Quo Vadis Infrastruktur Pengairan
Oleh : HARJOKO SANGGANAGARA *)
Hingga saat ini pembangunan infrastruktur pengairan di Provinsi Jawa Barat sangat minim. Kondisinya semakin parah, karena menurut penelitian DPRD Jabar sedikitnya 20 persen infrastruktur pengairan atau bangunan irigasi di Jabar yang telah eksis dalam kondisi rusak. Begitupun dengan pembangunan infrastruktur pengairan skala besar oleh pemerintah pusat juga masih tersendat. Sementara pemerintah daerah semakin kesulitan membangun infrastruktur pengairan skala menengah dan kecil. Akuntabilitas pemerintah daerah yang tercermin dalam APBD selama ini boleh dibilang masih rendah komitmennya dalam membangun infrastruktur pengairan. Tidak mengherankan jika pada musim kemarau banyak daerah dilanda kekeringan dan bila musim hujan daya rusak air semakin besar. Padahal, dengan infrastruktur pengairan yang memadai yang disertai dengan rehabilitasi ekosistem DAS ( Daerah Aliran Sungai ) maka pada musim hujan seperti saat ini merupakan momentum yang tepat untuk menabung air demi masa depan.
Bendungan atau waduk merupakan infrastruktur pengairan yang sangat penting. Problema kekeringan dan banjir sebenarnya berakar dari budaya, visi dan adaptasi hidrologi suatu bangsa. Ironisnya, jumlah bendungan atau waduk di tanah air masih terlalu sedikit bila dibandingkan dengan negara lain. Itupun dengan catatan sebagian sudah berumur tua warisan kolonial Belanda. Padahal Indonesia merupakan negara dengan potensi sumber daya air nomor lima terbesar di dunia. Jumlah bendungan di Indonesia dengan berbagai ukuran hanya berjumlah 235 buah ( status 2005 ) dengan kondisi bendungan yang sarat masalah, seperti pendangkalan, pencemaran dan masalah kerusakan sungai. Dari jumlah bendungan diatas sekitar 17 persen ( 40 buah ) berkinerja rendah atau buruk, 12,5 persen ( 29 buah ) berkinerja sedang, dan yang masih berkinerja baik hanya sekitar 21 persen ( 50 buah ). Sisanya sebanyak 98 bendungan belum diaudit kinerjanya, namun bisa dipastikan sarat dengan masalah. Sementara RRC memiliki jumlah bendungan 20.000 buah, Amerika Serikat 6.000 buah, Jepang 2.650 buah, dan India 1.500 buah.
Daya dukung bendungan di tanah air terhadap penyediaan air irigasi pada saat ini baru mencapai sekitar 10 persen dari total kebutuhan nasional untuk lahan beririgasi. Sedangkan untuk Provinsi Jawa Barat sendiri hanya memiliki bendungan besar sebanyak 8 buah dengan kondisi yang terus terdegradasi. Pembangunan bendungan dari skala besar hingga menengah dan kecil mestinya menjadi prioritas bagi provinsi Jawa Barat. Pembangunan bendungan merupakan upayanya untuk memaksimalkan penangkapan air hujan. Selain bendungan, embung penampung air juga harus banyak dibangun dengan peruntukan utama untuk mengairi lahan pertanian. Pembangunan bendungan tidak hanya ditujukan untuk keperluan penampungan air saja namun bersifat multifungsi, misalnya untuk pembangkit listrik, pengendalian banjir, perikanan, rekreasi dan lain-lain. Pembangunan bendungan juga membawa permasalahan baik itu dalam kaitannya dengan pendanaan untuk konstruksi jaringan irigasi maupun biaya operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana.
Para pemimpin di Jawa Barat hendaknya mencontoh budaya dan visi pembangunan infrastruktur pengairan dari RRC. Karena bangsa itu sangat visioner dan progresif dalam membangun bendungan. Visi pemimpin RRC dalam membangun infrastruktur pengairan sangat luar biasa sehingga bisa mengalahkan Amerika Serikat. Visi untuk membangun bendungan yang membentang di Sungai Yangtze telah ada sejak delapan puluh tahun yang lalu pada masa kepemimpinan Sun Yat-sen. Dia adalah pemimpin Cina yang melihat sungai terbesar di negeri itu sebagai otot bangsa. Jika otot itu diaktifkan akan mampu mengangkat bangsa itu dari keterbelakangan. Sebagai otot bangsa, maka sungai Yangtze dan sungai Kuning bisa menghasilkan tenaga listrik sebesar seratus juta tenaga kuda. Jika dianalogikan satu tenaga kuda setara dengan delapan orang kuat, seratus juta tenaga kuda akan setara dengan kekuatan delapan ratus juta orang. Itupun, tenaga manusia hanya dapat digunakan delapan jam sehari, sedangkan tenaga kuda mekanis dapat digunakan selama dua puluh empat jam nonstop. Jika bisa memanfaatkan air sungai Yangtze dan sungai Kuning untuk menghasilkan seratus juta tenaga kuda energi listrik, maka setara dengan mempekerjakan empat ratus juta orang. Visi besar pemimpin Cina itu kini telah terwujud dengan hampir selesainya pembangunan fisik bendungan yang bernama Tiga Jurang. Bila dibandingkan dengan bendungan Hoover yang merupakan bendungan terbesar di Amerika Serikat, maka Tiga Jurang enam kali lebih panjang dan delapan kali lebih kuat daripada Hoover.
Dimasa medatang pembangunan infrastruktur pengairan utamanya untuk irigasi pertanian dan air baku rumah tangga di Jabar harus dipacu. Karena laju peningkatan kebutuhan air irigasi mencapai 10 persen pertahun. Begitu pula problem sanitasi dasar yang diukur dengan tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap sarana jamban juga semakin bermasalah. Akibatnya rakyat kecil semakin rentan terhadap serangan berbagai penyakit. Begitu juga dengan sektor UMKM produk makanan dan pengolahan yang mana higienisitas produknya semakin terkendala oleh air bersih. Tak pelak lagi gugatan rakyat terhadap birokrasi SDA ( Sumber Daya Air ) semakin nyaring. Eksistensi birokrasi SDA di tanah air sebenarnya sudah sejak lama ada. Kebijakan pembangunan infrastruktur pengairan telah ada sejak jaman kolonialisme Belanda, yakni dengan adanya Algemeene Water Reglement 1936 (AGW 1936). Pada prinsipnya, pembangunan infrastruktur pengairan adalah upaya untuk memberikan akses secara adil kepada seluruh rakyat untuk mendapatkan air bersih agar mampu berperikehidupan yang sehat, bersih dan produktif. Selain itu, juga ditujukan untuk mengendalikan daya rusak air seperti halnya banjir. Pada saat ini kinerja birokrasi SDA masih belum optimal. Dimata rakyat, birokrasi SDA lebih banyak duduk manis dibelakang meja. Padahal dilapangan sarat dengan masalah teknis.
Sebenarnya bangsa Indonesia telah memiliki perguruan tinggi teknik yang melahirkan ahli-ahli teknik sipil basah. Saat ini juga banyak pakar yang sekaliber dengan Sutami atau Rooseno. Betapa pentingnya bangsa ini memahami lalu mengfungsikan aplikasi ilmu hidrologi dalam menata perikehidupan. Secara definitif hidrologi merupakan ilmu yang mempelajari pergerakan, distribusi, dan kualitas air di seluruh planet bumi. Termasuk siklus hidrologi dan sumber daya air. Hukum alam telah menyatakan bahwa penyebaran air dimuka bumi terbagi menjadi dua, yakni air asin dan tawar. Jumlah air asin mencapai 97,25 persen dari total air di dunia ini. Pada dasarnya, volume air di dunia sepanjang masa adalah tetap. Perubahan hanya dalam bentuk siklus hidrologi yang berputar sepanjang masa. Dengan premis itu, kekeringan dan banjir pada hakekatnya adalah ketidak mampuan manusia untuk bersikap arif dan cerdas menghadapi siklus hidrologi.
*) Budayawan, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat dari Fraksi PDI Perjuangan
Oleh : HARJOKO SANGGANAGARA *)
Hingga saat ini pembangunan infrastruktur pengairan di Provinsi Jawa Barat sangat minim. Kondisinya semakin parah, karena menurut penelitian DPRD Jabar sedikitnya 20 persen infrastruktur pengairan atau bangunan irigasi di Jabar yang telah eksis dalam kondisi rusak. Begitupun dengan pembangunan infrastruktur pengairan skala besar oleh pemerintah pusat juga masih tersendat. Sementara pemerintah daerah semakin kesulitan membangun infrastruktur pengairan skala menengah dan kecil. Akuntabilitas pemerintah daerah yang tercermin dalam APBD selama ini boleh dibilang masih rendah komitmennya dalam membangun infrastruktur pengairan. Tidak mengherankan jika pada musim kemarau banyak daerah dilanda kekeringan dan bila musim hujan daya rusak air semakin besar. Padahal, dengan infrastruktur pengairan yang memadai yang disertai dengan rehabilitasi ekosistem DAS ( Daerah Aliran Sungai ) maka pada musim hujan seperti saat ini merupakan momentum yang tepat untuk menabung air demi masa depan.
Bendungan atau waduk merupakan infrastruktur pengairan yang sangat penting. Problema kekeringan dan banjir sebenarnya berakar dari budaya, visi dan adaptasi hidrologi suatu bangsa. Ironisnya, jumlah bendungan atau waduk di tanah air masih terlalu sedikit bila dibandingkan dengan negara lain. Itupun dengan catatan sebagian sudah berumur tua warisan kolonial Belanda. Padahal Indonesia merupakan negara dengan potensi sumber daya air nomor lima terbesar di dunia. Jumlah bendungan di Indonesia dengan berbagai ukuran hanya berjumlah 235 buah ( status 2005 ) dengan kondisi bendungan yang sarat masalah, seperti pendangkalan, pencemaran dan masalah kerusakan sungai. Dari jumlah bendungan diatas sekitar 17 persen ( 40 buah ) berkinerja rendah atau buruk, 12,5 persen ( 29 buah ) berkinerja sedang, dan yang masih berkinerja baik hanya sekitar 21 persen ( 50 buah ). Sisanya sebanyak 98 bendungan belum diaudit kinerjanya, namun bisa dipastikan sarat dengan masalah. Sementara RRC memiliki jumlah bendungan 20.000 buah, Amerika Serikat 6.000 buah, Jepang 2.650 buah, dan India 1.500 buah.
Daya dukung bendungan di tanah air terhadap penyediaan air irigasi pada saat ini baru mencapai sekitar 10 persen dari total kebutuhan nasional untuk lahan beririgasi. Sedangkan untuk Provinsi Jawa Barat sendiri hanya memiliki bendungan besar sebanyak 8 buah dengan kondisi yang terus terdegradasi. Pembangunan bendungan dari skala besar hingga menengah dan kecil mestinya menjadi prioritas bagi provinsi Jawa Barat. Pembangunan bendungan merupakan upayanya untuk memaksimalkan penangkapan air hujan. Selain bendungan, embung penampung air juga harus banyak dibangun dengan peruntukan utama untuk mengairi lahan pertanian. Pembangunan bendungan tidak hanya ditujukan untuk keperluan penampungan air saja namun bersifat multifungsi, misalnya untuk pembangkit listrik, pengendalian banjir, perikanan, rekreasi dan lain-lain. Pembangunan bendungan juga membawa permasalahan baik itu dalam kaitannya dengan pendanaan untuk konstruksi jaringan irigasi maupun biaya operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana.
Para pemimpin di Jawa Barat hendaknya mencontoh budaya dan visi pembangunan infrastruktur pengairan dari RRC. Karena bangsa itu sangat visioner dan progresif dalam membangun bendungan. Visi pemimpin RRC dalam membangun infrastruktur pengairan sangat luar biasa sehingga bisa mengalahkan Amerika Serikat. Visi untuk membangun bendungan yang membentang di Sungai Yangtze telah ada sejak delapan puluh tahun yang lalu pada masa kepemimpinan Sun Yat-sen. Dia adalah pemimpin Cina yang melihat sungai terbesar di negeri itu sebagai otot bangsa. Jika otot itu diaktifkan akan mampu mengangkat bangsa itu dari keterbelakangan. Sebagai otot bangsa, maka sungai Yangtze dan sungai Kuning bisa menghasilkan tenaga listrik sebesar seratus juta tenaga kuda. Jika dianalogikan satu tenaga kuda setara dengan delapan orang kuat, seratus juta tenaga kuda akan setara dengan kekuatan delapan ratus juta orang. Itupun, tenaga manusia hanya dapat digunakan delapan jam sehari, sedangkan tenaga kuda mekanis dapat digunakan selama dua puluh empat jam nonstop. Jika bisa memanfaatkan air sungai Yangtze dan sungai Kuning untuk menghasilkan seratus juta tenaga kuda energi listrik, maka setara dengan mempekerjakan empat ratus juta orang. Visi besar pemimpin Cina itu kini telah terwujud dengan hampir selesainya pembangunan fisik bendungan yang bernama Tiga Jurang. Bila dibandingkan dengan bendungan Hoover yang merupakan bendungan terbesar di Amerika Serikat, maka Tiga Jurang enam kali lebih panjang dan delapan kali lebih kuat daripada Hoover.
Dimasa medatang pembangunan infrastruktur pengairan utamanya untuk irigasi pertanian dan air baku rumah tangga di Jabar harus dipacu. Karena laju peningkatan kebutuhan air irigasi mencapai 10 persen pertahun. Begitu pula problem sanitasi dasar yang diukur dengan tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap sarana jamban juga semakin bermasalah. Akibatnya rakyat kecil semakin rentan terhadap serangan berbagai penyakit. Begitu juga dengan sektor UMKM produk makanan dan pengolahan yang mana higienisitas produknya semakin terkendala oleh air bersih. Tak pelak lagi gugatan rakyat terhadap birokrasi SDA ( Sumber Daya Air ) semakin nyaring. Eksistensi birokrasi SDA di tanah air sebenarnya sudah sejak lama ada. Kebijakan pembangunan infrastruktur pengairan telah ada sejak jaman kolonialisme Belanda, yakni dengan adanya Algemeene Water Reglement 1936 (AGW 1936). Pada prinsipnya, pembangunan infrastruktur pengairan adalah upaya untuk memberikan akses secara adil kepada seluruh rakyat untuk mendapatkan air bersih agar mampu berperikehidupan yang sehat, bersih dan produktif. Selain itu, juga ditujukan untuk mengendalikan daya rusak air seperti halnya banjir. Pada saat ini kinerja birokrasi SDA masih belum optimal. Dimata rakyat, birokrasi SDA lebih banyak duduk manis dibelakang meja. Padahal dilapangan sarat dengan masalah teknis.
Sebenarnya bangsa Indonesia telah memiliki perguruan tinggi teknik yang melahirkan ahli-ahli teknik sipil basah. Saat ini juga banyak pakar yang sekaliber dengan Sutami atau Rooseno. Betapa pentingnya bangsa ini memahami lalu mengfungsikan aplikasi ilmu hidrologi dalam menata perikehidupan. Secara definitif hidrologi merupakan ilmu yang mempelajari pergerakan, distribusi, dan kualitas air di seluruh planet bumi. Termasuk siklus hidrologi dan sumber daya air. Hukum alam telah menyatakan bahwa penyebaran air dimuka bumi terbagi menjadi dua, yakni air asin dan tawar. Jumlah air asin mencapai 97,25 persen dari total air di dunia ini. Pada dasarnya, volume air di dunia sepanjang masa adalah tetap. Perubahan hanya dalam bentuk siklus hidrologi yang berputar sepanjang masa. Dengan premis itu, kekeringan dan banjir pada hakekatnya adalah ketidak mampuan manusia untuk bersikap arif dan cerdas menghadapi siklus hidrologi.
*) Budayawan, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat dari Fraksi PDI Perjuangan
**) Artikel telah dimuat di harian KOMPAS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar