Daily Investor | Kamis, 20 Februari 2014 | 2:46
Sejumlah kalangan Merekomendasikan agar Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) dihidupkan kembali. Namun begitu, GBHN yang akan dihidupkan atau
dirumuskan tersebut harus sesuai dengan semangat zaman.
Pada era globalisasi sekarang ini, GBHN jangan lagi menjadi dokumen yang bombastis dalam merumuskan realitas dan meneropong masa depan bangsa. Haluan negara sebaiknya mengandung semangat yang analoginya bisa berpacu dalam konteks persaingan global.
Dalam beberapa waktu belakangan ini, wacana untuk reinventing GBHN menguat di kalangan MPR dan entitas perguruan tinggi ser ta para politikus. Ketiadaan GBHN diakui telah menyebabkan semacam proses simplifikasi dan pendangkalan dalam menghadapi problem bangsa yang sebenarnya spektrumnya sangat besar. Mestinya nasib bangsa yang wilayahnya sangat luas ini jangan hanya diserahkan pada visi dan misi calon presiden yang disampaikan pada masa kampanye pemilu.
Begitu pula langkah menghidupkan kembali GBHN sebaiknya tidak sekadar menyusun naskah atau dokumen pembangunan, tetapi juga termasuk menyusun metode untuk mewujudkan kekuasaan atau pemerintahan yang efektif dan bersih. Karena rumusan GBHN sebagus apa pun, akan percuma jika sistem kekuasaan yang tidak efektif.
Selama ini masyarakat berpendapat bahwa problematika bangsa bukan pada membuat dokumen pembangunan, tapi bagaimana mewujudkan perilaku kekuasaan yang jujur, bersih dan konsisten dengan dokumen-dokumen yang telah dibuat serta perlunya sinergi yang baik diantara penyelenggara negara.
Pepesan Kosong RPJM
Sebelum menghidupkan kembali GBHN ada baiknya kita mengevaluasi dan mencari faktor penyebab kegagalan atau kemandulan sistem yang ada selama ini, yakni Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Evaluasi tersebut juga termasuk eksistensi Perda Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Jangka Menengah Daerah. Selama ini, rakyat menilai RPJMD dan RPJPD seperti pepesan kosong, kurang realistis, bahkan bombastis.
Jika GBHN dihidupkan kembali, maka dokumen itu harus memilki faktor pemacu kecepatan sehingga bisa menyamai lajunya gazela (sejenis binatang kijang) dan faktor keteguhan layaknya seekor singa. Dokumen GBHN tidak boleh ada lagi kalimat klise yang meninabobokan rakyat seperti era kekuasaan Orde Baru yang lalu. Fakta kini menunjukkan bahwa persaingan usaha semakin sengit dan dalam tempo yang sangat cepat. Kondisi persaingan di era globalisasi bisa dianalogikan bahwa kita sedang berlomba lari dengan gazela.
Tantangan mencari devisa juga sangat berat karena kita harus berhadapan dengan “singa” yang sedang beraksi di lapangan ekonomi. Faktor gazela dan singa juga merupakan filosofi dari dromokrasi yang berarti sistem pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi sebenarnya terletak pada faktor kecepatan.
Istilah dromokrasi berasal dari kata dromo – dalam bahasa Latin berarti berpacu atau cepat – serta kata kratos yang berarti pemerintahan. Pada era globalisasi, kecepatan menjadi tuntutan utama terhadap pemerintahan. Jika kita cermati ada sederet kelemahan yang mendasar dalam Perda RPJPD dan RPJMD yang dibuat oleh hampir semua pemerintah daerah dan lembaga legislatif.
Lihat saja isi Perda RPJPD dan RPJMD yang belum menekankan secara tegas pentingnya faktor kecepatan. Milestones pembangunan belum tampak secara sistematik. Hal itu disebabkan oleh belum adanya dukungan expert systems sebagai alat yang andal untuk menyusun rencana pembangunan, membuat keputusan, dan mengendalikan pembangunan. Sebagai catatan, expert systems yang banyak dipakai negara-negara maju biasanya dibuat atas kerangka kerja fakta dan jawaban terhadap situasi yang sudah dianalisasis secara valid dan terstandarisasi.
Eksistensi UU Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menyatakan bahwa dalam Perda RPJPD harus tertuang rumusan visi untuk merancang masa depan pembangunan daerah. Namun, rumusan RPJPD kebanyakan hanya berisi kompilasi data-data yang sumir dan tidak aspiratif. Padahal, RPJPD merupakan dokumen perencanaan yang mengandung unsur kebijakan publik.
Selanjutnya, sebuah kebijakan publik tidak hanya menjadi barang pajangan tetapi harus diimplementasikan. Arti lebih lanjut dari hal di atas adalah bahwa RPJPD harus mempunyai keterkaitan nyata atau tangible dengan dokumen RPJMD. Setidaknya harus ada indikator dan korelasi positif terhadap sasaran lima tahunan. Kekuatan RPJPD sebagai satu dokumen perencanaan akan terwujud jika ada kejelasan mengenai faktor-faktor yang akan dikembangkan sebagai pendukung pencapaian visi dalam kurun 20 tahun ke depan yang terdistribusi bebannya secara baik dalam lima tahunan.
Kreativitas dan Inovasi
Menurut Profesor Thurow dari Massachusets Institute of Technology (MIT), ada dua hal yang menjadi kunci untuk pembangunan masa depan. Keduanya memberikan gambaran langsung tentang tantangan yang akan membentuk masa depan. Kunci pertama adalah semakin berkurangnya arti dan peran sumber daya alam (SDA) dan buruh berupah murah sebagai modal dasar pembangunan. Kunci kedua yakni semakin meningkatnya peran dari kreativitas dan daya inovasi warga bangsa sebagai faktor utama dalam menentukan kemajuan bangsa. Di sisi lain, isi RPJPD kebanyakan justru menempatkan sumber daya alam dan melimpahnya buruh sebagai modal dasar pembangunan daerah.
Mestinya RPJPD juga memberikan perhatian terhadap pertumbuhan lapangan kerja dengan cara mendorong sektor pertanian multiaktivitas. Sayangnya, sektor pertanian multiaktivitas belum terdefinisi secara jelas, masih bersifat amorfik atau bentuknya masih berubah-ubah. Itulah yang membuat produksi dan pengadaan pangan rakyat menjadi masalah yang tak pernah dituntaskan seperti sekarang ini.
Dalam hal ketenagakerjaan, RPJPD harus mampu mentransformasikan profesi atau jenis pekerjaan rakyat yang tidak lagi memiliki prospek masa depan. Pada saat bersamaan perlulah mengambil langkah reinventing atau menemukan kembali masa depan industri budaya atau industri kreatif dengan langkahlangkah yang lebih progresif dan sistemik. Sebagai catatan, hingga kini lapangan pekerjaan utama rakyat masih didominasi oleh sektor pertanian dan perdagangan, disusul sektor industri dan jasa.
Melihat postur pekerjaan utama penduduk Indonesia dalam kondisi rapuh, ditambah semakin meningkatnya jumlah pengangguran intelektual lulusan perguruan tinggi, maka sangat diperlukan terobosan dalam menciptakan lapangan kerja baru, terutama yang berbasis industri kreatif atau industri budaya.
Pada akhirnya, GBHN adalah sebuah visi pembangunan bangsa. Isinya harus mengandung data-data statistik yang jujur (bebas rekayasa politik) serta kumpulan deskripsi tentang langkah-langkah strategis pembangunan ke depan.
Langkah tersebut harus ada ukuran dan standarnya. Hal itu harus selaras dengan isu global terkait dengan gross national happiness (GNH), terkait dengan strategi pertumbuhan bangsa yang berfokus pada upaya memperbaiki pendidikan, kesehatan, dan kualitas hidup rakyat. Haruslah disadari bahwa dalam perspektif global, kini produk domestik bruto (PDB) bukan lagi segalanya bagi pembangunan bangsa
Pada era globalisasi sekarang ini, GBHN jangan lagi menjadi dokumen yang bombastis dalam merumuskan realitas dan meneropong masa depan bangsa. Haluan negara sebaiknya mengandung semangat yang analoginya bisa berpacu dalam konteks persaingan global.
Dalam beberapa waktu belakangan ini, wacana untuk reinventing GBHN menguat di kalangan MPR dan entitas perguruan tinggi ser ta para politikus. Ketiadaan GBHN diakui telah menyebabkan semacam proses simplifikasi dan pendangkalan dalam menghadapi problem bangsa yang sebenarnya spektrumnya sangat besar. Mestinya nasib bangsa yang wilayahnya sangat luas ini jangan hanya diserahkan pada visi dan misi calon presiden yang disampaikan pada masa kampanye pemilu.
Begitu pula langkah menghidupkan kembali GBHN sebaiknya tidak sekadar menyusun naskah atau dokumen pembangunan, tetapi juga termasuk menyusun metode untuk mewujudkan kekuasaan atau pemerintahan yang efektif dan bersih. Karena rumusan GBHN sebagus apa pun, akan percuma jika sistem kekuasaan yang tidak efektif.
Selama ini masyarakat berpendapat bahwa problematika bangsa bukan pada membuat dokumen pembangunan, tapi bagaimana mewujudkan perilaku kekuasaan yang jujur, bersih dan konsisten dengan dokumen-dokumen yang telah dibuat serta perlunya sinergi yang baik diantara penyelenggara negara.
Pepesan Kosong RPJM
Sebelum menghidupkan kembali GBHN ada baiknya kita mengevaluasi dan mencari faktor penyebab kegagalan atau kemandulan sistem yang ada selama ini, yakni Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Evaluasi tersebut juga termasuk eksistensi Perda Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Jangka Menengah Daerah. Selama ini, rakyat menilai RPJMD dan RPJPD seperti pepesan kosong, kurang realistis, bahkan bombastis.
Jika GBHN dihidupkan kembali, maka dokumen itu harus memilki faktor pemacu kecepatan sehingga bisa menyamai lajunya gazela (sejenis binatang kijang) dan faktor keteguhan layaknya seekor singa. Dokumen GBHN tidak boleh ada lagi kalimat klise yang meninabobokan rakyat seperti era kekuasaan Orde Baru yang lalu. Fakta kini menunjukkan bahwa persaingan usaha semakin sengit dan dalam tempo yang sangat cepat. Kondisi persaingan di era globalisasi bisa dianalogikan bahwa kita sedang berlomba lari dengan gazela.
Tantangan mencari devisa juga sangat berat karena kita harus berhadapan dengan “singa” yang sedang beraksi di lapangan ekonomi. Faktor gazela dan singa juga merupakan filosofi dari dromokrasi yang berarti sistem pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi sebenarnya terletak pada faktor kecepatan.
Istilah dromokrasi berasal dari kata dromo – dalam bahasa Latin berarti berpacu atau cepat – serta kata kratos yang berarti pemerintahan. Pada era globalisasi, kecepatan menjadi tuntutan utama terhadap pemerintahan. Jika kita cermati ada sederet kelemahan yang mendasar dalam Perda RPJPD dan RPJMD yang dibuat oleh hampir semua pemerintah daerah dan lembaga legislatif.
Lihat saja isi Perda RPJPD dan RPJMD yang belum menekankan secara tegas pentingnya faktor kecepatan. Milestones pembangunan belum tampak secara sistematik. Hal itu disebabkan oleh belum adanya dukungan expert systems sebagai alat yang andal untuk menyusun rencana pembangunan, membuat keputusan, dan mengendalikan pembangunan. Sebagai catatan, expert systems yang banyak dipakai negara-negara maju biasanya dibuat atas kerangka kerja fakta dan jawaban terhadap situasi yang sudah dianalisasis secara valid dan terstandarisasi.
Eksistensi UU Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menyatakan bahwa dalam Perda RPJPD harus tertuang rumusan visi untuk merancang masa depan pembangunan daerah. Namun, rumusan RPJPD kebanyakan hanya berisi kompilasi data-data yang sumir dan tidak aspiratif. Padahal, RPJPD merupakan dokumen perencanaan yang mengandung unsur kebijakan publik.
Selanjutnya, sebuah kebijakan publik tidak hanya menjadi barang pajangan tetapi harus diimplementasikan. Arti lebih lanjut dari hal di atas adalah bahwa RPJPD harus mempunyai keterkaitan nyata atau tangible dengan dokumen RPJMD. Setidaknya harus ada indikator dan korelasi positif terhadap sasaran lima tahunan. Kekuatan RPJPD sebagai satu dokumen perencanaan akan terwujud jika ada kejelasan mengenai faktor-faktor yang akan dikembangkan sebagai pendukung pencapaian visi dalam kurun 20 tahun ke depan yang terdistribusi bebannya secara baik dalam lima tahunan.
Kreativitas dan Inovasi
Menurut Profesor Thurow dari Massachusets Institute of Technology (MIT), ada dua hal yang menjadi kunci untuk pembangunan masa depan. Keduanya memberikan gambaran langsung tentang tantangan yang akan membentuk masa depan. Kunci pertama adalah semakin berkurangnya arti dan peran sumber daya alam (SDA) dan buruh berupah murah sebagai modal dasar pembangunan. Kunci kedua yakni semakin meningkatnya peran dari kreativitas dan daya inovasi warga bangsa sebagai faktor utama dalam menentukan kemajuan bangsa. Di sisi lain, isi RPJPD kebanyakan justru menempatkan sumber daya alam dan melimpahnya buruh sebagai modal dasar pembangunan daerah.
Mestinya RPJPD juga memberikan perhatian terhadap pertumbuhan lapangan kerja dengan cara mendorong sektor pertanian multiaktivitas. Sayangnya, sektor pertanian multiaktivitas belum terdefinisi secara jelas, masih bersifat amorfik atau bentuknya masih berubah-ubah. Itulah yang membuat produksi dan pengadaan pangan rakyat menjadi masalah yang tak pernah dituntaskan seperti sekarang ini.
Dalam hal ketenagakerjaan, RPJPD harus mampu mentransformasikan profesi atau jenis pekerjaan rakyat yang tidak lagi memiliki prospek masa depan. Pada saat bersamaan perlulah mengambil langkah reinventing atau menemukan kembali masa depan industri budaya atau industri kreatif dengan langkahlangkah yang lebih progresif dan sistemik. Sebagai catatan, hingga kini lapangan pekerjaan utama rakyat masih didominasi oleh sektor pertanian dan perdagangan, disusul sektor industri dan jasa.
Melihat postur pekerjaan utama penduduk Indonesia dalam kondisi rapuh, ditambah semakin meningkatnya jumlah pengangguran intelektual lulusan perguruan tinggi, maka sangat diperlukan terobosan dalam menciptakan lapangan kerja baru, terutama yang berbasis industri kreatif atau industri budaya.
Pada akhirnya, GBHN adalah sebuah visi pembangunan bangsa. Isinya harus mengandung data-data statistik yang jujur (bebas rekayasa politik) serta kumpulan deskripsi tentang langkah-langkah strategis pembangunan ke depan.
Langkah tersebut harus ada ukuran dan standarnya. Hal itu harus selaras dengan isu global terkait dengan gross national happiness (GNH), terkait dengan strategi pertumbuhan bangsa yang berfokus pada upaya memperbaiki pendidikan, kesehatan, dan kualitas hidup rakyat. Haruslah disadari bahwa dalam perspektif global, kini produk domestik bruto (PDB) bukan lagi segalanya bagi pembangunan bangsa
- Reinventing GBHN, Investor Daily, 20
Pebruari 2014 http://www.investor.co.id/home/reinventing-gbhn/78442
Tidak ada komentar:
Posting Komentar