Risk Management Untuk Banjir Pantura
Oleh HARJOKO SANGGANAGARA
Daerah sepanjang pantai utara ( Pantura ) Jawa Barat sekarang ini kondisinya seperti “digencet” oleh dua fenomena kekuatan alam. Fenomena yang pertama adalah banjir pantai atau ombak pasang lautan yang semakin menggerus garis pantai. Sedangkan fenomena kedua merupakan banjir kiriman dari hulu DAS yang semakin mengganas.
Akibatnya, daerah Pantura seperti Indramayu, Karawang, Bekasi, Subang dan Cirebon mengalami tingkat kerusakan yang sangat serius. Banjir telah mengakibatkan berbagai kerusakan berat terhadap pemukiman, infrastruktur dan pertanian rakyat. Berbeda dengan penanganan pasca banjir di DKI Jakarta yang bisa recovery infrastruktur secara cepat, maka baniir di Pantura selama ini hanya diatasi dengan tambal sulam. Sehingga semakin menimbulkan degradasi infrastruktur, lingkungan dan sosial. Ironisnya lagi, hingga saat ini pemerintah juga belum menerapkan risk management secara benar guna meminimalkan kerugian akibat banjir. Pembenahan infrastruktur pasca banjir yang tambal sulam akan menjadi bulan-bulanan banjir lagi dikemudian hari.
Pentingnya menerapkan risk manajemen untuk infrastruktur, pemukiman, dan pertanian baik untuk skala proyek yang besar, sedang, maupun kecil. Sehingga ketika puncak musim hujan, daerah Pantura memiliki ketahanan yang lebih baik. Risk management juga meliputi aspek pertanian yang dirusak banjir. Sehingga petani bisa menggarap dan mendapatkan benih, pupuk dan ongkos menggarap sawah kembali secara mudah, bila mana perlu gratis. Dampak banjir sekarang ini saja sedikitnya 800 ribu hektar sawah produktif telah hancur diterjang banjir. Dalam menghadapi banjir tahun 2007 ini DPRD provinsi Jawa Barat telah terjun langsung dan mengkaji berbagai dampak dari bencana banjir di daerah Pantura. Sebagai hilir DAS Cimanuk dan Citarum, daerah Pantura telah menerima beban limpahan banjir akibat rusaknya ekosistem di hulu. Untuk itulah pentingya pembenahan dan rehabilitasi ekosistem DAS Cimanuk dan Citarum secara total dan konsisten. Idealnya DAS Cimanuk saja membutuhkan tujuh bendungan untuk menggali manfaat dan sekaligus mampu mengendalikan bencana banjir. Namun, bendungan yang eksis baru ada satu, yakni bendungan Rentang di daerah Majalengka. Untuk itulah rencana pembuatan waduk atau bendungan Jatigede di Sumedang semakin penting untuk secepatnya dilaksanakan.
Kehandalan Infrastruktur
Oleh HARJOKO SANGGANAGARA
Daerah sepanjang pantai utara ( Pantura ) Jawa Barat sekarang ini kondisinya seperti “digencet” oleh dua fenomena kekuatan alam. Fenomena yang pertama adalah banjir pantai atau ombak pasang lautan yang semakin menggerus garis pantai. Sedangkan fenomena kedua merupakan banjir kiriman dari hulu DAS yang semakin mengganas.
Akibatnya, daerah Pantura seperti Indramayu, Karawang, Bekasi, Subang dan Cirebon mengalami tingkat kerusakan yang sangat serius. Banjir telah mengakibatkan berbagai kerusakan berat terhadap pemukiman, infrastruktur dan pertanian rakyat. Berbeda dengan penanganan pasca banjir di DKI Jakarta yang bisa recovery infrastruktur secara cepat, maka baniir di Pantura selama ini hanya diatasi dengan tambal sulam. Sehingga semakin menimbulkan degradasi infrastruktur, lingkungan dan sosial. Ironisnya lagi, hingga saat ini pemerintah juga belum menerapkan risk management secara benar guna meminimalkan kerugian akibat banjir. Pembenahan infrastruktur pasca banjir yang tambal sulam akan menjadi bulan-bulanan banjir lagi dikemudian hari.
Pentingnya menerapkan risk manajemen untuk infrastruktur, pemukiman, dan pertanian baik untuk skala proyek yang besar, sedang, maupun kecil. Sehingga ketika puncak musim hujan, daerah Pantura memiliki ketahanan yang lebih baik. Risk management juga meliputi aspek pertanian yang dirusak banjir. Sehingga petani bisa menggarap dan mendapatkan benih, pupuk dan ongkos menggarap sawah kembali secara mudah, bila mana perlu gratis. Dampak banjir sekarang ini saja sedikitnya 800 ribu hektar sawah produktif telah hancur diterjang banjir. Dalam menghadapi banjir tahun 2007 ini DPRD provinsi Jawa Barat telah terjun langsung dan mengkaji berbagai dampak dari bencana banjir di daerah Pantura. Sebagai hilir DAS Cimanuk dan Citarum, daerah Pantura telah menerima beban limpahan banjir akibat rusaknya ekosistem di hulu. Untuk itulah pentingya pembenahan dan rehabilitasi ekosistem DAS Cimanuk dan Citarum secara total dan konsisten. Idealnya DAS Cimanuk saja membutuhkan tujuh bendungan untuk menggali manfaat dan sekaligus mampu mengendalikan bencana banjir. Namun, bendungan yang eksis baru ada satu, yakni bendungan Rentang di daerah Majalengka. Untuk itulah rencana pembuatan waduk atau bendungan Jatigede di Sumedang semakin penting untuk secepatnya dilaksanakan.
Kehandalan Infrastruktur
Daerah langganan banjir di Pantura membutuhkan infrastruktur yang memiliki tingkat kehandalan untuk menghadapi banjir. Untuk itu dibutuhkan perancanaan, kriteria teknis dan analisis terhadap banjir. Dampak komulatif dan frekuensi terjadinya banjir yang diukur secara akurat dalam jangka waktu tertentu sangat berguna untuk menentukan spesifikasi pembangunan infrastruktur serta tahapan pertanian di daerah rawan banjir. Kerusakan infrastruktur yang sangat parah menimpa jalan, bangunan, tanggul dan pintu air di daerah Pantura. Selain badan jalan, bahu jalan juga mengalami kerusakan. Terdapat banyak lokasi di mana bahu jalan ambrol hingga menutupi drainase di sisi jalan. Kondisi drainase di jalan Pantura yang sangat kecil tidak memadai untuk menampung air hujan. Akibatnya, pada saat ini jalur pantura seperti “beternak” lubang. Untuk itu diperlukan penerapan konstruksi jalan beton yang dilapisi aspal dengan bahun jalan yang dilengkapi dengan sistem drainase yang volumenya lebih besar untuk mendapatklan ketahanan infrastruktur terhadap terjangan banjir dikemudian hari.
Idealnya pembangunan infrastruktur di daerah rawan banjir harus memiliki ketahanan konstruksi dan fungsi dalam jangka waktu yang panjang. Kebutuhan investasi infrastruktur yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian itulah memerlukan sebuah Project Risk Management guna mereduksi kerugian dimasa mendatang. Semua perencanaan harus disertai dengan analisa ekonomi dan sosial yang menunjang kelayakan proyek secara obyektif. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proyek-proyek pasca banjir yang telah lalu bernuansa tambal sulam dan asal jadi. Untuk kedepan seharusnya pemerintah menetapkan filter dan standar persetujuan proyek pembangunan infrastruktur penanggulangan banjir yang sangat ketat. Salah satu contoh pembuatan infrastruktur yang kurang memperhatikan kaedah risk management adalah pintu air. Masih banyak pintu air yang hingga saat ini masih memakai cara-cara yang primitif dengan sistem tumpukan balok. Begitu juga dengan sistem pintu air yang sudah memakai sistem mekanik ternyata banyak yang sudah rusak akibat kurang handalnya desain dan perawatan yang kurang memadai.
Rehabilitasi Mangrove
Banjir juga disebabkan oleh hancurnya ekosistem di daerah pantai atau hilir. Kerusakan dan kehilangan areal hutan mangrove atau hutan bakau-payau telah terjadi di sepanjang garis pantai utara provinsi Jawa Barat. Usaha reboisasi kawasan pantai yang gundul selama ini belum menunjukkan kemajuan. Akibatnya gerusan abrasi dan terjangan gelombang pasang semakin besar. Karena kurang adanya langkah yang efektif dan terpadu untuk menjalankan program rehabilitasi, maka jutaan bibit mangrove dan pohon pantai lainnya tidak tertanam semestinya. Akibatnya keganasan abrasi terus mengancam jalur jalan pantura sebagai sarana transportasi yang vital. Jarak antara jalur jalan pantura dengan garis pantai semakin dekat. Kerusakan hutan mangrove di pesisir pantai utara dari hari kehari semakin parah. Secara umum bisa dikatakan bahwa luas hutan mangrove yang menjadi wewenang Perhutani telah beralih fungsi menjadi lahan tambak dan permukiman penduduk.
Langkah reboisasi masih banyak yang stagnan karena berbagai faktor. Diantaranya faktor koordinasi dan pengawasan yang tumpang tindih, faktor komersialisasi yang berlebihan, serta faktor alokasi dana dari pemerintah yang seret. Akibatnya jutaan benih mangrove dan tanaman pantai lainnya gagal disemai. Banyak pihak yang belum paham bahwa hutan mangrove adalah suatu ekosistem yang kompleks namun labil, karena merupakan pertemuan antara ekosistem lautan dan ekosistem daratan. Dalam konteks itu habitat mangrove berperan penting sebagai basis berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lain, serta merupakan habitat berbagai jenis burung, mamalia, dan reptil. Selain itu hutan mangrove juga merupakan produsen bahan organik yang sangat berguna untuk menunjang kelestarian biota akuatik. Pemerintah kurang berdaya menangani kehancuran hutan bakau. Begitupun penanganan persoalan pantai terlihat tumpang tindih antar eselon. Kerusakan hutan mangrove cepat atau lambat akan mendatangkan berbagai bencana terhadap penduduk disekitarnya. Keberadaan hutan mangrove juga dapat menjadi benteng hidup bagi gempuran ombak pasang, termasuk mampu meminimalkan efek bencana tsunami. Berdasarkan hasil penelitian ilmuwan dari Tohoku University Jepang yang bekerja sama dengan ITB, pohon mangrove dapat meredam energi gelombang tsunami secara signifikan. Selain manfaat pasti yang mencegah terjadinya abrasi dan erosi akibat gempuran ombak dan aliran sungai, hutan mangrove juga berfungsi sebagai filter biomekanis yang paling ampuh untuk mengurangi efek pencemaran lingkungan. Untuk itulah pemerintah daerah Jabar beserta masyarakat harus serius membuat proteksi pada wilayah pantai utara. Di antaranya dengan membuat jalur hijau sekurang-kurangnya 200 meter dari garis pantai berupa hutan mangrove dana tanaman pantai lainnya yang dapat berfungsi sebagai penahan gelombang serta melestarikan keberadaan batu karang yang dapat berfungsi sebagai pemecah gelombang. Kemudian menetapkan zona pemukiman berada di belakang jalur hijau tersebut. Untuk program reboisasi hutan mangrove yang rusak pemerintah dituntut segera mengeluarkan aturan teknis yang menyangkut fungsi lindung, fungsi pelestarian, dan fungsi produksi. Dengan reboisasi hutan mangrove yang tepat waktu maka fungsi pengaturan tata air dapat diperbaiki, polusi dan intrusi air laut dapat dicegah, pantai dilindungi dari abrasi, dan kelestarian habitat biota laut bisa dipertahankan.
*)Budayawan, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat dari Fraksi PDI Perjuangan
**) Artikel telah dimuat di harian KOMPAS