam lewat pipa raksasa dengan volume yang sangat besar dari wilayah Indonesia ke Singapura selama ini mengundang kecemburuan sosial bagi rakyat Indonesia dan kalangan industri yang sering mengalami kelangkaan gas. Sangat ironis jika melihat gas alam dari Pulau Sumatera mengalir deras ke Singapura melalui pipa besar.
Hingga kini gas alam yang mengalir ke Singapura dijual jauh lebih murah dari minyak dan tentu saja lebih bersih dan ramah lingkungan. Singapura menggunakan gas alam Indonesia untuk bahan bakar pembangkit listrik, industri, perhotelan dan untuk keperluan rumah tangga rakyat di Singapura. Ironisnya, selama bertahun-tahun rakyat Singapura menikmati gas alam Indonesia, dilain pihak rakyat Indonesia terpaksa memakai LPG atau elpiji yang harganya tiga kali lebih mahal dari gas alam dengan pipanisasi langsung ke Singapura. Gas alam itu hanya dijual 5 dollar AS / MMBTU ke negara tetangga. Berarti harga tersebut setara dengan seperempat dari harga BBM solar. Ironisme tersebut semakin mencuatkan rasa ketidak-adilan ketika kalangan industri di Indonesia sering kekurangan dan kesulitan mendapatkan pasokan gas.
Dalam berbagai kesempatan dan lain waktu, hubungan Indonesia dengan Singapura memiliki dinamikan tersendiri. Pasang surut hubungan kedua negara itu ditandai dengan munculnya politik “rindu dendam". Fenomena itu terlihat juga pada saat pemerintahan Habibie dan Gus Dur. Secara telanjang Habibie telah memperlihatkan sikap yang kurang cocok atau tidak senang terhadap Lee Kuan Yew. Sedang Gus Dur yang semula menjadikan Lee sebagai penasehatnya, tiba-tiba menuduh Singapura sangat egois hingga melecehkan bangsa Melayu.
Politik rindu dendam yang dipertontonkan oleh pejabat kedua negara terus berlangsung hingga saat ini. Pada saat prajurit KKO Usman dan Harun dihukum gantung oleh Pemerintah Singapura, waktu itu Presiden Soeharto sempat geram dan langsung menjadikan Usman dan Harus sebagai Pahlawan Nasional. Tetapi dalam perjalanan sejarah rezim orde baru, Soeharto lebih sering bersikap merindukan kehadiran petinggi Singapura. Bahkan hubungan pribadi Soeharto dengan Lee begitu dekat dan sering terlihat tanpa batas protokoler kenegaraan.
Pada akhir tahun kekuasaan SBY juga diwarnai dengan suasana rindu-dendam kedua belah pihak. Namun begitu, pantas dicatat bahwa secara pribadi SBY menempatkan Singapura sangat istimewa. Hal itu terlihat dengan aktivitas pendidikan anak SBY dan kegiatan bisnisnya yang berbasis di negeri singa itu. Pemerintahan SBY juga pernah merasa rindu sekali terhadap berbagai entitas negara kota itu. SBY begitu merindukan untuk berjualan masterplan pembangunan NAD ke Singapura setelah bencana tsunami.
Setelah Presiden Soeharto lengser, hubungan kedua negara sering diwarnai ketidak mesraan dan selalu diselimuti oleh sikap emosional. Begitupun, para politisi di Senayan semakin agresif menyerang peran negara kota Singapura yang dinilainya banyak merugikan kepentingan Indonesia. Namun begitu, bangsa Indonesia sebaiknya juga menjunjung tinggi rasionalitas dan kejujuran terkait posisi strategis Singapura. Meskipun wilayahnya kecil namun memiliki peran ekonomi regional yang cukup penting. Kita tidak bisa menutup mata bahwa sebagian besar aktivitas bisnis di Indonesia di kendalikan dari Singapura. Begitu pula basis investasi, perbankan dan pasar modal juga tidak jauh berbeda. Bahkan Singapura hingga kini merupakan surga pelarian bagi koruptor Indonesia.
Dimasa mendatang kedua pemerintahan sebaiknya mencari terobosan diplomasi disertai dengan mencari resep kemesraan untuk hubungan kedua negara. Kegiatan perekonomian Indonesia hendaknya tidak tergantung dengan Singapura. Namun demikian, posisi Singapura juga tidak bisa diabaikan. Karena mampu menggalang potensi ekonomi etnis Tionghoa perantauan yang memiliki solidaritas dan potensi yang besar.
Solidaritas dan potensi itu terlihat dari kiprah Tionghoa perantauan dalam menyelenggarakan Shijie Huashang Dahui atau Kovensi Wiraswasta Tionghoa sedunia. Konvensi pertama terjadi di Hotel Mandarin di pusat keramaian Orchard Road di Singapura pada 1991. Penyelenggaraan World Chinese Entrepreneurs Convention yang kedua pada tahun 1993. Konvensi internasional etnis Tionghoa perantauan kedua tersebut implementasinya agak istimewa, karena terbentuk wadah dan jaringan bisnis yang kokoh dan solidaritas etnis. Nan Yang Inc merupakan wadah para pengusaha keturunan Tionghoa di Asia Tenggara dan merupakan komponen World Chinesse Entrepreuners Convention ( WCEC ). Diperkirakan wadah diatas memiliki aset setara dengan tiga kali cadangan devisa seluruh negara ASEAN.
*) Dosen STIA Bagasasi Bandung, Doktor Administrasi UPI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar