Meneguhkan Ekowisata Jabar Selatan
Oleh HARJOKO SANGGANAGARA *]
Perkembangan industri pariwisata dunia menunjukkan pilar barunya yang bernama ekowisata. Potensi wisatawan asing untuk mengunjungi obyek ekowisata selalu meningkat. Seperti dilansir oleh The Internatioanl Ecotourism Society yang menyatakan bahwa pertumbuhan jumlah wisatawan dunia sekitar lima persen setiap tahunnya. Dari jumlah itu sektor ekowisata mengalami pertumbuhan hingga 30 persen. Fakta diatas mestinya memotifasi segenap komponen di Jawa Barat untuk meneguhkan potensi ekowisatanya. Utamanya potensi yang membentang di wilayah Jawa Barat bagian selatan. Peneguhan itu tidak cukup dengan euforia saja tetapi mesti berupa langkah strategis yang didasari oleh faktor terjadinya perubahan consumers behaviour pattern atau pola konsumsi dari para wisatawan asing. Karena mereka tidak lagi terfokus hanya ingin santai dan menikmati sun-sea and sand. Saat ini pola konsumsi mulai berubah ke jenis wisata yang lebih komplek. Meskipun tetap santai tetapi selera dan tuntutan mereka lebih menantang. Perubahan pola wisata ini perlu segera disikapi dengan berbagai strategi pengembangan produk pariwisata maupun promosi baik dari sisi pemerintah maupun swasta. Pemerintahan perlu melakukan perubahan skala prioritas kebijakan sehingga peran sebagai fasilitator dapat dioptimalkan. Disisi lain ada menu kegiatan yang harus disiapkan dan dilaksanakan oleh pihak swasta yang lebih mempunyai sense of business karena memang sifat kegiatannya berorientasi bisnis.
Provinsi Jawa Barat bagian selatan memiliki potensi ekowisata yang luar biasa. Sayangnya potensi itu terus terdegradasi. Kurangnya niat dan langkah strategis dalam mengembangkan ekowisata. Penting untuk kita renungkan bahwa secara filosofis potensi ekowisata adalah “lukisan” Tuhan yang eksistensinya mesti kita jaga sekuat tenaga. Namun, fakta menunjukkan bahwa lukisan itu mudah rusak dan musnah oleh tangan manusia dan kegiatan berdalih pembangunan. Hati kita seperti teriris sembilu ketika obyek ekowisata yang sekaligus cagar alam dan cagar budaya hutan Sancang di Garut Selatan sekarang ini dalam kondisi rusak parah. Dahulu, ribuan Banteng Sancang terlihat begitu riang dan bebas berkeliaran di hutan itu. Sekarang satwa itu benar-benar musnah. Ekosistem hutan yang dahulu begitu perawan kini menjadi gersang meradang. Hutan Sancang sebenarnya sarat dengan nilai spiritual dan daya magis. Apalagi tempat itu dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat ngahiyang (lenyapnya) Prabu Siliwangi. Namun, sekarang ini menjadi kawasan kritis yang sewaktu-waktu bisa mendatangkan bencana ekologis. Betapa pongahnya kita semua sehingga Jawa Barat kehilangan begitu saja “harta karun” yang luar biasa nilainya. Sementara, bangsa lain sekarang ini begitu getolnya menciptakan hutan buatan lengkap dengan aneka satwa di dalamnya dengan tujuan untuk mengeruk devisa dari kantong wisatawan. Seperti halnya langkah Singapura yang telah merancang ekowisata buatan untuk paket wisata Safari Night yang beroperasi pada malam hari. Dalam paket itu para wisatawan dibawa masuk hutan belantara di waktu malam sehingga bisa menyaksikan tajamnya kilau mata Harimau dan hiruk pikuk satwa lainnya di kegelapan malam. Setiap harinya ribuan wisatawan dari mancanegara rela antri untuk menjelajah dan menikmati atraksi satwa. Bahkan, bisa juga melakukan perjalanan di antara kerimbunan pohon bakau dan berbaur dengan kelelawar di sepanjang Leopard Trail.
Untuk meneguhkan obyek ekowisata Jabar selatan sehingga bisa menarik wisatawan sebanyak-banyaknya diperlukan sinkronisasi langkah pemerintah pusat dan daerah. Pembagian upaya promosi dapat ditempuh langkah-langkah dimana untuk pemerintah pusat melakukan country-image promotion, daerah melakukan destination promotion sesuai dengan potensi dan keunggulan daerah itu. Sedangkan pihak swasta melakukan product promotion masing-masing. Dibutuhkan langkah yang profesional dari pemerintah daerah bersama praktisi pariwisata di Jawa Barat untuk melakukan Ecotourism Awareness Campaign ke seluruh dunia yang dilandasi prinsip-prinsip dasar ekowisata. Prinsip dasar itu sesuai dengan klausul The Ecotourism Society, yang menekankan ekowisata merupakan bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan konservasi yang disertai peningkatan kesejahteraan atau pendapatan masyarakat sekitar Daerah Tujuan Ekowisata (DTE). Konservasi biodiversitas merupakan upaya menjaga kelangsungan pemanfaatan sumber daya alam sekarang dan dimasa mendatang. Pendekatan lainnya adalah Ekowisata harus dapat menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan; melindungi keanekaragaman hayati; serta menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya.
Harus diakui secara jujur bahwa banyak pemerintah daerah yang masih kesulitan dalam menerapkan kaedah-kaedah Ekowisata secara baik. Juga masih gagap alias belum mampu menggunakan perangkat canggih untuk memacu daya saing ekowisatanya. Mestinya seluruh obyek ekowisata di Jawa Barat data-datanya sudah dibuat secara detail. Kemudian dengan metode ilmiah dibuat peringkat beserta variabel daya saingnya menurut standar internasional. Sudah saatnya semua DTE di Jawa Barat diintegrasikan menggunakan perangkat canggih seperti Sistem Informasi Geografis untuk pariwisata berbasis internet yang mampu menampilkan dan menganalisa atribut dan spasial obyek ekowisata beserta tingkat daya saingnya. Sehingga berbagai informasi yang berkaitan dengan ekowisata dapat dengan cepat dipresentasikan dan diakses dari negara manapun.
Beberapa obyek ekowisata di Jabar Selatan belum tertangani potensinya. Padahal memiliki variabel daya saing yang sangat unik dan perpaduan alam ( gunung, hutan dan lautan ) yang amat menakjubkan. Ekowisata kelautan di sepanjang pantai selatan selama ini belum terkelola dengan baik. Betapa minimnya promosi untuk mendongkrak potensi di kawasan pesisir Cimanuk hingga pesisir Cipatujah di Tasikmalaya Selatan. Minimnya promosi juga terjadi untuk ekowisata Ranca Upas dan kawasan perkebunan teh warisan kolonial Belanda yang sangat eksotik. Tak jemu-jemunya dari ketinggian itu mata telanjang bisa melihat horizon garis pantai Samudera Hindia dengan deburan ombaknya. Kontur alam pantai selatan Jawa Barat yang berbukit-bukit dan secara ekstrem menurun tajam ke bibir pantai merupakan lanskap alam yang sangat indah bak nirwana. Sudah waktunya obyek ekowisata di sepanjang pantai selatan mulai dari daerah Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, sampai Ciamis dikelola secara sungguh-sungguh. Agar jutaan pasang mata wisatawan bisa menikmati panorama nirwana dan merasakan kedahsyatan tantangannya dan keunikan budaya dan ekosistemnya. Mestinya warga Jawa Barat sekarang ini merasa malu jika menengok sejarah, dimana kolonialisme Belanda saja dahulu dengan jeli mampu melihat potensi kawasan selatan Jawa Barat. Salah satu tonggak infrastruktur yang merupakan bukti kehebatan kolonial Belanda itu adalah dermaga di Cilaut Eureun. Pada saat itu Belanda sudah memproyeksikan potensi perikanan, pertanian, ekowisata dan budaya di wilayah Garut Selatan. Sayangnya, justru pada jaman reformasi sekarang ini potensi pantai Bungbulang, Sayang Heulang, dan Pantai Cilaut Eureun masih beku dan terabaikan. Provinsi Jawa Barat sudah waktunya membangun infrastruktur di sekitar Teluk Cilaut Eureun yang memiliki lebar sekitar 600 meter. Sehingga bisa dibuat dermaga dengan kapasitas sekurang-kurangnya 150.000 DWT. Dengan terbangunnya infrastruktur itu maka kapal-kapal pesiar mewah yang lalu-lalang di Samudera Hindia menuju Pulau Christmas ( Australia ) bisa berlabuh di Pelabuhan Cilaut Eureun untuk menurunkan para wisatawan kelas atas dunia. (*)
*) Budayawan, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat dari PDI Perjuangan
**) Artikel telah dimuat di harian KOMPAS, 10 Juli 2008