Oleh Harjoko Sangganagara |Daily Investor. Kamis, 14 Juni 2012 | 10:31
Menteri BUMN Dahlan Iskan mengatakan, hanya 30% badan usaha
milik negara (BUMN) mendapatkan proyek dengan cara jujur. Selebihnya, para
pengelola BUMN itu kongkalikong alias menyuap calon mitra kerja untuk
mendapatkan proyek.
Kondisi BUMN yang rawan suap dan intervensi politik itu
disebabkan oleh pola rekrutmen direksi dan komisaris yang mengabaikan aspek
moralitas, kejiwaan, dan gaya hidupnya. Padahal, betapa pentingnya aspek
moralitas dan kejiwaan dari pengelola BUMN.
Arti penting kejiwaan dan moralitas seorang eksekutif juga
sangat relevan dengan kondisi korporasi global saat ini. Para eksekutif
perusahaan multinasional akhir-akhir ini memang sering dituding culas dan tidak
peka terhadap kondisi yang tengah mendera perekonomian global.
Tak kurang dari Presiden Amerika Serikat Barack Obama sering mengecam sikap
para eksekutif perusahaan yang suka bancakan bonus, padahal perusahaannya minta
bailout. Publik di sana juga berang melihat gaya hidup supermewah para chief
excecutiv officer (CEO) yang notabene adalah pengemis dana talangan.
Jangan Hanya Kulitnya
Moralitas dan kejiwaan para eksekutif BUMN di negeri ini
harus segera dibenahi. Searah dengan tren global, pentingnya pengelola BUMN
yang memiliki tingkatan eupsychian management. Istilah eupsychian berasal dari
akar kata eu yang berarti baik dan psyche yang berarti jiwa. Eupsychian
management menjadikan korporasi bisa survive di tengah krisis dan semakin
kompetitif dalam persaingan global.
Beberapa korporasi yang boleh dikatakan kebal krisis adalah
korporasi yang para CEO-nya memiliki tingkatan eupsychian management yang sudah
teruji. Mereka antara lain Google, Apple, dan IBM. Jiwa korporasi Google
tercermin dalam slogan “Don’t be evil”, yang mengokohkan dirinya dalam tren
ekonomi dunia ke knowledge based economy.
Selama ini, Menteri BUMN Dahlan Iskan kerap mencuri
perhatian public dengan pernyataannya yang khas. Sebaiknya gaya manajemen
Dahlan Iskan untuk membenahi BUMN jangan hanya menyentuh kulit-kulitnya saja.
Perihal praktik suap yang banyak dilakukan oleh pengelola BUMN, proses hukum
sebaiknya diterapkan secara keras kepada mereka.
Lebih dari itu, proses perekrutan dan mekanisme seleksi
pengelola BUMN harus dilakukan secara fair dan kredibel. Cara Dahlan Iskan yang
suka main tunjuk pengelola BUMN dengan alasan masa kerja Kabinet Indonesia
Bersatu II yang tinggal sebentar lagi memang tidak bisa diterima akal sehat.
Kinerja BUMN hingga kini masih belum membaik secara signifikan, tak sebanding
dengan total aset seluruh BUMN. Kontribusi melalui dividen yang mencapai Rp
29,9 triliun, pajak Rp 100,7 triliun, dan privatisasi Rp 2,1 triliun perlu
diteliti lebih lanjut.
Tak bisa dimungkiri lagi bahwa kondisi BUMN di negeri ini
sedang diwarnai oleh perilaku direksi dan komisaris yang gemar menyembunyikan
realitas dan mengabaikan fakta buruk yang harus dihadapi. Pada era globalisasi
sekarang ini sebetulnya sebuah BUMN tidak perlu dikelola oleh sosok yang kuat
atau populer. Yang lebih dibutuhkan adalah pengelola BUMN yang tidak banyak
bicara, tidak terlibat politik praktis, tidak suka mengeluh dan berani
mendobrak birokrasi yang eksistensinya membelit jalannya korporasi.
Bahkan dalam postulat bisnisnya yang saat ini menjadi
referensi utama para CEO kaliber dunia, Jack Welch secara tegas menyerukan agar
para eksekutif harus bisa membebaskan diri dari belenggu birokrasi. Celakanya,
pada era sekarang ini birokrasi BUMN justru menjadi semakin tambun. Birokrasi
yang tambun itu, selain tidak efektif, juga bisa membangkrutkan keuangan
perusahaan.
Kredo kepemimpin BUMN yang efektif adalah yang kuat
mengonsumsi fakta dalam menjalankan tugasnya, bukan yang lihai merekayasa citra
dirinya dengan hal-hal klise. Banyak pengelola BUMN saat iniyang menyembunyikan
fakta-fakta yang sebenarnya. Filosofi “Menyelamatkan pasien Cito” yang dulu merupakan
visi dan misi Dahlan Iskan untuk membenahi ketenagalistrikan nasional masih
relevan dijalankan. Istilah pasien Cito tersebut mengibaratkan BUMN seperti
pasien yang harus segera dirawat secara intensif.
Jauhi Konflik Kepentingan
Konsepsi dan kebijakan tentang postur jabatan pengelola BUMN
sebaiknya disesuaikan dengan perkembangan zaman. Jumlah komisaris dan direksi
BUMN pada saat ini masih terlalu banyak. Ironisnya, BUMN yang tergolong tidak
sehat karena sepanjang waktu tidak bisa mencetak keuntungan juga dijejali oleh
sederet komisaris dengan gaji tinggi.
Proses penjaringan komisaris BUMN pada saat ini juga seperti
“arisan” bagi para mantan menteri Kabinet Indonesia Bersatu dan para tim sukses
pemilu presiden. Proses itu jauh dari sifat transparansi dan tanpa ukuran yang
jelas. Kinerja para komisaris BUMN jadinya sulit diukur. Apalagi mereka tidak
bekerja secara teratur. Kedudukan dan fungsi komisaris di BUMN dinilai oleh
banyak pihak justru sering menjadi ganjalan.
Masih relevan survei terhadap ratusan perusahaan
multinasional yang dilakukan oleh majalah Fortune. Hasil survei itu menyatakan
bahwa 40% dewan pengawas atau komisaris di perusahaan multinasional hanya
berfungsi sebagai tukang stempel. Memang ada langkah reformasi BUMN, namun
semuanya masih berjalan di tempat karena terbelit oleh persoalan conflict of
interest dari pengelola.
Penerapan praktik good corporate governance tidak bisa
berjalan dengan baik dan hanya sekadar menjadi hiasan. Kinerja komisaris BUMN
terlihat mandul karena kurang memiliki kompetensi bisnis dalam mengelola
perusahaan. Kondisinya sangat kontradiktif dengan definisi corporate governance
yang dirumuskan Thomas L Wheelen & J David Hunger, yakni bagaimana
pihak-pihak inti yang berkepentingan dengan perusahaan saling berinteraksi dan
bersinergi secara cepat. Pihak-pihak itu adalah pemegang saham (shareholders),
pengelola (top management), dewan pengawas atau komisaris (board of directors).
Model komisaris yang ideal bagi BUMN adalah model Catalyst,
yakni model yang pro-aktif dalam melakukan kontrol dan evaluasi kinerja
korporasi. Cara yang efektif untuk mendapatkan komisaris model Catalyst adalah
dengan merekrut mereka yang berasal dari luar birokrasi atau di luar sistem
kekuasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar